Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Lembaran-Lembaran Naskah Kuno di Surau Baru

Lestarikan warisan leluhur! Naskah kuno di Surau Baru menyimpan sejarah, adat, dan nilai spiritual Minangkabau yang layak kita rawat bersama.

Di siang hari itu, sekelompok mahasiswa melangkah masuk ke sebuah surau kecil di Minangkabau yang dikenal dengan nama Surau Baru. Nama itu seolah memberi kesan bangunan tersebut masih muda, padahal kenyataannya surau ini sudah berusia puluhan tahun. Dari luar, bangunannya tampak sederhana. Dinding batu mulai kusam dimakan waktu, catnya perlahan terkelupas, dan sebagian kayu penyangga sudah menua. Lantainya yang terbuat dari papan kayu menunjukkan retakan di beberapa bagian, seolah menyimpan cerita panjang dari orang-orang yang pernah duduk, belajar, dan berdoa di sana. Tikar pandan yang terbentang pun jelas sudah lama dipakai—warnanya memudar, tapi tetap terjaga rapi seakan ada tangan-tangan sabar yang merawatnya.

Bagi masyarakat Minangkabau, surau bukan sekadar tempat untuk menunaikan ibadah. Lebih dari itu, surau telah lama menjadi pusat kehidupan yang membentuk karakter generasi muda. Di sinilah anak-anak pertama kali belajar membaca Al-Qur’an, memahami dasar-dasar fikih, hingga mengenal akhlak dalam keseharian. Surau menjadi sekolah pertama, tempat fondasi keimanan ditanam sebelum mereka melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Peran surau juga erat kaitannya dengan adat Minangkabau. Di dalamnya, generasi muda tidak hanya mendengar pepatah-petitih, tetapi juga dilatih untuk mempraktikkannya. Bagaimana bersikap hormat kepada orang tua, bagaimana menjaga tutur kata, hingga bagaimana bersikap bijak dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Surau ibarat ruang latihan, tempat adat diturunkan dari generasi ke generasi, bukan sebagai hafalan kaku, melainkan sebagai nilai hidup yang nyata.

Lebih jauh, surau menjadi pusat kebersamaan. Malam hari, anak-anak muda biasa tidur di sana setelah lelah bekerja di ladang. Mereka saling berbagi cerita, bercanda, atau sekadar melepas penat. Orang tua pun sering singgah, memberi nasihat ringan atau menemani berbincang. Dari interaksi sederhana itu tumbuh rasa persaudaraan, kepedulian, dan kepercayaan antarwarga. Surau pun berfungsi layaknya rumah kedua, pusat sosial yang mengikat masyarakat tanpa aturan tertulis, tetapi dengan rasa kekeluargaan yang kuat.

Kini, di tengah perubahan zaman, peran surau memang mulai mengalami pergeseran. Namun, jejaknya sebagai pusat pendidikan agama, adat, dan sosial tetap menjadi bagian penting dari identitas Minangkabau. Surau bukan hanya bangunan fisik, melainkan simbol dari kebersamaan dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Perjalanan Kunjungan

Mahasiswa Sastra Indonesia mengunjungi salah satu surau di padang yang bernama Surau Baru. Tujuan utama kegiatan ini adalah melihat secara langsung naskah kuno yang selama ini hanya dikenal melalui penjelasan dosen di ruang kuliah. Begitu memasuki ruangan penyimpanan, suasana hening langsung terasa. Manuskrip yang tampak rapuh dimakan usia menjadi pusat perhatian, dengan tinta hitam yang mulai memudar serta halaman-halaman yang menunjukkan bekas lipatan. Beberapa bagian kertas bahkan telah berubah warna, menandakan perjalanan panjang lintas generasi. Para mahasiswa mengamati kondisi naskah tersebut dengan seksama, sambil sesekali mendokumentasikannya melalui kamera ponsel. Walaupun tidak dilakukan pencatatan tertulis, pengalaman ini memberikan pemahaman visual yang penting mengenai warisan intelektual dan spiritual dalam tradisi keilmuan Minangkabau.

Lembaran-Lembaran Naskah Kuno di Surau Baru

Penjelasan yang disampaikan memberi wawasan baru bagi mahasiswa Sastra Indonesia. Dari naskah itu, tampak jelas bahwa surau pada masa lalu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat keilmuan. Pujian kepada Allah dan Rasul yang tercantum di dalam teks seolah masih bergaung hingga kini, sementara pembahasan fikih menunjukkan kesungguhan masyarakat terdahulu dalam memahami serta mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Kunjungan tersebut menegaskan bahwa manuskrip bukan sekadar benda tua, melainkan jembatan yang menghubungkan generasi sekarang dengan warisan spiritual dan intelektual yang telah lama berakar di surau-surau Minangkabau.

Naskah kuno yang tersimpan di Surau Baru Padang yang saya dan teman-teman kunjungi kemarin umumnya memuat beragam tema yang mencerminkan kehidupan intelektual dan religius masyarakat Minangkabau. Sebagian besar naskah berisi teks-teks keagamaan, seperti tafsir Al-Qur’an, kitab fikih, tauhid, dan tasawuf, yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan surau. Selain itu, terdapat pula naskah berisi kumpulan doa, wirid, serta syair-syair pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW yang dipakai dalam kegiatan ibadah dan pengajian.

Menurut Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992 Bab I Pasal 2, naskah kuno atau manuskrip didefinisikan sebagai dokumen dalam bentuk apa pun yang ditulis tangan atau diketik, namun belum dicetak atau diterbitkan sebagai buku tercetak, serta telah berusia lebih dari lima puluh tahun. Naskah kuno merupakan salah satu bahan pustaka yang memiliki nilai informasi sangat tinggi, mencakup berbagai bidang seperti sastra, agama, hukum, sejarah, adat istiadat, dan lain sebagainya. Informasi yang terkandung di dalamnya dapat membantu para ahli sejarah dalam menemukan data baru sekaligus memperkaya kajian mereka mengenai berbagai aspek kehidupan masa lalu, dan menurut Wirayanti (2011), naskah kuno adalah hasil tulisan yang berisi informasi mengenai budaya bangsa yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan. Naskah kuno banyak bercerita mengenai tingkah laku, kebiasaan dan budaya masyarakat daerah. Naskah terdiri dari kumpulan helaian lembaran kertas.

Di samping aspek keagamaan, beberapa manuskrip juga memuat catatan mengenai adat istiadat, silsilah keluarga, hingga petuah-petuah moral yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak sedikit pula yang berhubungan dengan sejarah lokal, seperti kisah tokoh ulama Minangkabau, perjalanan dakwah, maupun catatan peristiwa penting yang pernah terjadi di lingkungan masyarakat sekitar. Keseluruhan isi naskah tersebut memperlihatkan betapa erat hubungan antara agama, adat, dan kehidupan sosial dalam tradisi Minangkabau.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa naskah kuno memiliki nilai penting sebagai sumber pengetahuan sekaligus warisan budaya yang perlu dijaga keberadaannya. Salah satu tempat yang masih menyimpan naskah kuno adalah Surau Baru Padang. Surau ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah dan pendidikan masyarakat, tetapi juga menjadi ruang penyimpanan manuskrip yang mencerminkan tradisi keilmuan serta kehidupan intelektual masyarakat Minangkabau pada masa lampau. Dengan demikian, penelitian terhadap naskah kuno di Surau Baru Padang perlu dilakukan untuk mendokumentasikan kondisi naskah, mengidentifikasi kandungan isinya, serta menelaah nilai-nilai budaya, agama, dan sosial yang terkandung di dalamnya. Melalui penelitian ini diharapkan akan muncul pemahaman yang lebih mendalam mengenai kontribusi naskah kuno bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian manuskrip sebagai bagian dari identitas budaya bangsa.

Kritik Teks

Kritik teks merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan suatu teks karya sastra. Melalui kegiatan ini diharapkan berbagai permasalahan/penyimpangan yang muncul dapat dipaparkan dan diperbaiki melalui suntingan teks naskah sebagai bentuk kajian filologis. Melalui proses ini, peneliti berusaha menyusun kembali teks sedekat mungkin dengan bentuk aslinya agar nilai-nilai dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya tidak hilang ditelan zaman.

Dalam naskah yang diamati, tampak jelas adanya tanda-tanda kerusakan. Tulisan mulai memudar, sebagian huruf sulit dikenali, bahkan ada bagian yang tintanya menipis sehingga nyaris hilang. Selain itu, ditemukan pula perbedaan ejaan dan gaya bahasa yang mencerminkan perubahan kebiasaan penulisan dari masa ke masa. Hal ini memperlihatkan bahwa naskah tersebut telah melalui perjalanan panjang, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Isi teks menyingkap sesuatu yang sangat berharga pujian-pujian kepada Allah dan Rasul yang ditulis dengan penuh ketulusan, sekaligus penjelasan mengenai ilmu fikih yang pada masanya menjadi pedoman masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Naskah ini bukan hanya sekadar tulisan lama, melainkan cerminan tradisi keilmuan dan keagamaan yang pernah hidup dan berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. Melalui kritik teks, warisan ini dapat terus dihidupkan kembali sehingga tetap relevan dan bisa dipelajari hingga masa kini.

Relevansi

Di balik kesederhanaan sebuah surau, tersimpan naskah kuno yang begitu berharga. Bukan sekadar lembaran kertas tua, melainkan jejak pengetahuan dan doa yang dulu pernah hidup bersama masyarakat. Di dalamnya tertulis pujian kepada Allah dan Rasul, doa-doa yang menenangkan hati, ajaran fikih yang menuntun cara beribadah, juga petuah adat yang mengajarkan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat. Bahkan, terselip pengetahuan lokal yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, seolah-olah suara para pendahulu masih ingin didengar hingga sekarang. Naskah ini menjadi saksi bisu bagaimana agama, adat, sastra, dan ilmu pengetahuan pernah tumbuh bersama dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Sayangnya, kondisi naskah itu kini sangat rapuh. Kertasnya sudah menguning, tintanya perlahan hilang, dan ia hanya disimpan sederhana di atas lemari kecil yang ditutupi kain putih yang sudah ternoda hitam. Saat melihatnya, ada rasa haru sekaligus khawatir, sebuah harta berharga yang dibiarkan begitu saja, nyaris tak terjamah. Jika tidak dirawat, bukan mustahil lembaran-lembaran itu akan rusak, hilang, atau hanya tinggal cerita.

Di sinilah peran kita, terutama mahasiswa dan generasi muda, menjadi sangat penting. Naskah kuno ini bukan milik masa lalu semata, tapi juga bagian dari masa depan. Dengan mendokumentasikan, menyalin, atau bahkan mendigitalisasinya, kita bisa membuat pengetahuan yang ada di dalamnya tetap hidup. Lebih dari itu, menjaga naskah berarti juga menjaga jati diri, menjaga hubungan kita dengan leluhur, sekaligus memastikan warisan ini bisa terus menjadi sumber pelajaran dan inspirasi. Dengan begitu, naskah yang rapuh itu tidak lagi hanya diam di sudut surau, melainkan hadir kembali dalam kehidupan kita hari ini.

Daftar Referensi:

  • Handayani, F. (2022). Local wisdom dalam hakikat preservasi naskah kuno sebagai pelestarian warisan budaya bangsa. Proceeding Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci, International Conferences on Islamic Studies (ICIS), 1(1).
  • Rahmawati, L., & Wadah, S. (2024). Preservasi naskah kuno (manuskrip) Kalimantan Selatan: Studi kasus pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi dan Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 12(1), 95–111.
  • Saripin, S. S. B. (2023). Kritik teks dan telaah fungsi naskah Wawacan Bidayatussalik. FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
  • Wirayanti. (2011). Pelestarian naskah kuno. Proceeding Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Kerinci, 1(1).
  • Zahra Annisa, N., Susantiningrum, S., & Ninghardjanti, P. (2024). Pemeliharaan dan perawatan manuskrip (naskah kuno) di Perpustakaan Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran Surakarta. Jurnal Informasi dan Komunikasi Administrasi Perkantoran (JIKAP), 8(3), 301.

Kheiva Aurelia Adnani

Biodata Penulis:

Kheiva Aurelia Adnani, lahir pada tanggal 26 Desember 2005 di Bukittinggi, saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Andalas, jurusan Sastra Indonesia. Penulis bisa disapa di Instagram @kheivaadnani

© Sepenuhnya. All rights reserved.