Oleh Hafsah Nur Laily
Banyak orang bilang Solo itu kota “slow living”. Tapi menurutku, slow living itu bukan gaya hidup, tapi cara kita buat bertahan biar nggak gila sama rutinitas dan ekspektasi. Jujur aja, kuliah di Solo tuh enak. Kotanya tenang, murah, dan punya suasana yang bikin semua hal terasa nyaman. Tapi di balik ketenangan itu, ada realita mahasiswa yang gak kalah keras: tugas yang menumpuk, sinyal Wi-Fi yang terkadang lemot, dan saldo rekening yang makin menipis.
Kadang, kita lupa kalau hidup sebagai mahasiswa bukan cuma soal tugas, kelas, dan nilai. Ada bagian dari diri yang pelan-pelan lelah, bukan karena capek jalan ke kampus, tapi karena terus berpacu dengan harapan dan tekanan. Di titik itu, “healing” bukan lagi soal liburan mahal atau jalan-jalan jauh. Tapi tentang diam sejenak, bernapas, dan mencoba berdamai.
Healing Gak Harus ke Tempat Mewah
Solo bukan kota yang maksa kamu buat terus produktif. Di sini, semua berjalan tenang. Jalanan nggak terlalu macet, udara sore masih bisa dihirup tanpa bau asap knalpot. Dan yang paling penting, kota ini kayak ngajarin kamu buat berhenti sebentar, terus ngelihat hidup dari sisi yang lebih tenang. Dan di antara semua tempat yang katanya wajib dikunjungi mahasiswa Solo, seperti Pasar Triwindu, Benteng Vastenburg, Pasar Gedhe sampai Manahan, aku malah tertarik sama salah satu tempat sederhana: Taman Bendungan Tirtonadi.
Banyak orang mikir healing itu harus jalan-jalan jauh, staycation, atau minimal nongkrong di tempat yang bisa dijadikan story Instagram. Padahal buat mahasiswa yang isi dompetnya lebih sering kosong daripada penuh, healing yang paling realistis itu yang nggak bikin saldo minus. Karena kadang, healing terbaik bukan yang jauh-jauh atau mahal-mahal. Cukup duduk di Tirtonadi, sambil mikir hidup, dan percaya bahwa semua orang lagi berproses, yang baru belajar bertahan di dunia perkuliahan dan kehidupan.
Healing murah itu nggak ribet. Cukup beli es colnat dan roti sobek dekat Bendungan Tirtonadi, duduk di bangku tepi sungai, dan merasakan angin sore yang berhembusan. Kadang bawa buku, kadang cuma bawa kepala yang penuh pikiran. Lucunya, semakin sering ke sana, kita makin sadar, ternyata ketenangan gak selalu harus dibeli. Kadang cuma butuh tempat sunyi dan waktu yang tepat.
Menjelang sore, suasana Tirtonadi berubah jadi lebih hangat. Orang-orang mulai berdatangan, ada yang ngobrol pelan, ada yang sekadar duduk memandangi air. Di kejauhan, suara kendaraan dari jembatan Tirtonadi samar-samar terdengar, berpadu dengan suara air yang mengalir pelan. Saat matahari mulai turun, warna langit berubah dari orange ke ungu lembut, lalu perlahan gelap. Lampu-lampu taman menyala satu per satu, dan suara azan magrib menggema dari kejauhan. Ada semacam rasa damai yang sulit dijelaskan, semacam bisikan kecil bahwa semua akan baik-baik saja.
Kadang, di momen seperti itu, aku baru sadar kalau healing bukan tentang melupakan masalah, tapi tentang memberi diri sendiri waktu buat menerima semuanya. Bahwa capek itu wajar, ragu itu manusiawi, dan istirahat itu bukan tanda lemah. Justru, di tengah kesederhanaan Tirtonadi, kita belajar hal paling penting: bahwa hidup nggak harus cepat-cepat, asal tetap berjalan pelan tapi pasti.
Jadi, kalau suatu hari kamu lagi ngerasa penat, jangan buru-buru cari tempat wisata yang jauh. Datang aja ke Tirtonadi. Duduk di bangku pinggir sungai, nikmati udara sore, dan biarkan hatimu tenang sejenak. Kadang, hal paling sederhana justru yang paling menyembuhkan.
Salam hangat dari Solo.
Biodata Penulis:
Hafsah Nur Laily saat ini aktif sebagai mahasiswa.