Pantun dari Perak ke Negeri Rum
Dari Perak ke negeri Rum
berlayar lalu ke kuala.
Jangan diharap untung yang belum
sudah tergenggam terlepas pula.
Orang Pagai mencari lokan,
kembanglah bunga serikaya.
Aku sebagai anak ikan,
kering pasang apakan daya.
Singapura kersik berderai,
tempat ketam lari berlari.
Air mata jatuh berderai,
sedihkan untung badan sendiri.
Berbunyi kerbau Rangkas Betung,
berbunyi memanggil kawan.
Menangis aku menyadar untung,
untungku jauh dari awan.
Berlayar dari Teluk Betung,
Anak Bogor mencari tiram.
Apa kuharap kepada untung,
perahu bocor menanti karam.
Tikar pandan dua berlapis,
dilipat digulung anak Bangka.
Sesal di badan tidak habis,
karena untung yang celaka.
Analisis Puisi:
Puisi “Pantun dari Perak ke Negeri Rum” karya Marah Roesli adalah karya yang menggambarkan perjalanan, kesulitan hidup, dan pengalaman manusia menghadapi ketidakpastian nasib. Dengan bentuk pantun yang khas, penyair menyampaikan refleksi tentang perjuangan, kehilangan, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam mencapai untung atau keberhasilan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup, kesulitan, dan ketidakpastian nasib manusia. Melalui pantun yang menuturkan perjalanan dari Perak hingga Negeri Rum, penyair menekankan realitas kehidupan yang penuh risiko, kehilangan, dan pengalaman pahit, yang terkadang tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman perjalanan dan pekerjaan nelayan atau pelaut, yang diwarnai oleh berbagai peristiwa:
- Perjalanan dari Perak ke Negeri Rum dan kuala, simbol perjalanan panjang yang penuh risiko.
- Pencarian rezeki melalui pekerjaan seperti mencari lokan, tiram, atau mengamati alam.
- Ketidakpastian nasib—untung yang diharapkan seringkali tidak tercapai atau hilang.
- Kesedihan dan penyesalan yang muncul akibat kegagalan atau celaka dalam mencari rezeki.
Cerita ini menekankan perjuangan manusia dalam menghadapi ketidakpastian hidup, sekaligus refleksi tentang keterbatasan dan nasib yang tidak selalu berpihak.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini antara lain:
- Kehidupan manusia penuh risiko dan ketidakpastian – upaya yang dilakukan belum tentu membuahkan hasil sesuai harapan.
- Penyesalan dan kesedihan adalah bagian dari pengalaman hidup – manusia belajar dari kegagalan dan kehilangan.
- Kesadaran akan keterbatasan diri – sebagai manusia, kita tidak selalu mampu mengendalikan nasib atau untung yang datang.
Dengan demikian, puisi ini menyiratkan pesan moral bahwa hidup adalah perjalanan yang memerlukan kesabaran, ketabahan, dan penerimaan terhadap ketidakpastian.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini terasa sedih, penuh penyesalan, dan reflektif:
- Sedih, karena untung yang diharapkan tidak tercapai dan perahu atau usaha sering menemui celaka.
- Penuh penyesalan, tercermin dari kesadaran bahwa usaha yang dilakukan tidak selalu membuahkan hasil.
- Reflektif, karena penyair menekankan pengalaman manusia dalam perjalanan hidup dan pelajaran dari kesulitan.
Suasana ini membuat pembaca merasakan getir dan pahitnya kehidupan manusia yang harus menghadapi risiko dan ketidakpastian.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
- Terimalah ketidakpastian hidup dengan kesabaran, karena tidak semua usaha akan membuahkan hasil yang diinginkan.
- Pengalaman pahit dan penyesalan adalah bagian dari pembelajaran hidup yang membentuk kedewasaan.
- Manusia harus siap menghadapi risiko dalam perjalanan hidup, baik itu dalam mencari rezeki maupun menghadapi tantangan sehari-hari.
Puisi ini mendorong pembaca untuk menyadari realitas hidup dan belajar menerima ketidakpastian dengan lapang dada.
Imaji
Marah Roesli menggunakan imaji yang kuat dan simbolik:
- “Dari Perak ke negeri Rum berlayar lalu ke kuala” → imaji visual perjalanan laut yang menekankan risiko dan petualangan.
- “Orang Pagai mencari lokan, kembanglah bunga serikaya” → imaji visual dan simbolik untuk kehidupan sehari-hari dan pekerjaan yang sederhana.
- “Air mata jatuh berderai, sedihkan untung badan sendiri” → imaji emosional yang menekankan kesedihan dan kekecewaan.
- “Perahu bocor menanti karam” → imaji dramatis yang melambangkan bahaya dan ketidakpastian.
Imaji-imaji ini membuat pembaca merasakan perjuangan, ketidakpastian, dan kesedihan yang menyertai perjalanan hidup manusia.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
- Metafora – “Aku sebagai anak ikan, kering pasang apakan daya” melambangkan keterbatasan manusia dalam menghadapi nasib.
- Personifikasi – perahu, air, dan untung seolah memiliki kehendak sendiri, menekankan ketidakpastian.
- Simbolisme – perjalanan laut, perahu, dan pencarian tiram atau lokan sebagai simbol perjuangan manusia dalam hidup.
- Hiperbola – “Sesal di badan tidak habis, karena untung yang celaka” mempertegas kekecewaan dan penderitaan.
Majas-majas ini memperkuat nuansa getir, sedih, dan reflektif puisi, sehingga pembaca dapat merasakan perjuangan dan ketidakpastian kehidupan manusia secara emosional.
Puisi “Pantun dari Perak ke Negeri Rum” karya Marah Roesli adalah refleksi tentang perjuangan, risiko, dan ketidakpastian dalam kehidupan manusia. Dengan bentuk pantun yang khas dan imaji yang hidup, penyair menekankan keterbatasan manusia dalam menghadapi nasib, penyesalan dari kegagalan, dan pelajaran dari pengalaman pahit.
Puisi ini mengingatkan pembaca untuk menyadari realitas hidup, menerima ketidakpastian dengan kesabaran, dan belajar dari setiap pengalaman dalam perjalanan kehidupan.
Puisi: Pantun dari Perak ke Negeri Rum
Karya: Marah Roesli
Biodata Marah Roesli:
- Marah Roesli (dieja Marah Rusli) lahir di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 7 Agustus 1889.
- Marah Roesli meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 17 Januari 1968 (pada usia 78 tahun).
- Marah Roesli adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
- Pantun di atas merupakan bagian dari buku Sitti Nurbaya (1920).
