Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Media Sosial dan Krisis Kepercayaan Diri di Kalangan Mahasiswa

Yuk hentikan budaya body shaming di media sosial! Saatnya belajar menerima diri, menghargai keberagaman tubuh, dan menciptakan ruang digital yang ...

Oleh Annisa Maharani Susanto

Di era digital, media sosial tidak lagi sekadar tempat berbagi foto atau cerita keseharian. Bagi banyak mahasiswa, dunia maya telah menjadi ruang untuk membentuk identitas diri, mencari pengakuan, dan menilai siapa diri mereka. Sayangnya, ruang yang seharusnya menjadi tempat berekspresi justru sering dipenuhi dengan komentar yang merendahkan. Fenomena ini dikenal dengan istilah body shaming.

Media Sosial dan Krisis Kepercayaan Diri di Kalangan Mahasiswa

Ucapan seperti “kok sekarang gendutan sih?” atau “kamu kurusan banget, sakit ya?” sering terdengar ringan dan dianggap candaan. Padahal, di balik kalimat itu tersimpan dampak psikologis yang tidak bisa diabaikan. Di media sosial, komentar seperti itu bisa tersebar luas dan dilihat oleh banyak orang. Mahasiswa yang menjadi korban sering kali merasa malu, kehilangan rasa percaya diri, dan menarik diri dari lingkungan sosialnya.

Laporan yang dimuat dalam Jambura Law Review oleh Puluhulawa dan Husain pada tahun 2021 mencatat lebih dari sembilan ratus kasus body shaming di Indonesia selama tahun 2018. Sebagian besar kasus tersebut terjadi di platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Armes pada tahun 2024 menunjukkan bahwa melihat unggahan bertema tubuh ideal di Instagram dapat menurunkan penerimaan diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa paparan citra tubuh ideal secara terus-menerus dapat menimbulkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri.

Dalam sudut pandang psikologi sosial, perilaku body shaming dapat dijelaskan melalui Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger. Teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk membandingkan diri dengan orang lain sebagai cara menilai kemampuan dan penampilan dirinya. Ketika seseorang terus melihat unggahan orang lain yang menampilkan kehidupan yang tampak sempurna, tanpa sadar ia mulai merasa dirinya kurang. Dari sinilah muncul perasaan tidak percaya diri dan keinginan untuk menilai atau bahkan merendahkan orang lain agar merasa lebih baik.

Dampak dari fenomena ini tidak hanya berhenti pada perasaan sementara. Carl Rogers melalui Self-Concept Theory menjelaskan bahwa konsep diri seseorang terbentuk dari pengalaman dan penilaian yang ia terima dari lingkungan sosial. Mahasiswa yang terus mendapatkan komentar negatif tentang tubuhnya akan mulai meragukan nilai dirinya sendiri. Ketika citra diri yang dimiliki tidak sesuai dengan gambaran ideal yang diciptakan media, muncullah rasa tidak puas, kecemasan, dan perasaan tidak berharga.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurfitri dan rekan-rekannya pada tahun 2023 juga memperkuat temuan tersebut. Mereka menemukan bahwa semakin sering mahasiswa mengalami body shaming, semakin rendah tingkat kepercayaan dirinya. Hal serupa diungkapkan oleh Haryati dan tim penelitinya pada tahun 2021 yang menyoroti pentingnya dukungan sosial dan lingkungan yang positif dalam membangun rasa percaya diri mahasiswa. Dari berbagai penelitian tersebut terlihat bahwa body shaming bukan hanya ejekan di dunia maya, melainkan bentuk kekerasan psikologis yang berdampak nyata pada kehidupan sehari-hari.

Sebagai mahasiswa, kita perlu belajar lebih peka terhadap budaya perbandingan sosial yang tumbuh di media digital. Tidak semua yang terlihat di layar mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Menerima diri apa adanya bukan berarti berhenti memperbaiki diri, melainkan menyadari bahwa setiap orang memiliki nilai dan keunikan yang tidak dapat diukur dari bentuk tubuhnya.

Sudah saatnya kita berhenti menjadikan media sosial sebagai tempat menilai fisik orang lain. Mulailah dengan hal kecil seperti menghindari komentar tentang tubuh seseorang dan belajar menghargai keberagaman bentuk tubuh. Dengan menumbuhkan empati serta penerimaan diri, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan manusiawi. Karena di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada seseorang yang sedang berjuang untuk mencintai dirinya sendiri.

Referensi:

  1. Ariana, R., Satriani, I., & Adinugraha, Y. (2024). Influence of TikTok on body satisfaction among Generation Z in Indonesia: Mixed methods approach. JMIR Human Factors, 11(1), e58371. https://doi.org/10.2196/58371 
  2. Atsila, R. I., Satriani, I., & Adinugraha, Y. (2021). Perilaku body shaming dan dampak psikologis pada mahasiswa Kota Bogor. Jurnal Komunikatif, 10(1), 84–93.
  3. Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140. https://doi.org/10.1177/001872675400700202 
  4. Haryati, A., Noviyanti, A., Cahyani, R., & Lesta, L. (2021). Peran lingkungan terhadap rasa percaya diri mahasiswa yang mengalami body shaming. Jurnal Psikologi dan Pendidikan, 8(2), 103–112.
  5. Nurfitri, A. D., Wulandari, N., & Nurfadillah, S. (2023). Pengaruh perilaku body shaming terhadap tingkat kepercayaan diri pada mahasiswa Psikologi di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Al-Ittizaan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6(1), 45–58. https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/alittizaan/article/view/17430 
  6. Puluhulawa, J., & Husain, S. (2021). Body shaming through social media as a digital crime in the era of disruption. Jambura Law Review, 3(1), 33–49. https://doi.org/10.34312/jalrev.v3i1.9583 
  7. Rogers, C. R. (1951). Client-centered therapy: Its current practice, implications, and theory. Boston: Houghton Mifflin.
  8. Taylor, J., & Armes, G. (2024). Social comparison on Instagram, and its relationship with self-esteem and body-esteem. Discover Psychology, 4(126). https://doi.org/10.1007/s44202-024-00241-3 

Annisa Maharani Susanto

Biodata Penulis:

Annisa Maharani Susanto saat ini aktif sebagai mahasiswa, Psikologi, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.