Fenomena oligarki dan distorsi kekuasaan lahir karena proses rekrutmen politik di Indonesia yang rapuh, namun dibalut kuat dengan citra yang rapi. Hal ini terjadi karena praktik sistem pemerintahan yang dibentuk oleh struktur hirarkis dan berakar dari partai politik yang gagal berfungsi sebagai sekolah demokrasi yang seharusnya mampu menyiapkan kader yang matang secara intelektual maupun etis. Meskipun secara konstitusional Indonesia menganut sistem demokrasi, namun dalam praktik nyatanya, struktur politik yang ada sering kali justru memperkuat dominasi kelompok elit, di mana hal ini terjadi pada bangku legislatif sering diduduki oleh mereka yang mempunyai modal finansial, popularitas, dan tidak terkecuali dengan janji manis yang secara gratis dikoarkan. Dalam panggung itu, hadir sosok yang secara gamblang melalui budaya politik yang lebih mementingkan performa simbolik ketimbang kualitas substansi.
Menurut Jeffrey A. Winters (2011) dalam Oligarchy, Indonesia termasuk dalam kategori “oligarki elektoral”, di mana pemilu hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan bagi elit yang sudah mapan. Struktur seperti ini membuat pergantian pemimpin tidak selalu berarti perubahan substansial dalam kebijakan publik. Ilmuwan politik Katz dan Mair menambahkan bahwa fenomena ini sebagai cartel parties: partai berubah menjadi klub eksklusif yang mengatur akses kekuasaan hanya bagi kalangan tertentu.
Distorsi kekuasaan kekuasaan sering berputar di lingkaran sempit yang cuma menguntungkan kelompok tertentu, terutama mereka yang punya akses, uang, atau koneksi politik kuat.
Dapat terlihat jelas pada bagaimana kebijakan politik yang kadang lebih berpihak ke elit dibanding masyarakat umum. Misalnya, ketika proyek pemerintah jatuh ke tangan orang yang “punya kedekatan” dengan pejabat, bukan karena kualitas atau transparansi prosesnya. Hal-hal seperti ini membuat turunnya kepercayaan publik pada penguasa.
Sebenarnya yang sedang terjadi dalam politik Indonesia? Jawabannya sederhana namun ironi, yaitu sistem politik Indonesia gagal membangun kapasitas. Rekrutmen berbasis modal dan patronase hanya menghasilkan wakil yang pandai tampil tetapi tidak terlatih berpikir. Budaya politik yang dikuasai logika media menghargai kontroversi lebih daripada argumentasi. Hilangnya basis riset membuat kebijakan disusun dengan tergesa dan berulang kali menghasilkan produk yang cacat.
Oligarki menjadikan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Ketika keduanya bersatu, demokrasi mati secara substansi. Kita punya pemilu, tetapi kandidat ditentukan uang. Kita punya parlemen, tetapi ia lebih sibuk menjadi perpanjangan oligarki ketimbang suara rakyat. Kita punya hukum, tetapi tajamnya hanya terasa pada rakyat kecil, sementara aparat dan elite tetap kebal.
Jika demokrasi terus dijalankan dengan mentalitas distorsi dan logika oligarki, maka rakyat akan selamanya jadi korban. Kedaulatan rakyat hanya akan jadi slogan manis di pidato politik, tetapi kosong dalam kenyataan.
Solusi dari masalah ini jelas tidak cukup dengan melontarkan kritik sesaat di media sosial. Yang dibutuhkan adalah reformasi institusional. Partai politik harus kembali ke fungsinya sebagai sekolah demokrasi yang menyiapkan kader dengan literasi kebijakan, keterampilan legislasi, dan etika representasi. Proses seleksi calon legislatif harus transparan, sehingga publik dapat menilai kapasitas dan rekam jejak kandidat, bukan hanya popularitasnya. Setiap kebijakan perlu berdiri di atas fondasi riset dan analisis dampak yang ketat, sebagaimana lazim di banyak negara demokrasi yang lebih mapan. Tanpa langkah-langkah ini, demokrasi kita hanya akan terus memproduksi blunder dengan wajah baru setiap periode pemilu.