Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Scroll Terus, Minder Terus: Dampak Social Comparison terhadap Insecurity Remaja di Media Sosial

Yuk, bantu remaja bijak menggunakan media sosial! Pelajari bagaimana scrolling memengaruhi rasa percaya diri, kecemasan, dan cara membandingkan ...

Oleh Gloria Abygael Phutri Bakara

Tanpa disadari, kebiasaan membuka Instagram, TikTok, atau media sosial lainnya sudah menjadi rutinitas harian, khususnya di kalangan remaja. Begitu aplikasi terbuka, mereka mulai menelusuri satu konten ke konten lainnya. Konten tersebut dapat berupa teman sekelasnya yang sedang liburan mewah ke luar negeri, influencer dengan tubuh ideal yang jadi perbincangan, sampai rekan sebaya yang baru saja meraih prestasi akademik cemerlang. Perlahan, pertanyaan mulai bermunculan di benak hati mereka: "Kenapa hidup mereka terlihat sempurna? Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?"

Scroll Terus, Minder Terus

Fenomena inilah yang dinamakan social comparison atau perbandingan sosial di media sosial. Aktivitas scrolling yang awalnya terlihat sepele ini, tanpa disadari berefek pada psikologis yang cukup serius, mulai dari perasaan rendah diri yang muncul tiba-tiba, kecemasan sosial saat berinteraksi, sampai insecurity yang terus menghantui keseharian remaja.

Fenomena Scrolling di Kalangan Remaja Indonesia

Seiring kemajuan teknologi, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X telah menjadi bagian tidak bisa terpisahkan bagi kalangan remaja. Salah satu aktivitas yang paling digemari adalah scrolling, kebiasaan menelusuri berbagai konten secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Aktivitas ini bukan sekadar hiburan ringan, melainkan rutinitas harian yang mengonsumsi waktu berjam-jam.

Laporan We Are Social (2025) mencatat lebih dari 207 juta masyarakat Indonesia atau 72,7% populasi nasional merupakan pengguna aktif media sosial. Yang lebih mengejutkan lagi, data dari GoodStats (2025) menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-17 dunia dalam durasi penggunaan media sosial, dengan rata-rata 529 menit (8 jam 49 menit) per minggu, jauh melampaui rata-rata global sebesar 426 menit.

Di balik tingginya angka penggunaan ini, tersimpan masalah psikologis yang memicu kecenderungan remaja untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain.

Aktivitas Scrolling Memicu Perbandingan Sosial

Aktivitas scrolling pasif berbeda dengan interaksi aktif seperti memberikan komentar atau berdiskusi. Saat scrolling, seorang remaja hanya menjadi penerima informasi secara satu arah dan secara terus-menerus terpapar akan kehidupan orang lain tanpa kesempatan memahami konteks di balik konten yang ditampilkan.

Padahal sebagian besar konten di media sosial telah melalui proses kurasi yang sangat selektif. Orang hanya menonjolkan momen terbaik dan menutupi kegagalan atau kekurangan mereka. Akibatnya, remaja membandingkan kehidupan nyata mereka yang kompleks dengan potongan momen "sempurna" orang lain, ini merupakan perbandingan yang tidak setara.

Fenomena ini dijelaskan melalui Social Comparison Theory dari Leon Festinger, yang menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk mengevaluasi dirinya melalui perbandingan dengan orang lain. Dalam konteks media sosial, ini memunculkan upward comparison, yaitu perbandingan dengan individu yang dianggap lebih baik, yang akhirnya menimbulkan rasa minder dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri.

Bukti Riset: Dampak Nyata terhadap Kesehatan Mental

Penelitian oleh Yuliana dan Endang (2024) terhadap 364 remaja pengguna media sosial di Jakarta menunjukkan hasil mengejutkan, social comparison secara signifikan menyumbang 46,5% terhadap munculnya kecemasan sosial remaja. Artinya, hampir separuh tingkat kecemasan yang dialami remaja dapat dijelaskan oleh intensitas mereka membandingkan diri di media sosial.

Studi lain dari Afiifah dan Cahyanti (2025) terhadap 201 remaja pengguna TikTok menemukan korelasi negatif signifikan pada aspek autonomy atau kemandirian emosional. Semakin tinggi kecenderungan remaja membandingkan diri, semakin rendah kemampuan mereka mengambil keputusan dan menentukan nilai-nilai pribadi tanpa dipengaruhi tekanan eksternal.

Laporan Pew Research Center (2025) turut memperkuat temuan ini hampir 50% remaja mengakui merasa tidak aman terhadap diri mereka akibat perbandingan sosial di media sosial.

Mengapa Dampaknya Begitu Serius?

Ketika remaja terus-menerus terpapar standar kesempurnaan di media sosial, terjadi kesenjangan antara actual self (diri yang nyata) dan ideal self (diri yang diharapkan). Kesenjangan inilah yang memicu emosi negatif perasaan rendah diri, ketidakpuasan, dan insecurity yang mendalam.

Lebih lanjut, Looking-Glass Self Theory dari Charles Horton Cooley menjelaskan bahwa individu membentuk konsep dirinya berdasarkan persepsi tentang bagaimana orang lain melihat dirinya. Di media sosial, setiap unggahan, likes, dan komentar berfungsi sebagai "cermin sosial" yang memengaruhi harga diri. Ketika validasi sosial yang diperoleh tidak sesuai harapan, kepercayaan diri menurun drastis.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Beberapa strategi dapat diterapkan untuk mengatasi dampak negatif dari social comparison, antara lain sebagai berikut:

1. Literasi Digital dan Kesadaran Diri

Remaja perlu dibekali kemampuan memahami risiko psikososial dan memilah konten yang sehat. Mereka harus aktif mengenali pikiran dan perasaan yang muncul saat berselancar di media sosial, sehingga tidak mudah terjebak dalam pola pikir membandingkan diri secara berlebihan.

2. Manajemen Penggunaan yang Sehat

Penting untuk membatasi durasi harian, menjadwalkan waktu khusus akses, serta menetapkan zona bebas gadget. Konsep mindful social media, yaitu mengikuti akun atau konten inspiratif dan positif yang dapat membantu mengurangi tekanan psikologis.

3. Dukungan dari Lingkungan

Orang tua, guru, dan konselor harus membangun ruang komunikasi terbuka tanpa stigma. Lingkungan suportif ini penting agar remaja dapat membangun harga diri dan tidak mudah mencari validasi eksternal di media sosial.

4. Kebijakan dan Program Berbasis Komunitas

Penelitian Devapramod (2024) merekomendasikan integrasi literasi digital ke dalam kurikulum sekolah, peningkatan layanan kesehatan mental di lingkungan pendidikan, dan penguatan regulasi terhadap konten digital yang berpotensi memicu tekanan sosial.

Media sosial pada dasarnya adalah alat yang digunakan sebagai sarana hiburan. Yang menentukan baik buruknya adalah bagaimana kita menggunakannya. Dengan literasi digital yang kuat dan dukungan lingkungan yang suportif, remaja dapat memanfaatkan media sosial sebagai ruang pengembangan diri yang positif, bukan sebagai sumber stres dan pemicu insecurity.

Saatnya kita tidak hanya mengajarkan remaja bagaimana cara menggunakan media sosial, tetapi juga mengapa mereka harus bijak dalam menggunakannya. Kesehatan mental generasi muda adalah tanggung jawab bersama.

Referensi:

  1. Afiifah, L. N., & Cahyanti, I. Y. (2025). Hubungan social comparison dengan psychological well-being pada remaja akhir pengguna aplikasi TikTok [Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga]. Universitas Airlangga Repository. https://repository.unair.ac.id/137545/
  2. GoodStats Indonesia. (2025, September 11). Publik RI habiskan lebih dari 8 jam per minggu akses media sosial. https://goodstats.id/article/publik-ri-habiskan-lebih-dari-8-jam-per-minggu-akses-media-sosial-zxJCx
  3. Pew Research Center. (2025, April 21). Teens, social media, and mental health. https://www.pewresearch.org/internet
  4. Yuliana, R., & Endang, E. S. (2024). Social comparison sebagai prediktor kecemasan sosial pada remaja pengguna media sosial. Jurnal Psikologi Mercu Buana, 33(1). https://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/merpsy/article/view/33102

Gloria Abygael Phutri Bakara

Biodata Penulis:

Gloria Abygael Phutri Bakara adalah seorang mahasiswa psikologi yang gemar mengeksplorasi berbagai sudut pandang dan pengalaman baru. Ia memiliki ketertarikan besar pada novel bergenre urban thriller yang sudah menjadi bacaan favoritnya. Meski kerap dianggap sebagai pribadi ekstrovert, Gloria sebenarnya lebih merasa bebas dan nyaman mengekspresikan diri lewat tulisan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.