Penerapan program lima hari sekolah (5HS) secara nasional, meskipun diklaim sebagai langkah maju dalam reformasi pendidikan, menyimpan sejumlah persoalan mendalam yang tak bisa dilepaskan dari kepentingan di balik layar. Gagasan efisiensi waktu belajar dan penguatan karakter terdengar ideal secara naratif, namun dalam praktiknya justru memunculkan beban sistemik yang signifikan, baik bagi siswa, guru, maupun lembaga pendidikan itu sendiri. Lebih dari sekadar reformasi, 5HS patut dicermati sebagai kebijakan yang berpotensi dijadikan alat legitimasi negara untuk memperluas kontrol atas sistem pendidikan, sekaligus membuka peluang pasar bagi kepentingan swasta yang terselubung.
Salah satu realita paling menyakitkan adalah ketimpangan kesiapan antar sekolah. Banyak sekolah di wilayah seperti Pekalongan yang belum memiliki infrastruktur layak untuk menyelenggarakan pembelajaran delapan jam per hari. Anak-anak duduk berdesakan di kelas sempit tanpa kantin, pendingin ruangan, atau ruang istirahat yang layak, namun tetap dituntut mengikuti sistem seolah mereka berada di sekolah internasional. Sementara itu, sekolah dengan fasilitas lengkap justru diuntungkan, menjadikan program ini sebagai ladang baru untuk memperdalam jurang antara sekolah "berkelas" dan sekolah rakyat.
Dampak psikologis terhadap siswa pun tak dapat diabaikan. Dalam durasi belajar yang panjang, siswa kehilangan waktu berinteraksi dengan keluarga, bermain, atau mengikuti kegiatan keagamaan seperti madrasah diniyah yang hidup dalam tradisi masyarakat Pekalongan. Ironisnya, nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan di sekolah justru terancam hilang karena minimnya ruang pembentukan karakter alami di luar sekolah. Ini seakan menjadi cara halus negara untuk menarik seluruh proses pembentukan moral anak ke dalam institusi formal, menyisihkan peran rumah dan masyarakat—sebuah pendekatan yang mencerminkan arah sentralisasi ideologis.
Guru, di sisi lain, mengalami tekanan ganda. Mereka dituntut menjadi fasilitator pendidikan karakter, pelaksana program ekstrakurikuler, sekaligus pengajar akademik selama seharian penuh. Namun kompensasi yang mereka terima tidak sebanding. Bahkan, ada kecurigaan bahwa sistem 5 hari sekolah ini merupakan strategi tersembunyi untuk merampingkan kebutuhan tenaga pendidik, terutama guru honorer, demi efisiensi anggaran negara. Ini mengindikasikan bahwa yang sebenarnya ingin diperkuat bukan kualitas pendidikan, melainkan kontrol birokrasi dan stabilitas anggaran pemerintah.
Lebih mencurigakan lagi, muncul kecenderungan bahwa program ini membuka celah besar bagi komersialisasi pendidikan. Sekolah-sekolah yang tidak mampu menyusun program karakter dan layanan makan siang secara mandiri akhirnya menjalin kerja sama dengan penyedia katering, lembaga pelatihan karakter, dan platform teknologi pendidikan. Artinya, sekolah menjadi pasar potensial yang disiapkan untuk konsumsi produk-produk swasta. Di balik jargon “pendidikan karakter”, terdapat peluang bisnis yang amat menggiurkan—dan ini bisa jadi bagian dari agenda yang disusun dengan sangat sistematis oleh pemangku kepentingan yang jauh dari ruang kelas.
Pemerintah tentu berdalih bahwa ini demi peningkatan kualitas, tapi tak bisa dipungkiri bahwa 5HS adalah kebijakan yang secara halus menyederhanakan pendidikan menjadi angka-angka kinerja: 40 jam per minggu, daftar kegiatan padat, dan sertifikat pelatihan. Apa yang hilang dari sistem ini adalah pendekatan kontekstual terhadap kehidupan masyarakat. Pekalongan, misalnya, dengan budaya religius dan struktur sosialnya yang kuat, justru dipaksa menyesuaikan dengan format nasional yang kaku dan tidak ramah terhadap praktik-praktik pendidikan berbasis komunitas.
Pada akhirnya, lima hari sekolah tampaknya bukan semata tentang menata waktu belajar, tapi menjadi instrumen untuk menyatukan arah pendidikan nasional dengan cara yang tidak demokratis dan mengabaikan keragaman lokal. Ini adalah bentuk penyeragaman yang dibungkus dalam narasi pembangunan, namun di dalamnya menyimpan potensi dominasi wacana, pasar, dan kekuasaan. Maka, daripada sekadar mengikuti alur yang ditentukan pusat, daerah seperti Pekalongan perlu berani bersuara dan mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya pendidikan ini dirancang?