Analisis Puisi:
Puisi “Di Teluk Betung, Lampung” karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya yang puitis sekaligus melankolis, menggabungkan potret ruang kota dengan suasana batin yang personal. Dalam dua bagian (berjudul “/1/” dan “/2/”), penyair menggambarkan lanskap Teluk Betung—sebuah kawasan niaga di Lampung—dengan bahasa yang sarat imaji, simbol, dan kenangan yang berlapis antara ruang sosial dan ruang emosional.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan kenangan yang berkelindan dengan suasana kota Teluk Betung. Penyair menampilkan pertemuan antara ruang luar (kota, jalanan, toko tua, angin) dengan ruang batin (kenangan, kehilangan, dan kegamangan). Tema ini juga menyiratkan hubungan antara waktu dan ingatan: bagaimana masa lalu terus bergema dalam lanskap kehidupan sehari-hari.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang masa lalu di Teluk Betung, sebuah kota pelabuhan yang penuh kenangan. Pada bagian pertama, penyair melukiskan suasana pagi hingga senja dengan detail sensorik: suara adzan, burung-burung sriti, dan angin beraroma ganggang. Namun, pada bagian kedua, suasana berubah menjadi lebih pribadi dan intim—menggambarkan kenangan tentang seseorang yang telah pergi (“kau lekang / aku gamang”).
Dari perpindahan antara ruang kota dan ruang kamar, puisi ini memperlihatkan bahwa kenangan personal seringkali melekat pada tempat. Teluk Betung bukan sekadar latar geografis, tetapi juga wadah bagi perasaan kehilangan dan kesunyian yang mendalam.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang kefanaan, kehilangan, dan upaya manusia untuk menemukan makna dalam kenangan. Dalam suasana kota yang tampak biasa—jalanan, toko tua, burung, dan angin laut—tersimpan perasaan mendalam tentang waktu yang berlalu dan cinta yang tak lagi utuh.
Baris “dari loteng / jalanan serupa bayang-bayangmu” menandakan bahwa masa lalu masih hidup dalam ingatan penyair, meski sosok yang dikenang telah pergi. Di sisi lain, “kau lekang / aku gamang” memperlihatkan kontras antara yang memudar dan yang masih terikat pada kenangan. Makna ini memberi kesan bahwa kehilangan tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya berubah bentuk menjadi kegamangan batin.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini hening, nostalgik, dan melankolis. Pada bagian pertama, suasananya tenang dan puitis—seperti lukisan pagi di kota tua yang penuh kesan damai dan sendu. Namun, di bagian kedua, suasananya berubah menjadi personal dan getir: kesepian, kehilangan, dan bayangan masa lalu hadir membalut ruang-ruang sepi. Pergeseran suasana ini menciptakan kedalaman emosional, memperlihatkan perjalanan batin dari observasi luar menuju introspeksi diri.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual, pendengaran, dan penciuman yang menciptakan pengalaman sensorik yang kuat:
- Imaji pendengaran: “jerit adzan merambat” menimbulkan kesan religius sekaligus sunyi yang meresap.
- Imaji visual: “burung-burung sriti menaburi udara dengan janji” menggambarkan pemandangan pagi yang hidup dan penuh harapan.
- Imaji penciuman: “angin aroma ganggang” membawa kita pada suasana pesisir, khas Teluk Betung yang dekat laut.
- Imaji visual-intim: “sisa gincu pada sarung bantal dan ujung selimut” menghadirkan kenangan akan keintiman dan kehilangan, simbol dari cinta yang telah berlalu.
Semua imaji tersebut saling berlapis: dari kota yang nyata hingga kamar yang penuh kenangan, menunjukkan bahwa ruang luar dan ruang batin saling berhubungan dalam memori manusia.
Majas
Wayan Jengki Sunarta menggunakan beragam majas untuk memperkuat efek puitis:
- Personifikasi: “burung-burung sriti menaburi udara dengan janji” — udara seolah bisa ditaburi, memberi kesan harapan dan keindahan.
- Metafora: “jalanan serupa bayang-bayangmu” — menggambarkan kenangan seseorang yang hadir dalam setiap sudut kota.
- Simbolisme: “sisa gincu pada sarung bantal dan ujung selimut” — simbol keintiman yang telah berlalu, penanda waktu dan cinta yang memudar.
- Repetisi lembut: penggunaan kata “dari loteng” di awal dua bait pada bagian kedua memberi kesan reflektif, seperti suara hati yang mengulang kenangan yang sama.
Amanat / pesan yang disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kenangan dan kehilangan adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dihindari, namun dari keduanya kita belajar tentang makna keberadaan. Waktu mungkin menghapus jejak fisik (“kau lekang”), tetapi rasa dan ingatan tetap hidup dalam diri (“aku gamang”). Selain itu, penyair seolah ingin mengatakan bahwa tempat—seperti Teluk Betung—tidak hanya menyimpan peristiwa, melainkan juga emosi manusia yang melekat di dalamnya.
Puisi “Di Teluk Betung, Lampung” bukan sekadar potret geografis atau nostalgia personal. Ia adalah perenungan puitis tentang hubungan antara ruang, waktu, dan perasaan manusia. Melalui perpaduan antara lanskap kota dan lanskap batin, Wayan Jengki Sunarta menghadirkan karya yang lembut, reflektif, dan sarat makna.
Dengan kekayaan imaji dan kesederhanaan diksi, puisi ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap tempat yang kita datangi, tersimpan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi—hanya berdiam, seperti bayangan senja di Teluk Betung yang perlahan lenyap bersama cahaya.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
