Abdul Gani suatu hari
Pergi bermain ke sana ke mari
Budak pun ramai menghampiri
Sekalian menegur durja berseri
Apabila hari sudahlah petang
Ke rumah pak angkatnya dianya pulang
Serta sudahlah hari siang
Pergi bermain wajah gemilang
Tiada hamba panjangkan madah
Abdul Gani paras yang indah
Dengan budak ramai berbantah
Berpalu-palu luka dan patah
Budak yang luka pulang berlari
Kepada ibu bapanya membawa diri
Sambil menangis berperi-peri
Abdul Gani yang melukai
Bapa budak sangat gembira
Melihatkan anak sudah cedera
Pergilah ia dengan segera
Kepada tukang gandum hendakkan dera
Serta sampai bapa si Polan
Abdul Gani hendak dilukakan
Tukang gandum berkata perlahan
Baiklah sabar dahulu tuan
Jikalau dia dikehendaki saudara
Hamba timbangkan dengan segera
Abdul Gani janganlah cedera
Berpanja si Polan tak mau
Berkata pula bapa si Polan
Hamba tak mau begitu tuah
Darah anak jadi jualan
Marilah kita menghadap sultan
Tukang gandum bangkit berdiri
Abdul Gani dipimpin jari
Katanya Tolan segeralah mari
Bawalah sekali anaknya diri
Lalu berjalan ia keduanya
Masing-masing memimpin anaknya
Hendak menghadap kepada sultannya
Pada balairung langsung dianya
Adapun akan baginda sultan
Ada semayam di balai penghadapan
Serta baginda sultan Ban
Dihadap wazir hulubalang sekalian
Tukang gandum sampailah sudah
Kepada baginda hidmat menyembah
Baginda memandang seraya bertitah
Engkau datang hajat apakah
Tukang gandum yang bijaksana
Berdatang sembah dengan sempurna
Daulat tuanku duli yang gana
Patik maklum pacal yang hina
Inilah anak patik seorang
Melukakan kepala anaknya orang
Berapa dia hendak ditimbang
Bapanya si Polan tak mau sekarang
Lalu bertitah sultan yang syahda
Sambil tersenyum duli baginda
Engkau nin bohong banyak bersabda
Dahulu katamu anakmu tiada
Tukang gandum tunduk tengadah
Dengan ketakutan berdatang sembah
Sebenarnya tuanku seperti titah
Anak yang benar patik tiadalah
Budak nin bukan yang dijadikan
Anak patik dapat di pekan
Katanya bukan orang Hindustan
Katanya datang dari dalam hutan
Sebab pun ke mari akan katanya
Hendak mencari ibu bapanya
Rafiah konon nama bundanya
Abdul Muluk itu nama ayahnya
Setelah baginda mendengarkan kata
Tunduk berpikir di dalam cita
Entah pun putera Rafiah yang pokta
Tinggal kepada tuan Syeh pendeta
Sudah berpikir sultan bestari
Lalu bertitah durja berseri
Abdul Gani hampir ke mari
Aku nin hendak bertanya sendiri
Budak pun naik dengan segera
Menghadap baginda mahkota indera
Segala yang melihat kasih dan mesra
Apatah lagi sultan perwira
Sultan Ban datang mendekati
Disapu kepala dipegang jari
Engkau di mana desa negeri
Siapa membawa engkau ke mari
Abdul Gani menjawab dengan perlahan
Seorang diri patik berjalan
Disuruhkan tuan Syeh ulama pilihan
Mencari ibu bapa di Hindustan
Tuan Syeh ulama empunya sabda
Abdul Muluk nama ayahanda
Sitti Rafiah namanya bunda
Di Negeri Hindi sekarang baginda
Tuan Syeh empunya peri
Rafiah isteri sultan Barbari
Tatkala musuh menyerang negeri
Ke dalam hutan membawa diri
Setelah di dengar sultan terbilang
Sukanya bukan alang kepalang
Melihat putera wajah gemilang
Dicium baginda berulang-ulang
Sultan Ban jangan dikata
Tidak lepas daripada mata
Putera Rafiah tentulah nyata
Dipeluk dicium cunda tu rata
Setelah sudah demikian peri
Sultan bangkit lalu berdiri
Disambut cunda didukung sendiri
Naik ke istana nakanda puteri
Tersenyum sedikit sultan yang syahda
Suka melihat laku ayahanda
Sambil mengiringkan di belakang baginda
Naik ke istana paduka adinda
Akan Rafiah yang bijaksana
Ada semayam di tengah istana
Dihadap sitti anak perdana
Teringatkan putera gundah-gulana
Seketika duduk sitti yang petah
Datanglah ayahanda duli khalifah
Mendukung seorang budak yang indah
Kepada Rafiah sultan bermadah
Hai anakku Rafiah puteri
Inilah anakmu datang mencari
Disuruh tuan Syeh ia ke mari
Mendapatkan tuan laki isteri
Setelah didengar sitti yang pokta
Sangat terkejut kepada cita
Disambut putera dengan air mata
Dipeluk dicium seraya berkata
Berbagai ratap Rafiah sitti
Ayuhai anakku jantung hati
Rindunya bunda bagaikan mati
Siang dan malam ternanti-nanti
Sangat menangis sitti yang pokta
Kepada Rahmah kedengaran warta
Ia pun datang dengan suka cita
Sitti Rahah bersamalah serta
Datanglah pula permaisuri
Diiringkan dayang berlari-lari
Naik ke istana anakanda puteri
Memeluk mencium cunda sendiri
Aduh cucuku emas kencana
Tawakal bundamu amat sempurna
Diserahkan kepada Tuhan yang gana
Lepas daripada bala bencana
Sitti Rahmah mencium kepala
Sambil menangis berkata pula
Aduh anakku seri kemala
Lepas daripada sekalian bala
Rafiah menangis bagaikan pingsan
Pilunya tidak lagi tertahan
Terkenangkan tatkala masa kesakitan
Sekalian yang mendengar belas kasihan
Abdul Gani puteranya mahkota
Melihat bundanya sangat bercinta
Belas dan kasihan di dalam cita
Ia pun turut menangis serta
Abdul Muluk sultan bestari
Terlalu belas memandang isteri
Dengan perlahan baginda berperi
Diamlah tuan kemala negeri
Tangkai hati cahayanya mata
Tiadakah syukur emas juita
Disampaikan Allah barang dicita
Anakanda sudah bertemu kita
Selesai daripada bertangis-tangisan
Diangkat orang persantapan
Beratur dayang-dayang berjawatan
Lalulah santap baginda sultan
Sudah santap duli mahkota
Kepadanya anakanda Rafiah berkata
Bunda dan ayahanda diberi nyata
Bundanya kedua samalah serta
Abdul Muluk raja bestari
Berangkat turun ke balairung seri
Menyuruh menghimpunkan seisi negeri
Serta sekalian dagang senteri
Wazir Suka dititahkan serta
Disuruh bersedekah rata-rata
Satu gedung intan permata
Emas dan perak adalah semata
Fakir dan miskin banyaklah kaya
Mendapat emas ringgit rupia
Beberapa pula permata yang mulia
Balik ke rumahnya bersuka raya
Pekerjaan selesai hari pun malam
Tukang gandum dipanggil ke dalam
Menghadap Rafiah serta syah alam
Serta dikurniai intan dan nilam
Baginda memandang sambil berkata
Janganlah engkau ke luar kota
Anak binimu bawalah serta
Engkau kujadikan mata-mata
Orang menukas puteranya sultan
Dibawa orang dengan ikatan
Dititahkan palu dengan rotan
Kemudian dibuangkan ke dalam hutan
Lalu bertitah pula baginda
Syeh memeliharakan paduka anakanda
Baiklah jemput ayuhai adinda
Mengambil berkat mana yang ada
Sudah bertitah baginda berdiri
Lalu berjalan ke balairung seri
Bertitah kepada seorang menteri
Syeh yang fadil panggil ke mari
Tiada berapa lama antara
Syeh pun datang dengan segera
Disambut baginda kedua putera
Didudukkan di atas hamparan mutiara
Baginda berkata merawan-rawan
Tiada terbalas budinya tuan
Tuan Syeh menjawab dengan perlahan
Semuanya itu perintah Tuhan
Hendaklah kita berbanyak syukur
Kepada Tuhan azizul gafur
Melepaskan daripada bala dan kufur
Kepada kemuliaan izzat dan falhur
Setelah selesai berkata-kata
Baginda mengurniai Syeh pendeta
Beberapa intan pudi permata
Dijadikan penghulu sekalian pendeta
Diserahkan anakanda Abdul Gani
Belajar ilmu yang seni-seni
Baginda pun menyuruh juga mengawani
Masyhurlah khabar ke sana sini
Baginda pun adil lagi saksama
Sangatlah keras mendirikan agama
Barang yang ada diajarkan ulama
Sekalian itu baginda terima
Kata orang yang menceritakannya
Di dalam hikayat ceritanya
Abdul Gani diambil nenekandanya
Dibawanya ke Negeri Ban dirajakannya
Naik kerajaan Abdul Gani
Di Negeri Ban jadi sultani
Bijak bestari gagah berani
Habis menurut nenda yang fani
Sangatlah suka duli mahkota
Melihat cunda bagai dipeta
Bijaksana jangan lagi dikata
Segenap negeri masyhurlah warta
Beberapa paras yang indah
Di Negeri Ban jadi khalifah
Alim pendeta adil dan murah
Negeri pun makmur ramai bertambah
Jadilah makmur Negeri Hindustan
Sebab perintahnya berpatutan
Dengan syariat yang diturunkan
Kepada nabiu'llah akhiru 'zzaman
Raja Ali Haji adalah salah satu tokoh penting dalam sastra Melayu abad ke-19, dikenal bukan hanya sebagai ulama dan sejarawan, tetapi juga sastrawan yang produktif. Salah satu karya besarnya adalah Syair Abdul Muluk, sebuah karya yang memadukan unsur epik, moralitas, pendidikan agama, dan nilai-nilai sosial budaya. Di dalamnya terdapat bagian berjudul "Syair Berjumpa" yang mengisahkan momen puncak pertemuan kembali antara Abdul Gani, sang anak yang lama terpisah, dengan orang tuanya: Abdul Muluk dan Sitti Rafiah.
Syair ini bukan sekadar narasi pertemuan keluarga, melainkan representasi dari nilai kekeluargaan, kasih sayang, kesetiaan, serta keadilan sosial. Ia juga memperlihatkan corak Islam yang kuat melalui konsep syukur, tawakal, dan penegasan perintah Allah sebagai pengatur segala peristiwa.
Syair ini dimulai dengan keseharian Abdul Gani yang bermain bersama anak-anak di kampung. Namun, konflik kecil terjadi ketika ia dianggap melukai seorang anak sehingga kasusnya diadukan kepada sultan. Tukang gandum, ayah angkat Abdul Gani, membela anak itu hingga akhirnya terungkap identitas aslinya: putra dari Sultan Abdul Muluk dan Sitti Rafiah.
Momen klimaks terjadi ketika Abdul Gani dipertemukan langsung dengan sultan dan permaisuri. Kasih sayang orang tua yang begitu lama terpendam tumpah dalam tangisan, pelukan, dan doa syukur. Perjumpaan itu bukan hanya mengobati kerinduan, tetapi juga menandai kebangkitan martabat keluarga.
Bagian penutup syair menampilkan perubahan status Abdul Gani dari seorang anak angkat tukang gandum menjadi putra mahkota yang sah. Ia dididik ulama, dipersiapkan untuk menjadi sultan, dan akhirnya memerintah dengan adil, alim, serta membawa kemakmuran bagi negeri Hindustan.
Momen pertemuan Abdul Gani dengan ayah dan bundanya digambarkan penuh emosi. Ratapan Rafiah yang “bagai mati” karena rindu serta tangisan Abdul Gani menunjukkan bahwa hubungan darah dan ikatan batin keluarga adalah inti dari kehidupan manusia. Kasih sayang orang tua, bahkan setelah lama berpisah, tetap menjadi pusat kebahagiaan.
Hal ini menunjukkan bagaimana Raja Ali Haji menanamkan ajaran Islam dalam sastra sebagai pedoman moral.
Peristiwa Abdul Gani dituduh melukai anak orang memperlihatkan bagaimana hukum harus ditegakkan melalui pengadilan (dihadapkan ke sultan). Sultan tidak gegabah menghukum, melainkan memeriksa dengan bijak hingga akhirnya terungkap kebenaran. Hal ini menunjukkan konsep keadilan sebagai fondasi kepemimpinan.
Selain itu, perintah sultan untuk bersedekah emas, permata, dan uang kepada fakir miskin setelah peristiwa ini memperlihatkan ajaran Islam tentang keadilan sosial: kekuasaan tidak hanya untuk keluarga raja, tetapi juga harus memberi manfaat kepada rakyat.
Setelah perjumpaan, Abdul Gani tidak langsung diangkat sebagai sultan, melainkan diserahkan kepada ulama untuk belajar. Proses pendidikan dianggap penting sebelum seseorang memegang tampuk kekuasaan. Pesan moralnya jelas: seorang pemimpin harus berilmu, adil, alim, serta mendahulukan kepentingan rakyat.
"Syair Berjumpa" dalam karya Syair Abdul Muluk tidak hanya menghadirkan kisah haru pertemuan kembali keluarga yang lama terpisah, tetapi juga menyampaikan pesan moral, religius, sosial, dan politik yang mendalam. Raja Ali Haji menekankan pentingnya kasih sayang keluarga, keadilan hukum, kesetiaan pada syariat, serta tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat.
Dengan demikian, syair ini berfungsi sebagai refleksi kehidupan sosial Melayu pada zamannya, sekaligus warisan sastra yang masih relevan untuk dipelajari hari ini.