Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Tekanan Sosial di Dunia Maya: Analisis Fenomena Body Shaming Melalui Teori Psikologi Sosial

Ayo pahami dampak body shaming di media sosial dan bagaimana standar kecantikan memengaruhi persepsi diri. Pelajari cara membangun empati, literasi ..

Oleh Fathin Azzah Khalisha

Perkembangan media sosial telah mengubah cara manusia berinteraksi, menilai diri, dan membentuk identitas sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) menjadi ruang utama bagi remaja dan dewasa muda untuk mengekspresikan diri sekaligus menilai orang lain. Namun, di balik kebebasan berekspresi ini muncul fenomena sosial yang berbahaya, yaitu body shaming—komentar atau tindakan yang merendahkan seseorang berdasarkan bentuk tubuh, warna kulit, atau penampilan fisik.

Fenomena Body Shaming

Fenomena ini berakar pada standar kecantikan yang dikonstruksi secara sosial dan terus direproduksi melalui media. Standar tersebut sering kali menampilkan tubuh langsing, kulit cerah, dan wajah simetris sebagai “tolok ukur ideal”. Akibatnya, banyak individu merasa tidak cukup baik jika tidak sesuai dengan standar tersebut, sehingga muncul tekanan sosial untuk tampil “sempurna” demi mendapatkan penerimaan sosial (social approval).

Penelitian longitudinal oleh Kvardova et al. (2025) menunjukkan bahwa aktivitas media sosial yang berfokus pada penampilan berhubungan dengan meningkatnya internalisasi ideal tubuh dan perbandingan sosial, yang pada akhirnya memperkuat ketidakpuasan tubuh. Dengan kata lain, media sosial tidak hanya menjadi tempat interaksi, tetapi juga arena sosial yang membentuk persepsi diri. 

Fakta dan Data

Fenomena body shaming di media sosial telah banyak dibuktikan melalui penelitian yang menunjukkan keterkaitannya dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap tubuh, terutama pada kalangan remaja. Vuong et al. (2021) menemukan bahwa penggunaan platform seperti Instagram dan Snapchat memiliki hubungan positif dengan ketidakpuasan tubuh. Dari penelitian terhadap 1.153 remaja, diketahui bahwa semakin sering seseorang menggunakan media sosial, semakin besar kemungkinan ia merasa tidak puas terhadap penampilannya. Paparan terus-menerus terhadap citra tubuh ideal di dunia maya membuat pengguna menginternalisasi standar kecantikan yang tidak realistis dan memperkuat tekanan sosial terhadap penampilan fisik.

Penelitian longitudinal oleh Kvardova et al. (2025) menunjukkan bahwa aktivitas di media sosial yang menonjolkan aspek penampilan, seperti mengunggah atau menyunting foto dan membaca komentar terkait fisik, berkontribusi pada peningkatan ketidakpuasan tubuh dalam jangka panjang. Keterlibatan aktif dalam aktivitas visual tersebut mendorong pengguna untuk membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih menarik, sehingga muncul rasa tidak aman dan dorongan untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial yang berlaku. Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga arena pembentukan citra diri yang sangat dipengaruhi oleh pandangan orang lain.

Temuan serupa dikemukakan oleh de Vries et al. (2015) yang menemukan bahwa komentar dan tanggapan dari teman sebaya di media sosial berperan sebagai penghubung antara intensitas penggunaan media sosial dan ketidakpuasan tubuh. Remaja yang sering menerima komentar tentang penampilannya, baik positif maupun negatif, cenderung memiliki tingkat ketidakpuasan tubuh yang lebih tinggi. Validasi sosial yang muncul melalui jumlah likes dan komentar menciptakan persepsi bahwa penampilan fisik menjadi ukuran utama penerimaan sosial, yang pada akhirnya membuka peluang munculnya perilaku body shaming dalam interaksi daring. 

Penelitian lain oleh Cohen et al. (2015) menunjukkan bahwa perbandingan sosial di media sosial seperti Facebook menimbulkan ketidakpuasan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan media konvensional, karena pengguna cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang dianggap “nyata”. Selain itu, Ozimek et al. (2023) menemukan bahwa praktik penyuntingan foto dan pengendalian citra diri di media sosial memperkuat kecenderungan individu untuk menilai diri sendiri dan orang lain sebagai objek visual. Kondisi ini memperdalam siklus body shaming, di mana individu merasa terdorong untuk menilai dan mengomentari tubuh orang lain demi memperoleh pengakuan sosial. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa body shaming merupakan bagian dari dinamika sosial modern yang dipengaruhi oleh budaya visual dan tekanan kelompok di dunia digital.

1. Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory – Leon Festinger, 1954 

Menurut Festinger (1954), setiap individu memiliki dorongan alami untuk menilai dirinya sendiri dengan membandingkan diri terhadap orang lain. Ketika standar objektif untuk menilai diri tidak tersedia, manusia menggunakan orang lain sebagai acuan atau pembanding untuk menilai kemampuan, penampilan, dan nilai diri.

Dalam konteks media sosial, proses perbandingan ini terjadi secara masif karena pengguna terus-menerus terpapar pada citra tubuh ideal yang sering kali telah disunting dan tidak realistis. Akibatnya, individu yang merasa dirinya kurang menarik dapat mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri dan menilai tubuh orang lain secara negatif sebagai bentuk pertahanan diri terhadap rasa rendah diri.

Dengan demikian, body shaming dapat dipahami sebagai hasil dari perbandingan sosial yang tidak sehat, di mana individu berusaha menegaskan posisi sosialnya melalui penilaian terhadap penampilan orang lain. 

2. Teori Konformitas Sosial (Solomon Asch, 1951) 

Asch (1951) menjelaskan bahwa individu cenderung menyesuaikan pandangan, sikap, dan perilakunya agar sejalan dengan norma kelompok sosial di sekitarnya. Dalam eksperimen klasiknya, Asch menunjukkan bahwa seseorang dapat mengubah pendapatnya hanya karena tekanan dari kelompok, bahkan ketika kelompok tersebut jelas-jelas salah. Fenomena ini juga terlihat dalam perilaku pengguna media sosial yang sering kali mengikuti tren dan opini mayoritas agar diterima oleh lingkungan digitalnya.

Ketika komentar menghina atau candaan mengenai tubuh seseorang dianggap wajar dan mendapat dukungan dari banyak orang, individu lain terdorong untuk menirunya. Oleh karena itu, body shaming di media sosial dapat dipahami sebagai bentuk konformitas sosial modern, di mana tekanan sosial digital membuat seseorang menyesuaikan perilaku dengan norma kelompok daring tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap orang lain.

3. Teori Identitas Sosial (Henri Tajfel & John Turner, 1979)

Tajfel dan Turner (1979) mengemukakan bahwa individu membangun identitas dirinya berdasarkan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Untuk menjaga harga diri sosial, seseorang cenderung meninggikan kelompoknya (in-group) dan merendahkan kelompok lain (out-group).

Dalam konteks media sosial, individu yang memenuhi standar tubuh ideal sering mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok “ideal”, sementara mereka yang tidak sesuai dengan standar tersebut dianggap berada di luar kelompok. Pola ini menciptakan hierarki sosial digital yang memperkuat perilaku mengejek atau merendahkan kelompok lain.

Body shaming dengan demikian dapat dipahami sebagai bentuk penegasan identitas sosial, di mana seseorang mengekspresikan superioritas kelompoknya melalui penghinaan terhadap penampilan fisik individu yang dianggap berbeda. 

4. Teori Atribusi Sosial (Fritz Heider, 1958) 

Heider (1958) dalam The Psychology of Interpersonal Relations menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mencari penyebab di balik perilaku orang lain dengan cara membuat atribusi. Namun, dalam proses ini, individu sering kali melakukan kesalahan atribusi dengan menilai perilaku orang lain berdasarkan faktor internal, seperti kepribadian atau moralitas, dan mengabaikan faktor eksternal seperti situasi atau kondisi lingkungan.

Dalam konteks body shaming, hal ini tampak ketika pengguna media sosial menilai seseorang yang memiliki tubuh gemuk sebagai malas atau tidak menjaga diri, tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya faktor medis, psikologis, atau genetik.

Kesalahan dalam membuat atribusi ini memperkuat stereotip negatif dan menjadi dasar munculnya perilaku merendahkan tubuh orang lain. Oleh karena itu, body shaming dapat dipahami sebagai akibat dari proses atribusi sosial yang keliru, di mana penampilan fisik dijadikan ukuran utama untuk menilai karakter seseorang.

Fenomena body shaming di media sosial merupakan hasil dari proses sosial dan psikologis yang saling berkaitan. Melalui teori-teori Psikologi Sosial, dapat dipahami bahwa perilaku ini muncul karena dorongan untuk membandingkan diri,

menyesuaikan perilaku dengan kelompok, serta kebutuhan mempertahankan identitas sosial di ruang digital. Tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis membuat individu lebih mudah menilai dan merendahkan tubuh orang lain. 

Secara umum, body shaming mencerminkan tekanan sosial modern yang diperkuat oleh budaya visual di media sosial. Perilaku ini menunjukkan bagaimana kebutuhan akan penerimaan sosial dapat berubah menjadi sumber diskriminasi dan ketidakpuasan diri. Kesadaran dan empati dalam berinteraksi di dunia maya menjadi kunci untuk membangun lingkungan digital yang lebih sehat dan menghargai keberagaman penampilan.

Saran/Rekomendasi 

Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital dan empati sosial agar lebih bijak dalam berkomentar di media sosial. Kesadaran bahwa setiap ucapan memiliki dampak psikologis dapat membantu mencegah perilaku body shaming dan memperkuat budaya saling menghargai (Vuong et al., 2021). 

Individu juga disarankan untuk membangun penerimaan diri dan tidak menilai nilai pribadi dari penampilan fisik. Seperti dijelaskan Kvardova et al. (2025), aktivitas media sosial yang menonjolkan aspek penampilan dapat meningkatkan ketidakpuasan diri, sehingga penting bagi pengguna untuk menghargai keunikan diri sendiri dan orang lain. 

Selain itu, lembaga pendidikan dan platform media sosial perlu berperan aktif dalam menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif. Kebijakan yang menekan penyebaran citra tubuh ideal perlu diperkuat untuk mengurangi self-objectification dan perilaku merendahkan tubuh (Ozimek et al., 2023).

Biodata Penulis:

Fathin Azzah Khalisha saat ini aktif sebagai mahasiswi, Psikologi,  di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Fathin suka menulis untuk berbagi perspektif.

© Sepenuhnya. All rights reserved.