Mengoptimalkan Potensi SDM melalui Minat dan Bakat Berdasarkan Budaya Lokal di Era 5.0

Mari bangun SDM unggul di era Society 5.0 dengan menggabungkan teknologi, minat, bakat, dan nilai budaya lokal. Temukan cara mengembangkan potensi ...

Era Society 5.0 menghadirkan tantangan besar bagi sumber daya manusia (SDM), di mana teknologi digital tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi ini, tenaga kerja dituntut tidak hanya menguasai keterampilan teknis, melainkan juga memiliki kemampuan adaptif, inovatif, dan berdaya saing tinggi. Namun, dalam proses menuju SDM yang kompetitif, satu hal penting yang sering terlupakan adalah pengembangan minat dan bakat individu yang berakar pada nilai budaya serta tradisi lokal. Padahal, integrasi antara minat, bakat, budaya, dan teknologi justru dapat menjadi kunci lahirnya SDM unggul di era serba digital ini.

Mengoptimalkan Potensi SDM

Budaya dan tradisi lokal adalah identitas sekaligus kekuatan diferensiasi bangsa. SDM yang berakar kuat pada budaya tidak hanya memiliki kepribadian tangguh, tetapi juga daya saing unik yang sulit ditiru negara lain. Nilai gotong royong, misalnya, dapat diadaptasi ke dalam kerja tim digital yang membutuhkan kolaborasi tanpa batas ruang dan waktu. Begitu pula filosofi dan kearifan lokal, seperti etika kerja yang menjunjung kejujuran, kebersamaan, serta keberlanjutan, dapat dijadikan dasar dalam membangun etos kerja modern yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Lebih jauh, pengembangan minat dan bakat berbasis budaya lokal mampu melahirkan inovasi yang autentik. Bakat di bidang seni, kerajinan tradisional, musik, atau kuliner lokal bisa dikembangkan melalui platform digital seperti e-commerce, desain grafis, hingga kecerdasan buatan. Dengan sentuhan teknologi, potensi yang lahir dari tradisi dapat menjangkau pasar global, namun tetap menampilkan identitas khas Nusantara. Inilah bentuk konkret bahwa nilai budaya bukan penghambat modernisasi, melainkan sumber inspirasi inovasi yang bernilai tinggi.

Selain itu, integrasi budaya dalam lingkungan kerja digital dapat menciptakan iklim kerja yang lebih seimbang. Filosofi lokal, seperti “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” di Minangkabau atau prinsip Jawa “hamemayu hayuning bawana”, bisa menjadi pedoman moral dalam mengelola teknologi secara bijak. Dengan demikian, SDM tidak hanya terampil secara digital, tetapi juga memiliki landasan etis yang kuat untuk menghadapi dilema teknologi modern.

Pada akhirnya, tenaga kerja yang kompetitif di era Society 5.0 bukan hanya mereka yang menguasai teknologi, tetapi juga yang mampu mengintegrasikan minat dan bakat dengan nilai budaya lokal. Perpaduan inilah yang melahirkan SDM inovatif, adaptif, sekaligus berakar pada identitas bangsa. Jika strategi ini dijalankan secara optimal, Indonesia berpeluang tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, melainkan pencipta inovasi global dengan wajah budaya yang khas.

Penulis: Mellysa Winadi

© Sepenuhnya. All rights reserved.