Oleh Aulia Early Larsya
Di era digital saat ini, media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Mulai dari tayangan televisi, potongan video, bahkan satu cuplikan konten dapat dengan cepat menciptakan persepsi kolektif tentang suatu kelompok sosial. Sayangnya, kekuatan ini tidak selalu digunakan dengan tanggung jawab sosial yang seimbang.
Salah satu contoh nyata adalah kontroversi antara program Xpose Uncensored Trans7 dan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang mencuat pada Oktober 2025. Tayangan tersebut menampilkan karakter beratribut santri dan suasana pesantren dalam konteks negatif. Dalam hitungan hari, tayangan ini menuai gelombang protes publik berjumlah 288 aduan resmi dikirimkan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur hanya dalam dua hari. Petisi daring di Change.org bahkan mengumpulkan lebih dari 50.000 tanda tangan dalam 24 jam.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan santri, tayangan ini dianggap bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk pelecehan simbolik terhadap identitas keagamaan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun menegaskan pentingnya “keadilan naratif” untuk penyajian informasi yang menghormati keberagaman dan tidak memperkuat stereotip lama terhadap lembaga Islam tradisional.
Dari Bias Persepsi hingga Prasangka Sosial
Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori social cognition (Fiske & Taylor, 2013), yang menyoroti bagaimana individu memersepsikan dunia sosial melalui kategori dan stereotip yang sudah tertanam dalam pikiran. Tayangan Trans7 tersebut, tanpa disadari, memperkuat bias kognitif yang menampilkan pesantren sebagai institusi tertutup.
Gordon Allport (1954) menyebut sikap seperti ini sebagai prejudice, yaitu prasangka yang muncul karena seseorang menilai individu hanya berdasarkan keanggotaan kelompoknya. Representasi negatif santri di media menjadi bentuk diskriminasi simbolik (Dovidio et al., 2010), di mana kelompok sosial disudutkan bukan melalui kekerasan fisik, tetapi melalui simbol, narasi, dan citra budaya.
Tak heran jika para santri dan alumni Lirboyo merespons keras. Dalam kerangka Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1986), hal ini disebut ingroup defense mechanism, yaitu reaksi psikologis untuk melindungi identitas kelompok saat merasa diserang. Mereka tidak hanya membela pesantren, tetapi juga memperjuangkan penghormatan terhadap nilai dan martabat komunitas religius di ruang publik.
Pelajaran untuk Media dan Publik
Kasus ini mengingatkan kita bahwa media bukan hanya alat hiburan, melainkan pembentuk realitas sosial. Kesalahan framing dapat menimbulkan distorsi persepsi dan memperkuat ketegangan sosial antar kelompok. Karena itu, produser dan jurnalis seharusnya melakukan riset mendalam sebelum menayangkan konten yang berkaitan dengan identitas keagamaan atau budaya.
Regulator penyiaran seperti KPI dan KPID juga perlu memperkuat pedoman etika berbasis keadilan representasi, agar konten media tidak lagi mereproduksi prasangka sosial. Di sisi lain, masyarakat perlu meningkatkan literasi media untuk belajar menafsirkan dan menyaring informasi secara reflektif dan tidak terburu-buru menggeneralisasi kelompok tertentu.
Kasus Trans7 dan Pesantren Lirboyo membuka mata kita bahwa bias media bukan sekadar kesalahan komunikasi, tetapi juga persoalan psikologi sosial yang memengaruhi cara kita memandang “yang lain.” Jika media dan publik sama-sama belajar dari kasus ini, maka ruang digital Indonesia bisa menjadi lebih adil, inklusif, dan menghargai keberagaman.