Oleh Luthfi Aliya
Di zaman dengan serba kemajuan ini, teknologi menjadi hal yang lumrah untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam waktu kurang dari satu dekade, teknologi seperti ponsel pintar, game online, dan situs jejaring sosial kini membaur menjadi budaya, khususnya pada kalangan remaja (Horst et al., 2008). Kemajuan ini mendorong munculnya platform-platform media sosial untuk berinteraksi secara online seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, dan Facebook yang memudahkan remaja untuk berkomunikasi serta bertukar informasi dengan teman sebayanya.
Media sosial komunikasi yang fleksibel dan menarik seperti Instagram dan TikTok menjadi ramai digunakan. Dalam Kompas (2025), aplikasi yang paling banyak diunduh di dunia adalah Instagram dan TikTok, lalu selanjutnya disusul WhatsApp. Instagram dan TikTok sebagai aplikasi paling banyak diminati ini memiliki fitur menarik dan lengkap, seperti mengunggah foto, video, menonton reels, memasang story 24 jam, berbalas pesan, bahkan ada fitur note lagu yang memungkinkan pengguna bisa mengungkapkan perasaannya dengan potongan lagu. Seseorang juga bisa nge-like unggahan foto orang lain dan mengomentari unggahan tersebut. Selain itu, aplikasi Instagram dan TikTok juga memberikan fitur affiliate, creator found, sponsor, dan endorsement sehingga pengguna tertentu bisa mendapatkan penghasilan lewat aplikasi.
Perubahan teknologi yang signifikan ini membawa dampak bagi kehidupan sosial remaja. Remaja bisa menghabiskan waktu sekitar tiga jam di depan layar dan lebih banyak melakukan komunikasi dengan media sosial daripada secara langsung (Anderson et al., 2018). Seseorang bisa melakukan scrolling TikTok maupun Instagram dalam waktu berjam-jam. Pada tahun 2024 di Amerika Serikat, remaja menggunakan TikTok rata rata sekitar 1 jam 53 menit setiap harinya, sedangkan dalam lingkup global, waktu yang dihabiskan untuk menggunakan TikTok sekitar 1 jam 17 menit perhari (Duarte, 2025). Hal ini berarti seorang remaja bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam menonton video dan unggahan orang lain dan mempersempit kesempatan untuk melakukan aktivitas sosial secara tatap muka langsung.
Meskipun kemajuan teknologi media sosial ini memberikan banyak dampak positif, ada juga dampak negatif yang tidak dapat dihindari. 48% remaja mengatakan bahwa media sosial memberikan lebih banyak efek negatif pada teman seumuran mereka dan para orang tua (yang mengikuti penelitian yang sama) mencurigai jika efek negatif media sosial ini terjadi pada kesehatan mental remaja (Faverio et al., 2025). Remaja yang masih pada masa pencarian diri sehingga belum bisa berpikir secara matang menjadi lebih rawan terkena dampak negatif di sosial media. Dampak media sosial sendiri berbeda antara remaja laki laki dan Wanita dengan remaja wanita sebagai penerima dampak yang lebih signifikan (Huang et al., 2021).
Belakangan ini tercatat kasus percobaan menyakiti diri sendiri, depresi, dan gangguan makan banyak terjadi pada remaja wanita, korelasinya dengan media sosial pertama kali diungkapkan oleh Wall Street Journal (Choukas-Bradley et al., 2022). Remaja wanita yang sering mengakses media sosial seperti Instagram dan TikTok memungkinkan mereka menerima informasi khususnya unggahan orang yang mereka ikuti. Unggahan ini bisa saja berupa foto-foto para artis, model, atau teman sebaya mereka. Remaja yang menghabiskan waktu di media sosial bisa mempengaruhi body image yang kemudian berpengaruh pada self esteem mereka khususnya remaja wanita (Shawn & Waller,. 1995). Dengan penemuan penemuan itu, artikel ini akan membahas bagaimana media sosial bisa mempengaruhi body image dan self esteem dengan sudut pandang psikologi sosial.
Wanita memang lebih mementingkan penampilan mereka daripada Pria. Hal ini dapat dilihat dari lebih banyaknya produk kecantikan wanita daripada produk kecantikan pria. Sejak zaman dulu wanita memang telah diberi standar tubuh ideal agar dilabeli “cantik” (Musyarrifani, 2022). Standar itu bisa berasal dari lingkungan sekitar mereka, berupa kulit putih, badan ramping, hidung mancung, kaki jenjang dan banyak lainnya. Mereka yang memenuhi standar badan ideal itu tentu akan memiliki kepercayaan diri (self esteem) tinggi karena mereka puas akan keadaan tubuh mereka (body image). Sedangkan, Mereka yang memiliki body image rendah cenderung mengalami body shame (rasa malu pada tubuh) dan memandang negatif pada diri sehingga menurunkan self esteem (Choukas-Bradley et al., 2022).
Penerimaan dan pemrosesan hal-hal yang ditemukan di sosial media berbeda satu orang dengan orang lainnya. Perbedaan ini dikarenakan adanya social perception/social perception yaitu, proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan lalu memberi makna pada suatu hal berdasarkan sudut pandang mereka (Robbins & Judge, 2013). Media sebagai tempat artis, model, teman-teman, dan orang-orang mengunggah konten memungkinkan remaja wanita terpapar konten-konten tersebut setiap membuka media sosial. Seringnya terpapar unggahan-unggahan tentang wanita cantik dan body ideal akan membentuk persepsi baru tentang definisi “cantik” (Nafi Ibdiyana Musyarrifani, 2022). Remaja wanita yang selalu berfokus pada unggahan tentang wanita cantik bahkan mungkin bisa mengubah persepsi tentang “cantik” yang ia miliki setelah terpapar media sosial.
Setelah munculnya persepsi tentang definisi “cantik” remaja wanita akan mulai membandingkan dirinya sendiri apakah mereka termasuk ke “cantik” dalam persepsi mereka. Perbandingan sosial atau social comparison pertama kali dicetuskan oleh Leon Frestinger, yaitu proses di mana seseorang membandingkan kemampuan dirinya dengan orang lain (Suls et al., 2020). Social comparison dibagi menjadi 4 yaitu, (1) ketika figur pembanding similar atau memiliki kesamaan dengan diri, (2) ketika figur pembanding berbeda dari diri dan bersifat kontrastif, (3) ketika figur pembanding dinilai lebih unggul dari diri (upward), dan (4) ketika figur pembanding dinilai lebih rendah dari diri (downward) (Suls et al., 2020). Social comparison yang terjadi saat remaja melihat unggahan-unggahan di media sosial adalah comparison upward. Remaja wanita akan membandingkan diri mereka dengan artis atau infuencer yang dinilai lebih “cantik” dari persepsi mereka.
Social comparison ini memotivasi seseorang untuk mencapai standar “cantik” yang mereka persepsikan. Namun, terkadang motivasi ini mendorong mereka untuk melakukan hal-hal ekstrem seperti diet ketat, melakukan oprasi, dan bahkan menerapkan bahan bahan berbahaya untuk mencapai standar kecantikan itu. Mereka akan mulai melakukan dissimilarity social comparison, yaitu membandingkan dengan fokus pada hal yang dimiliki figur pembanding dengan diri sendiri (Suls et al., 2020). Contohnya, remaja wanita dengan berat badan 65 kilo melihat artis dengan berat badan 45 kilo dan terlihat sangat cantik sehingga mengubah persepsi definisi cantiknya. Setelah itu remaja itu melakukan social comparison upward dan dissimilarity dengan fokus pada hal-hal yang tidak ia miliki seperti berat badan “ideal” sang artis.
Menurut penelitian (Ferguson et al., 2014), keinginan ingin kurus dan mendapatkan badan ideal bisa mengarah pada eating disorder. Terkadang, standar yang berada di sosial media menjadi sangat tidak masuk akal, contohnya berat badan kurang dari 50 kilo dan tinggi 160 cm. Remaja yang merasa jauh dari standar itu akan mendorong mereka untuk diet ketat atau bahkan eating disorders. Oprasi plastik yang tidak diperlukan dan penggunaan bahan berbahaya untuk memenuhi standar juga meningkatkan risiko negatif pada tubuh karena oplas dan penggunaan bahan berbahaya tetap memiliki risiko untuk gagal dan mengancam kesehatan remaja itu sendiri.
Kesimpulan
Teknologi telah menjadi budaya dalam kehidupan sehari hari masa kini. Hal ini menyebabkan munculnya platform-platform media sosial seperti Instagram dan TikTok yang menjadi mudah diakses setiap harinya. Perkembangan teknologi ini menjadi kemudahan sekaligus ancaman yang harus dihadapi dengan bijaksana, khususnya pada remaja wanita. Penggunaan media sosial dengan tidak bijak bisa menyebabkan masalah kesehatan mental seperti menurunnya self esteem dan body image.
Remaja wanita lebih berpotensi menerima efek negatif media sosial. Hal ini dijelaskan dalam social perspective dan social comparison di mana dengan melihat unggahan di media sosial bisa mempengaruhi perspektif standar kecantikan remaja wanita. Perspektif ini lalu mengarahkan remaja wanita untuk melakukan social comparison dirinya terhadap standar baru itu. Social comparison ini bisa mengarahkan remaja wanita pada menurunnya self esteem karena rendahnya body image. Selain itu, social comparison terhadap perspektif standar “cantik” ini juga bisa mengarahkan pada eating disorder.
Saran dan Rekomendasi
Bagaimana seseorang menggunaan sosial media menjadi penentu apakah dampak yang akan didapatkan negatif atau positif. Untuk mengurangi dampak negatif beberapa cara bisa dilakukan seperti mengurangi screen time dan mengolah informasi yang masuk dengan kritis.
Dengan mengurangi screen time, seseorang bisa lebih fokus pada dirinya sendiri dan meningkatkan self esteem. Contohnya dengan menggunakan timer untuk menentukan waktu menggunakan handphone dan menggunakan waktu untuk kegiatan yang lebih positif. Mengolah informasi dengan kritis dari media sosial sangat penting dilakukan untuk menghindari hoaks dan kesalahpahaman. Mengolah informasi ini juga berarti menganalisis kembali gambar atau foto yang diterima sehingga perspektif dapat diatur secara internal. Contohnya, mengingat bahwa foto yang diunggah di media sosial kemungkinan besar telah diedit. Seseorang yang mengunggah ke media sosial memiliki kendali penuh akan unggahannya, sehingga memungkinkan orang itu untuk mengedit dan mengubah foto sesuai dengan standar yang diinginkan (Nurhayat & Noorrizki, 2022).
Daftar Pustaka
- Anderson, M., Smith, A., & Nolan, H. (2018). Teens’ Social Media Habits and Experiences. Pew Research Center.
- Choukas-Bradley, S., Roberts, S. R., Maheux, A. J., & Nesi, J. (2022). The Perfect Storm: A Developmental–Sociocultural Framework for the Role of Social Media in Adolescent Girls’ Body Image Concerns and Mental Health. Clinical Child and Family Psychology Review, 25(4), 681–701. https://doi.org/10.1007/s10567-022-00404-5
- Duarte, F. (2025, June 23). Average Time Spent on TikTok Statistics (2025). Exploding Topics.
- Faverio, M., Anderson, M., & Park, E. (2025). Teens, Social Media and Mental Health. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/internet/2025/04/22/teens-social-media-and-mental-health/
- Ferguson, C. J., Muñoz, M. E., Garza, A., & Galindo, M. (2014). Concurrent and Prospective Analyses of Peer, Television and Social Media Influences on Body Dissatisfaction, Eating Disorder Symptoms and Life Satisfaction in Adolescent Girls. Journal of Youth and Adolescence, 43(1), 1–14. https://doi.org/10.1007/s10964-012-9898-9
- Horst, H. A., Robinson, L., & Mahendran, D. (2008). Living And Learning With New Media: Summary Of Findings From The Digital Youth Project. www.macfound.org.
- Huang, Q., Peng, W., & Ahn, S. (2021). When media become the mirror: a meta-analysis on media and body image. Media Psychology, 24(4), 437–489. https://doi.org/10.1080/15213269.2020.1737545
- Musyarrifani, N. I. (2022). Pengaruh Citra Tubuh terhadap Budaya Konsumsi pada Perempuan. SASDAYA: Gadjah Mada Journal of Humanities, 6(1), 67–80. https://doi.org/10.22146/sasdaya.v6(1).67-80
- Nurhayat, E., & Noorrizki, R. D. (2022). Flexing: Perilaku Pamer Kekayaan di Media Sosial dan Kaitannya dengan Self-Esteem. Jurnal Flourishing, 2(5), 368–374. https://doi.org/10.17977/10.17977/um070v2i52022p368-374
- Robbins, S. P. ., & Judge, Tim. (2013). Organizational behavior. Pearson.
- Suls, J., Colins, R. L., & Wheeler, L. (2020). Social Comparison, Judgment, and Behavior. Oxford University Press.
Luthfi Aliya, biasa disapa Aliya, lahir pada tanggal 29 Maret 2006 di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret Surakarta, program studi Psikologi. Aliya gemar membaca sejak kelas 1 SMP dan mulai mencoba menulis saat kelas 2 SMP. Ia juga suka membaca isu-isu terkait kesehatan mental yang ada di dunia.