Oleh Dian Eka Yuliani
Kita hidup dalam negara yang memiliki dasar ideologi mulia bernama Pancasila. Di dalamnya, nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberpihakan pada rakyat dijunjung sebagai moral bangsa. Namun, ternyata semua itu hanya menjadi pajangan berdebu ketika kasus korupsi menampar realitas, memperlihatkan bahwa hukum juga bisa saja bertekuk lutut dihadapan kekuatan.
Seseorang mungkin pernah bertanya "Apa gunanya kebenaran jika bisa ditukar layaknya barang di pasar gelap?"
Korupsi juga merupakan serangan terhadap sila ke lima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan menjadi timpang ketika yang bersalah bisa membeli pengampunan, sementara rakyat kecil hanya mampu menerima vonis tanpa daya.
Prinsip ketuhanan yang seharusnya dapat menumbuhkan moralitas dalam setiap kebijakan, sila kedua menerapkan kemanusiaan yang adil, namun praktiknya hukum hanya akan manusiawi pada yang mampu menyuap. Salah satu kasus penyuapan yang membuat geger adalah kasus "3 hakim PN Surabaya yang menerima suap pada kasus Ronald Tannur" (Kompas.com).
Di ruang publik, sinisme pun lahir. Ada suara yang berdesir di masyarakat "Kalau kamu punya uang hukum itu fleksibel, kalau tidak siap-siap diinjak oleh aturan."
Ketika rakyat merasa pengaduannya tak ada arti. Mereka hanya sanggup menyaksikan berita tentang pejabat yang korupsi, dihukum ringan, dan setelahnya dapat kembali hidup nyaman. Sementara harapan akan kejujuran dan keadilan semakin terasa menipis.
Saya pernah dengar seseorang pernah bertanya "Kita diminta untuk taat kepada hukum, masalahnya hukum taat pada siapa?"
Lantas, akankah kita menyerah?
Sebagai generasi mendatang yang akan mewujudkan cita-cita Indonesia emas tentu saja kasus ini bisa dihentikan. Dengan kesadaran diri kita untuk selalu mengikuti kebenaran, maka kasus hukum yang dapat dibeli tentu saja bisa diputuskan. Pertanyaan dalam judul yang saya buat bukan hanya sekedar retorika. Tetapi juga untuk menguji keyakinan kita pada sila-sila Pancasila sebagai nilai hidup, bukan slogan yang hanya dibiarkan membusuk.
Karena pada akhirnya, ada juga mereka yang tetap percaya pada cahaya kebenaran. "Meski hukum goyah, kebenaran tetap punya tempat, selama ada yang berani jujur, ada harapan".
Jika hukum terus dapat dibungkam dengan uang, bangsa ini akan kehilangan arah. Pancasila tidak boleh hanya menjadi sekadar hafalan upacara setiap hari Senin tetapi harus menjadi pengaman moral agar keadilan tidak hanya berpihak kepada pemilik modal semata.
Kebenaran harus terus diperjuangkan, bukan hanya dalam kalimat manis konstitusi, tapi dalam tindakan nyata seluruh elemen bangsa.
Indonesia akan susah untuk bangkit selama korupsi dan suap menyuap dianggap biasa. Namun selama rakyat masih peduli, masih mau bersuara dalam kejujuran, pancasila belum kalah.
Biodata Penulis:
Dian Eka Yuliani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, fakultas Tarbiyah & Keguruan, prodi Matematika.