Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengapa Kita Mudah Ikut Tren? Memahami Bandwagon Effect di Dunia Digital

Yuk pahami mengapa kita mudah ikut tren di media sosial! Kenali Bandwagon Effect dan cara bijak menghadapi arus digital yang terus berubah.

Oleh Shela Gina Revinata

Di era digital, tren baru dapat muncul dan menyebar hanya dalam hitungan jam. Mulai dari gaya berpakaian, produk skincare, hingga opini terhadap isu sosial, semua dapat viral dan diikuti oleh banyak orang tanpa banyak pertimbangan. Fenomena ini tidak lepas dari kecenderungan manusia untuk menyesuaikan diri dengan arus sosial dan mencari penerimaan di lingkungan sekitarnya. Perilaku ikut-ikutan ini dikenal sebagai Bandwagon Effect, yaitu kecenderungan individu untuk meniru tindakan atau pilihan orang lain hanya karena tindakan tersebut dianggap populer atau umum dilakukan. 

Menurut Knyazev dan Oosterhuis (2022), Bandwagon Effect merupakan bentuk bias sosial di mana popularitas suatu perilaku dijadikan indikator kebenaran atau nilai sosial. Artinya, individu sering kali menjadikan opini atau tindakan mayoritas sebagai acuan untuk menilai sesuatu baik itu produk, ide, maupun perilaku sehingga popularitas menjadi penentu utama keputusan. Banyak orang sering mengaitkan fenomena ini dengan istilah fear of missing out (FOMO). Meskipun keduanya tampak serupa, Bandwagon Effect menekankan pada kecenderungan mengikuti perilaku mayoritas, sedangkan FOMO lebih berfokus pada ketakutan subjektif akan tertinggal dari pengalaman sosial yang dianggap penting (Przybylski et al., 2013).

Mengapa Kita Mudah Ikut Tren

Dalam masyarakat modern, pengaruh sosial tidak hanya terjadi melalui interaksi langsung, tetapi juga melalui algoritma media yang membentuk persepsi tentang apa yang “sedang populer” dan layak diikuti. Bandwagon Effect kini bukan sekadar fenomena budaya digital, melainkan isu psiko-sosial yang memengaruhi cara individu menilai diri, mengambil keputusan, dan berinteraksi di ruang sosial. Di satu sisi, fenomena ini dapat memperkuat rasa kebersamaan dan mempercepat penyebaran inovasi sosial. Namun di sisi lain, Bandwagon Effect juga dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis, memperkuat bias sosial, serta menimbulkan tekanan psikologis, terutama pada remaja yang sedang membentuk identitas diri. Oleh karena itu, memahami fenomena ini penting agar individu lebih bijak dalam merespons arus tren digital yang terus berubah.

Data Menunjukkan: Kita Memang Mudah Terpengaruh Tren

Fenomena Bandwagon Effect di Indonesia dapat dibuktikan melalui sejumlah penelitian dan survei terkini yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial terhadap perilaku masyarakat. Menurut laporan We Are Social (2024), terdapat lebih dari 167 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 3 jam 11 menit per hari meningkat sekitar 6,6% dibanding tahun 2023. Kondisi ini menciptakan ruang sosial yang sangat luas bagi penyebaran tren, opini, dan perilaku secara cepat dan masif (Kemp, 2024).

Sejumlah penelitian di Indonesia juga menegaskan adanya pengaruh nyata Bandwagon Effect dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Yudistira (2022) menemukan bahwa Bandwagon Effect memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda pada masa pandemi COVID-19. Banyak individu membeli sepeda bukan karena kebutuhan pribadi, melainkan karena tren sosial yang meningkat pesat di lingkungan sekitar.
  2. Zatrahadi, Darmawati, Rahmad, Syarifah, dan Nur Arsy (2023) menunjukkan bahwa efek ikut-ikutan berperan penting dalam pembentukan citra diri remaja di Pekanbaru dan Bukittinggi. Remaja yang lebih sering terpapar media sosial cenderung mengaitkan nilai dirinya dengan kesesuaian terhadap tren yang sedang viral.
  3. Ningsih & Fikriah (2023) mengungkapkan bahwa konten viral di TikTok mampu mendorong perilaku konsumtif pada Gen Z. Pengguna merasa terdorong membeli produk yang sedang ramai dibicarakan agar tidak tertinggal secara sosial.

Secara keseluruhan, hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa media sosial berperan sebagai ruang proyeksi konformitas modern, di mana nilai sosial dan identitas pribadi sering kali dibentuk berdasarkan popularitas digital, bukan pertimbangan rasional. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa Bandwagon Effect di Indonesia bukan sekadar fenomena ringan, melainkan mencerminkan dinamika psikologis masyarakat digital yang dipengaruhi oleh kebutuhan akan penerimaan sosial dan rasa takut ketinggalan (fear of missing out). Dengan kata lain, media sosial menjadi medium baru bagi konformitas modern di mana tekanan sosial tidak lagi hadir melalui kelompok nyata, tetapi melalui algoritma dan popularitas digital.

Mengapa Kita Ikut Tren?

Fenomena Bandwagon Effect dapat dipahami melalui perspektif teori pengaruh sosial (social influence) dan konformitas (conformity) dalam psikologi sosial. Menurut Hewstone, Stroebe, dan Jonas (2008), pengaruh sosial adalah perubahan sikap, keyakinan, opini, nilai, atau perilaku seseorang akibat paparan terhadap sikap dan perilaku orang lain di lingkungannya. Artinya, perilaku seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor internal, tetapi juga oleh dorongan sosial eksternal yang muncul dari lingkungan sosialnya baik secara langsung maupun melalui media.

Dalam konteks media sosial, pengaruh sosial tampak dalam bagaimana individu merespons tren digital. Ketika suatu konten, produk, atau opini menjadi viral, individu cenderung menganggap bahwa popularitas tersebut mencerminkan nilai kebenaran atau penerimaan sosial yang tinggi. Hal ini sesuai dengan dua bentuk utama pengaruh sosial yang dijelaskan oleh Hewstone et al. (2008), yaitu normative influence dan informational influence.

Normative influence mendorong seseorang untuk mengikuti mayoritas agar diterima dan tidak ditolak secara sosial. Misalnya, remaja merasa perlu mengikuti trend fashion atau gaya hidup tertentu di TikTok agar dianggap “update” dan diterima oleh kelompok pertemanannya. Informational influence terjadi ketika seseorang mengikuti tindakan orang lain karena meyakini bahwa pendapat atau perilaku mayoritas adalah benar. Contohnya, seseorang membeli produk skincare yang viral karena berasumsi bahwa banyaknya pengguna berarti produk tersebut memang efektif. Kedua bentuk pengaruh sosial ini menjelaskan mekanisme utama di balik Bandwagon Effect: keputusan individu sering kali bukan hasil pertimbangan rasional pribadi, melainkan hasil penyesuaian terhadap tekanan sosial dan persepsi mayoritas.

Setelah memahami Bandwagon Effect melalui teori pengaruh sosial, pendekatan Kelman (1958) memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bagaimana pengaruh tersebut bekerja pada level psikologis individu. Bandwagon Effect juga dapat dijelaskan lebih dalam melalui kerangka proses pengaruh sosial yang dikemukakan oleh Kelman (1958). Menurut Kelman, perubahan sikap dan perilaku akibat pengaruh sosial dapat terjadi melalui tiga tingkat proses psikologis yang berbeda, yaitu kepatuhan (compliance), identifikasi (identification), dan internalisasi (internalization).

Pertama, kepatuhan (compliance) terjadi ketika seseorang mengikuti tren atau perilaku populer karena ingin mendapatkan penerimaan sosial atau menghindari penolakan. Dalam konteks media sosial, bentuk kepatuhan ini tampak ketika individu mengikuti tren viral seperti gaya berpakaian, challenge TikTok, atau penggunaan produk tertentu semata-mata untuk memperoleh likes, komentar positif, atau validasi dari kelompok sosialnya. Perilaku tersebut bukan didorong oleh keyakinan terhadap nilai yang dianut tren itu, melainkan oleh kebutuhan untuk diterima dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, kepuasan yang diperoleh berasal dari efek sosial dan pengakuan eksternal, bukan dari nilai perilaku itu sendiri.

Kedua, identifikasi (identification) muncul ketika individu meniru atau mengikuti perilaku tertentu karena ingin menjadi bagian dari kelompok atau figur yang dikaguminya. Misalnya, seseorang meniru gaya berbicara atau cara berpakaian influencer karena ingin diasosiasikan dengan status sosial atau gaya hidup yang diwakili figur tersebut. Dalam tahap ini, individu mulai mengaitkan perilaku dengan citra diri yang diinginkan sehingga terbentuk rasa kedekatan psikologis dengan kelompok atau tokoh panutan. Proses ini menunjukkan bahwa Bandwagon Effect juga didorong oleh keinginan untuk membangun identitas sosial yang sesuai dengan kelompok yang dianggap ideal.

Ketiga, internalisasi (internalization) terjadi ketika individu benar-benar mengadopsi nilai, ide, atau perilaku populer karena merasa perilaku tersebut sesuai dengan sistem nilai pribadinya. Awalnya, seseorang mungkin mengikuti tren hanya karena ingin diterima, tetapi seiring waktu perilaku itu dapat berubah menjadi keyakinan pribadi. Misalnya, seseorang yang awalnya mengikuti tren hidup sehat karena viral kemudian menjadikannya bagian dari gaya hidup karena merasa cocok dan bermanfaat bagi dirinya. Pada tahap ini, pengaruh sosial telah bertransformasi menjadi nilai internal yang terintegrasi dengan sistem kepercayaan diri individu.

Melalui tiga proses yang dijelaskan oleh Kelman, dapat dipahami bahwa Bandwagon Effect bukan hanya bentuk “ikut-ikutan” tanpa makna, tetapi bisa menjadi cerminan dari dinamika sosial yang lebih kompleks. Individu mungkin memulai dari kepatuhan demi diterima, berkembang menjadi identifikasi karena ingin menyesuaikan diri dengan kelompok, dan akhirnya mencapai internalisasi ketika tren tersebut benar-benar menjadi bagian dari nilai dirinya. Proses ini menggambarkan bagaimana pengaruh sosial dapat bertransformasi dari tekanan eksternal menjadi perubahan internal yang bertahan lama.

Setelah memahami dinamika internalisasi pengaruh sosial menurut Kelman, eksperimen klasik Asch (1951) memberikan bukti empiris yang menegaskan sejauh mana tekanan sosial eksternal dapat memengaruhi perilaku individu. Solomon Asch (1951) tentang konformitas, yang menunjukkan bahwa individu cenderung menyesuaikan jawaban mereka dengan kelompok, bahkan ketika kelompok tersebut jelas-jelas salah. Asch menemukan bahwa sekitar sepertiga peserta eksperimen memberikan jawaban salah semata-mata karena ingin menyesuaikan diri dengan kelompok mayoritas. Fenomena tersebut mencerminkan kecenderungan alami manusia untuk menghindari penolakan sosial, sekaligus menggambarkan bagaimana tekanan sosial dapat memengaruhi persepsi dan keputusan seseorang.

Jika eksperimen Asch dilakukan di ruang laboratorium, maka media sosial menjadi versi modernnya dalam kehidupan nyata. Lingkungan digital memperluas ruang konformitas: “kelompok mayoritas” kini tidak lagi terbatas pada teman sebaya, tetapi juga mencakup jutaan pengguna yang membentuk tren secara masif. Seseorang dapat terpengaruh oleh jumlah “likes”, komentar positif, atau viralitas sebuah konten, sehingga menganggap hal tersebut sebagai standar kebenaran dan mengikuti tanpa berpikir panjang. Dalam konteks ini, Bandwagon Effect menjadi bentuk konformitas digital, di mana validasi sosial digantikan oleh indikator popularitas online.

Namun, mengikuti arus tidak selalu disebabkan oleh keinginan untuk diterima; terkadang hal itu muncul karena dorongan membandingkan diri dengan orang lain. Menurut social comparison theory yang dikemukakan Festinger (1954) teori ini menjelaskan bahwa individu menilai diri dan keputusannya dengan membandingkan diri terhadap orang lain di sekitarnya. Ketika melihat mayoritas melakukan suatu tindakan, muncul dorongan untuk berperilaku serupa agar tetap sejalan dengan norma sosial dan memperoleh penerimaan kelompok. Karena itu, Bandwagon Effect sering muncul bersamaan dengan perasaan takut tertinggal atau FOMO, terutama di lingkungan sosial yang sangat dipengaruhi tren digital.

Dengan demikian, Bandwagon Effect dapat dipahami sebagai hasil interaksi tiga mekanisme psikologis utama:

  1. Pengaruh sosial normatif dan informatif, yaitu tekanan untuk diterima dan dorongan untuk dianggap benar.
  2. Konformitas sosial, yaitu penyesuaian diri terhadap mayoritas agar diterima.
  3. Perbandingan sosial, yaitu evaluasi diri melalui pandangan orang lain.

Ketiganya menjelaskan mengapa dalam era digital, perilaku ikut tren bukan sekadar hiburan, tetapi refleksi dari kebutuhan psikologis manusia untuk merasa diterima, terhubung, dan tidak tertinggal di tengah budaya digital. Fenomena Bandwagon Effect di era digital juga mencerminkan tantangan identitas pada remaja dan dewasa muda. Pada tahap ini, individu tengah mencari jati diri dan penerimaan sosial, sehingga dorongan untuk mengikuti tren menjadi semakin kuat. Ketika perilaku ikut-ikutan dilakukan terus-menerus tanpa refleksi kritis, individu berisiko kehilangan kemandirian dalam pengambilan keputusan dan mengandalkan validasi eksternal sebagai dasar harga diri.

Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Bandwagon Effect memiliki dampak sosial nyata terhadap pembentukan identitas dan eksistensi remaja. Zatrahadi, Darmawati, Rahmad, Syarifah, dan Arsy (2023) menemukan bahwa remaja di Pekanbaru dan Bukittinggi cenderung mengikuti tren populer di media sosial untuk memperoleh pengakuan sosial dan merasa menjadi bagian dari kelompok yang diterima secara luas. Temuan tersebut menegaskan bahwa kebutuhan akan penerimaan sosial berperan besar dalam perilaku konformitas digital di kalangan remaja. Dengan demikian, Bandwagon Effect tidak hanya memengaruhi perilaku di ruang daring, tetapi juga membentuk cara remaja memahami nilai diri mereka dalam konteks sosial yang lebih luas.

Selain itu, penelitian Wang (2023) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens pada remaja memperkuat mekanisme social comparison, di mana individu menilai nilai dirinya berdasarkan umpan balik (feedback) dan validasi sosial yang diperoleh secara daring. Kondisi ini dapat memperkuat tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma mayoritas serta menurunkan kesadaran reflektif terhadap keputusan pribadi. Dengan demikian, memahami mekanisme Bandwagon Effect bukan hanya tentang “mengapa orang ikut tren,” tetapi juga tentang “mengapa kita mengikuti tren tanpa menyadari bahwa kita sedang melakukannya.” Kesadaran terhadap dinamika ini penting agar individu mampu menyeimbangkan kebutuhan akan penerimaan sosial dengan otonomi pribadi dalam membangun identitas diri di era digital (Desyantoro & Ngongo, 2022). 

Bijak Mengikuti Tren

Berdasarkan hasil analisis teori dan temuan empiris, dapat disimpulkan bahwa fenomena Bandwagon Effect di era digital menunjukkan bahwa perilaku “ikut-ikutan” bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan dari mekanisme pengaruh sosial yang mendalam dalam diri manusia. Melalui perspektif teori pengaruh sosial (Hewstone, Stroebe, & Jonas, 2008), perilaku tersebut muncul akibat tekanan sosial yang mendorong individu menyesuaikan diri dengan norma kelompok. Tekanan ini dapat bersifat normatif dorongan untuk diterima dan tidak ditolak maupun informatif, yaitu keyakinan bahwa mayoritas pasti benar. Dalam konteks media sosial, bentuk pengaruh ini semakin kuat karena indikator penerimaan sosial seperti jumlah likes dan komentar publik menjadi tolak ukur validasi diri. Oleh karena itu, Bandwagon Effect mencerminkan interaksi antara kebutuhan akan penerimaan sosial dan pengaruh kelompok dalam membentuk perilaku digital individu.

Kelman (1958) menjelaskan bahwa proses penerimaan pengaruh sosial terjadi melalui tiga tahap, yaitu compliance, identification, dan internalization. Tahapan ini menunjukkan bagaimana seseorang dapat beralih dari sekadar mengikuti tren demi diterima, menjadi meniru karena mengidentifikasi diri dengan kelompok, hingga akhirnya benar-benar menginternalisasi nilai tersebut sebagai bagian dari dirinya. Proses ini kemudian diperkuat oleh temuan Asch (1951), yang menunjukkan bahwa individu cenderung menyesuaikan diri dengan opini kelompok meskipun bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Dalam konteks media sosial, kecenderungan ini tampak dalam perilaku pengguna yang mengikuti tren, membeli produk, atau membentuk opini berdasarkan apa yang dianggap populer. Kondisi tersebut menggambarkan bentuk konformitas digital, di mana tekanan sosial tidak lagi berasal dari lingkungan langsung, melainkan dari persepsi popularitas daring yang membentuk norma perilaku bersama.

Dari sisi psikologis, Bandwagon Effect juga erat kaitannya dengan social comparison theory yang dikemukakan oleh Festinger (1954). Teori ini menjelaskan bahwa individu memiliki kecenderungan untuk menilai kemampuan, keputusan, dan nilai dirinya dengan membandingkan diri terhadap orang lain. Dalam dunia digital, proses ini tampak melalui kebutuhan konstan untuk memperoleh validasi sosial, seperti banyaknya likes atau komentar positif. Dorongan tersebut dapat memengaruhi citra diri, harga diri, dan bahkan keputusan sosial seseorang. Akibatnya, individu sering kali mengukur nilai pribadinya berdasarkan reaksi sosial yang diterima secara daring, bukan dari refleksi diri yang otentik.

Secara keseluruhan, fenomena Bandwagon Effect merefleksikan dinamika sosial yang kompleks antara kebutuhan akan penerimaan, pencarian identitas diri, dan tekanan budaya digital. Di satu sisi, fenomena ini mampu memperkuat rasa kebersamaan dan mempercepat penyebaran ide positif di masyarakat. Namun di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan kesadaran reflektif, Bandwagon Effect dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis dan mengikis kemandirian individu dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, penting bagi individu, khususnya generasi muda, untuk mengembangkan kesadaran sosial dan kemampuan berpikir kritis agar dapat memilah tren yang bermanfaat serta menjaga kemandirian dalam membentuk identitas pribadi di tengah derasnya arus media sosial.

Langkah Kecil yang Bisa Dilakukan

Fenomena Bandwagon Effect di era digital menunjukkan bahwa perilaku ikut tren merupakan hasil dari interaksi antara kebutuhan sosial dan dinamika psikologis individu. Oleh karena itu, diperlukan langkah reflektif dan edukatif untuk meminimalisasi dampak negatif dari fenomena ini. Lembaga pendidikan dan praktisi psikologi perlu berperan aktif dalam meningkatkan literasi digital serta kesadaran psikologis pada remaja dan dewasa muda. Pemahaman tentang mekanisme pengaruh sosial, konformitas, dan perbandingan sosial dapat membantu individu mengenali dorongan internal yang membuat mereka mudah terpengaruh oleh tren digital. Dengan demikian, pendidikan psikologis menjadi kunci dalam membentuk perilaku digital yang lebih kritis dan adaptif.

Penelitian selanjutnya juga perlu memperluas kajian mengenai Bandwagon Effect dengan meneliti hubungan antara konformitas digital, harga diri, dan kesejahteraan psikologis. Kajian ini penting untuk memahami sejauh mana tekanan sosial di media memengaruhi pembentukan identitas dan perilaku jangka panjang pada generasi muda Indonesia. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar dalam merancang intervensi yang lebih tepat sasaran bagi pengguna media sosial. Dengan pemahaman empiris yang lebih mendalam, fenomena ini tidak hanya dapat dijelaskan secara teoritis tetapi juga ditangani secara praktis melalui kebijakan pendidikan dan kesehatan mental.

Di sisi lain, platform media sosial dan pembuat kebijakan di bidang teknologi juga perlu berperan aktif dalam menciptakan lingkungan digital yang sehat. Algoritma media sosial sebaiknya tidak hanya menonjolkan aspek popularitas, tetapi juga mendorong keberagaman konten serta ruang refleksi bagi pengguna. Upaya ini dapat membantu masyarakat keluar dari pola validasi sosial yang berlebihan dan menumbuhkan budaya digital yang lebih inklusif. Dengan meningkatkan literasi psikologis dan kesadaran reflektif, masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi konsumen tren, tetapi juga aktor sosial yang kritis dan berdaya. Melalui langkah tersebut, individu dapat menikmati media sosial secara positif tanpa kehilangan kemandirian dalam membentuk identitas diri.

Referensi:

  • Desyantoro, I., & Ngongo, B. P. (2025). Social media use and its psychological impact on adolescents in Indonesia: A review from the perspective of social education and public awareness. Journal of Humanistic Social Management, 1(1), 1–18. https://journal-hsm.com/index.php/JHSM/article/view/2/1 
  • Hewstone, M., Stroebe, W., & Jonas, K. (Eds.). (2008). Introduction to social psychology (4th ed.). British Psychological Society & Blackwell Publishing. 
  • Knyazev, N., & Oosterhuis, H. (2022). The Bandwagon Effect: Not just another bias. arXiv preprint arXiv:2206.12701. https://arxiv.org/pdf/2206.12701 
  • Ningsih, N. F., & Fikriah, N. L. (2023). Viral marketing, bandwagon effect, dan keputusan pembelian: Studi pengguna TikTok Shop generasi Z di Malang. Jurnal Ekonomi & Keuangan Syariah, XX(X), xx–xx. https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/22635 
  • Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848. https://selfdeterminationtheory.org/wp-content/uploads/2014/04/2013_PrzybylskiMurayamaDeHaanGladwell_CIHB.pdf 
  • Wang, L. (2025). The association between social media and self-esteem among adolescents. Journal of Education, Humanities and Social Sciences, 50, 22–26. https://doi.org/10.54097/jk420h93 
  • Yudistira, A. (2022, Maret 31). Pengaruh bandwagon effect, Veblen effect, dan pendapatan terhadap keputusan pembelian sepeda di masa pandemi COVID-19. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 10(2). https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/8173 
  • Zatrahadi, M. F., Darmawati, D., Rahmad, R., Syarifah, S., & Arsy, N. (2023). Analisis dampak sosial efek bandwagon pada eksistensi remaja: Studi di Kota Pekanbaru dan Kota Bukittinggi. Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia, 9(2), 1048–1059. https://jurnal.iicet.org/index.php/j-edu/article/view/3581

Shela Gina Revinata

Biodata Penulis:

Shela Gina Revinata adalah mahasiswa Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2024. Tertarik pada isu-isu komunikasi dan dinamika sosial di era digital.

© Sepenuhnya. All rights reserved.