Di wilayah Pasar Baru, Kota Padang, Sumatera Barat, sebuah bangunan bersejarah berdiri dengan khidmat, menjadi penanda kejayaan intelektual dan spiritual masyarakat Minangkabau. Surau Baru, demikian ia disebut, bukan sekadar bangunan tua untuk salat. Ia adalah living monument, saksi bisu yang menyimpan narasi panjang tentang pergerakan keagamaan, perlawanan terhadap kolonialisme, dan tradisi keilmuan Islam yang kaya. Namun, di balik kemegahan sejarahnya, surau ini menyimpan cerita pilu tentang warisan naskah kuno yang berjuang melawan waktu, dilestarikan oleh pengurus penjaga surau itu yang menjadi tulang punggung pelestariannya. Di sini kita akan mengupas sejarah Surau Baru, peran sentralnya, dan tantangan preservasi naskah-naskah kuno yang menjadi harta karun tak ternilai.
Kata “surau” memiliki akar etimologis yang dalam, berasal dari kosakata Sanskerta “sura” dan “suro” yang berarti tempat penyembahan atau tempat suci. Dalam konteks masyarakat Minangkabau, surau memiliki fungsi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar musala atau langgar. Ia adalah pusat triad kehidupan: ibadah, pendidikan, dan sosial. Di suraulah generasi muda Minang (dulu disebut “santri”) mempelajari agama, adat, dan ilmu bela diri. Surau Baru Pasar Baru, yang didirikan pada tahun 1910 M, adalah salah satu episentrum dari aktivitas tersebut di Padang.
Surau Baru Pasar Baru bukanlah tempat biasa. Lokasinya yang strategis menjadikannya pusat pengembangan gerakan keagamaan "Tarekat Naqsabandiyah" di Padang. Tarekat ini memainkan peran penting tidak hanya dalam kehidupan spiritual tetapi juga dalam membangun resistensi terhadap penjajahan. Salah satu fakta sejarah yang terungkap adalah bahwa surau ini pernah disinggahi oleh Dr. Mohammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden pertama Indonesia, dalam perjalanannya dari pengasingan di Banda Neira menuju Jakarta, tepatnya pada tanggal 12 Februari 1942. Kunjungan Bung Hatta ini memberikan makna historis yang sangat kuat, menghubungkan surau ini dengan narasi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bahan naskahnya terbuat dari kertas daluang (yang terbuat dari kulit kayu) dan ditulis dengan tinta tradisional, kemungkinan besar berwarna hitam. Isi Naskah-naskah tersebut diduga kuat berisi materi pengajaran Tarekat Naqsyabandiyah, disertai dengan catatan-catatan fikih dan doa-doa. Salah satu naskah yang lebih terbaca sepertinya menceritakan sejarah awal pendirian surau. Penggunaan aksara Jawi dan campuran bahasa Melayu serta Minangkabau kuno menjadi tantangan terbesar. Naskah ini menghadapi tantangan serius: kertas yang menguning, tinta yang memudar, serta penyimpanan yang masih sangat sederhana hanya dibungkus kain putih dan diletakkan di atas meja kayu.
Nilai-nilai yang diajarkan di surau seperti kebersamaan, menuntut ilmu, dan ketekunan beribadah masih sangat relevan dengan kehidupan masyarakat modern, terutama sebagai penangkal terhadap individualisme. Tantangannya sangat nyata. Kerusakan fisik naskah yang terus berlanjut, minimnya ahli yang mampu membaca aksara Jawi, dan keterbatasan dana untuk preservasi adalah ancaman serius. Jika tidak ada tindakan, dalam beberapa tahun ke depan, bisa jadi semua ilmu dalam naskah itu akan punah selamanya.
Sejarah mencatat bahwa bangunan Surau Baru Pauh telah mengalami beberapa kali renovasi dan revitalisasi untuk mempertahankan keutuhan strukturnya. Bangunan ini mencerminkan arsitektur tradisional Minangkabau dengan atap bergonjong dan material utama dari kayu. Letaknya yang strategis di kawasan Pasar Baru Pauh membuatnya tetap menjadi pusat aktivitas umat.
Meski zaman telah berubah dan fungsi surau sebagai satu-satunya lembaga pendidikan telah tergantikan, Surau Baru Pauh tetap mempertahankan esensinya. Ia tetap menjadi tempat ibadah yang hidup, tempat anak-anak belajar mengaji, dan simbol ketahanan budaya serta agama masyarakat Pauh, Padang.
Surau Baru Pauh adalah sebuah institusi budaya yang merepresentasikan integrasi harmonis antara agama, pendidikan, dan adat istiadat dalam masyarakat Minangkabau. Keberadaannya sebagai penjaga waktu dan naskah-naskah kunonya yang berharga memberikan nilai historis dan akademis yang tak ternilai. Melestarikan Surau Baru Pauh beserta seluruh warisannya bukan hanya tentang mempertahankan bangunan tua, melainkan tentang menjaga ingatan kolektif, jati diri, dan khazanah keilmuan Islam Nusantara untuk generasi yang akan datang. Untuk itu, kolaborasi dari semua pihak mutlak diperlukan agar cahaya dari surau bersejarah ini tidak pernah padam.
Biodata Penulis:
Cynthia Syafarani adalah seorang mahasiswa yang menemukan dunianya dalam kekuatan kata-kata. Perempuan kelahiran Padang, 3 Juni 2006 ini kini aktif menimba ilmu di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Ketertarikannya menulis telah mengakar sejak bangku SMA, membentuknya menjadi seorang pengamat cerita yang teliti. Meski belum menerbitkan karya secara formal, ia telah membiarkan imajinasinya mengalir dalam beberapa tulisan yang suatu hari siap dibagikan kepada dunia. Di waktu senggang, Cynthia dapat disapa melalui Instagramnya: @Vzhrtyaa_