Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Takut Ketinggalan Bikin Boros: Analisis Psikologis Perilaku Konsumtivisme sebagai Dampak dari FOMO pada Generasi Z

Yuk kenali bagaimana FOMO mendorong Generasi Z menjadi lebih konsumtif di dunia digital! Saatnya bijak mengelola pengaruh media sosial demi ...

Oleh Deni Krisna Narendra Sanjaya

Pada era digital ini, semakin pesat dan semakin berpengaruhnya media sosial dan e-commerce dalam kehidupan sehari-hari ini. Media sosial semakin memudahkan untuk langsung mengetahui kegiatan atau pencapaian orang lain. Selain itu, melalui media sosial seseorang dapat secara langsung memberitahu orang lain tentang apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Generasi Z Indonesia yang merupakan generasi muda dengan kelahiran antara tahun 1997 hingga 2010. Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh Generasi Z ialah tingginya pemahaman terhadap teknologi. Hal ini dikarenakan Generasi Z sudah bersentuhan dengan teknologi sedari lahir (Zis et al., 2021).

Generasi Z saat ini tengah mengalami bentuk tantangan gaya hidup yang baru sebagai dampak dari cepatnya persebaran informasi melalui media sosial. Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini kerap melanda generasi muda ialah fenomena Fear of Missing Out (FOMO). FOMO merupakan kondisi kecemasan atau rasa ketakutan ketika seseorang tidak mampu mengikuti apa yang tengah terjadi dalam kehidupan orang lain (Tanhan et al., 2022). Mereka yang mengalami FOMO akan merasakan kecemasan yang luar biasa besar pada saat dirinya tidak dapat memiliki atau mengikuti hal yang tengah ramai diperbincangkan. Mereka khawatir bahwa mereka akan dikucilkan dari lingkungan pertemanan mereka.

Takut Ketinggalan Bikin Boros

Fenomena FOMO tidak hanya memengaruhi interaksi seseorang pada media sosial saja tetapi juga merambat hingga perilaku konsumerisme seseorang. Konsumerisme merupakan kecenderungan seseorang untuk terus membeli yang sering kali dilakukan secara impulsif untuk mengikuti tren atau untuk menunjukkan citra tertentu (Bauman, 2007).

Fenomena konsumerisme akhir-akhir ini kian meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin pesatnya persebaran informasi pada Generasi Z melalui media sosial serta semakin mudahnya untuk mengakses platform e-commerce. Hal ini mengakibatkan Generasi Z semakin rentan untuk mengalami fenomena konsumerisme yang disebabkan oleh adanya perasaan FOMO.

Fakta dan Data

Berdasarkan data dari Financial Fitness Index (FFI) 2024 yang diterbitkan oleh OCBC pada tahun 2024 lalu terdapat 39% Generasi Z melakukan kegiatan menabung dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan lifestyle mereka. Hal ini menggambarkan bahwasanya kini generasi muda hanya berfokus pada kesenangan jangka pendek. Selain itu hasil riset FFI 2024 menunjukkan bahwasanya sebanyak 80% anak muda menghabiskan uang yang mereka miliki untuk menyesuaikan gaya hidup mereka agar sama dengan teman-temannya. Hal ini menandakan bahwasanya fenomena FOMO benar-benar secara signifikan melanda generasi muda terkhususnya Generasi Z. Fenomena FOMO ini juga yang menjadi pemicu dari perilaku konsumerisme yang dilakukan oleh Generasi Z, hal ini dikarenakan Generasi Z akan melakukan pembelian berbagai hal agar diri mereka tidak merasa tertinggal atau left out dari teman-temannya.

Melalui penelitian yang dilakukan oleh Sawe et al. (2024) didapatkannya korelasi positif antara tingkat FOMO dengan perilaku konsumerisme. Ditemukannya hubungan positif yang menunjukkan bahwasanya mahasiswa yang memiliki tingkat FOMO lebih tinggi cenderung melakukan pembelanjaan secara impulsif lebih tinggi juga. Mereka memiliki kecenderungan membeli barang hanya untuk tujuan sosial. Pada penelitian ini FOMO bertindak sebagai motivator internal yang mendorong tindakan konsumtif untuk mencapai koneksi sosial atau status.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cube Asia pada tahun 2023, sebanyak 87% masyarakat Indonesia yang disurvei menuturkan bahwasanya mereka melakukan suatu pembelian atas dasar rekomendasi dari seorang influencer. Hal ini menunjukkan bahwasanya penyebaran informasi melalui media sosial yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap memiliki “power” dapat memicu orang lain untuk melakukan hal yang sama agar mereka dapat menjadi seperti orang yang mereka panuti tersebut. Hal ini merupakan contoh nyata dari FOMO yang mengakibatkan perilaku konsumerisme.

Selain itu, semakin maraknya e-commerce di Indonesia seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, dan masih banyak lagi yang akhir-akhir ini kerap sekali menawarkan berbagai macam promo yang sangat menarik tersebut menjadi salah satu pemicu perilaku konsumerisme yang dilakukan oleh Generasi Z. Dengan kemudahan akses dalam berbelanja, Generasi Z akan semakin mudah serta cepat untuk melakukan transaksi di mana tak jarang transaksi tersebut hanya untuk memenuhi rasa FOMO individu tersebut.

Pembahasan

Untuk memahami serta menganalisis fenomena ini, teori yang paling sesuai untuk digunakan adalah social comparison theory dan social conformity theory yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Social Comparison Theory

Social Comparison Theory dikemukakan pertama kali oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Berdasarkan teori ini, seorang individu akan secara alamiah terdorong untuk melakukan penilaian terhadap dirinya dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain (Festinger, 1954). 

Pada dunia yang sangat modern ini, sebagian besar orang sangat terhubung secara digital. Seseorang akan menjadi semakin lebih mudah untuk melakukan perbandingan diri mereka dengan orang lain melalui media sosial yang menjadi arena utama perbandingan tersebut. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X meningkatkan kemungkinan Generasi Z untuk melihat kehidupan orang lain dimana kehidupan yang diunggah oleh orang lain tersebut sebagian besar berupa pencapaian, perjalanan, kepemilikan barang baru, atau pengalaman yang menyenangkan. 

Pada saat seseorang terpapar secara terus-menerus oleh citra keberhasilan atau kemewahan yang dimiliki oleh orang lain tersebut, lama-kelamaan akan memunculkan bentuk perbandingan sosial ke atas (upward social comparison). Upward social comparison yakni proses atau kondisi di mana seorang individu mengevaluasi diri mereka sendiri dengan cara membandingkan diri mereka dengan orang lain yang unggul di bidang tertentu (Jia, 2025). Seseorang yang terus-menerus berada pada upward social comparison akan menimbulkan perasaan kurang percaya diri, iri-dengki, hingga kecemasan sosial yang disebabkan oleh adanya perasaan tertinggal dari lingkungan sosialnya. Kondisi tersebut merupakan fondasi psikologis dari munculnya kondisi FOMO pada diri seseorang.

FOMO yang terjadi pada Generasi Z, terutama bagi mereka yang hidupnya sangat aktif pada sosial media, bukan hanya sekedar rasa ingin tahu terhadap suatu hal, melainkan sudah bergeser menjadi tekanan dari dalam diri individu yang menuntut suatu tindakan kompensasi untuk dapat menyamakan diri dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu bentuk kompensasi yang paling kerap terjadi pada Generasi Z adalah perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif yang terjadi pada Generasi Z adalah dengan membeli berbagai produk, mengikuti tren berpakaian, ataupun mengikuti berbagai kegiatan yang tengah viral. Hal ini dilakukan hanya untuk memperoleh perasaan kesetaraan dengan orang lain.

Social Comparison Theory mampu menjelaskan bagaimana dampak dari paparan sosial serta proses kognitif dalam membandingkan diri sendiri dapat menghasilkan perasaan ketidakpuasan yang mana hal ini memotivasi perilaku konsumtif. Teori ini juga mampu menjelaskan berbagai jenis perilaku konsumtif yang terjadi pada suatu individu. Individu dengan tingkat self-esteem yang rendah cenderung lebih rentan terhadap efek social comparison (Hasanati & Avian, 2020). Hal ini dikarenakan validasi diri yang mereka miliki sangat bergantung pada validasi dari pihak eksternal. 

Saat ini, konsumerisme tidak lagi hanya sebatas kegiatan ekonomi, melainkan berfungsi sebagai strategi psikologis untuk memperbaiki citra diri yang dirasa kurang. Dengan cara membeli barang yang serupa atau lebih baik dari orang lain, maka jarak sosial antara individu dengan kelompok pembandingnya dapat dikurangi. Social Comparison Theory menjelaskan bahwasanya akar konsumerisme yang dipicu oleh FOMO tidak hanya bersifat secara material, melainkan juga berasal dari kebutuhan dasar manusia akan pengakuan sosial dan harga diri.

2. Social Conformity Theory

Teori Konformitas (Social Conformity Theory) pertama kali dijelaskan secara eksperimental oleh Solomon Asch (1951). Teori ini menjelaskan bahwasanya individu kerap kali menyesuaikan sikap, perilaku, dan opini mereka supaya dapat sejalan dengan kelompok sosial mereka meskipun hal tersebut bertentangan dengan penilaian yang dimiliki oleh individu tersebut (Asch, 1951).

Pada kehidupan sosial yang modern ini, konformitas tidak hanya terjadi secara tatap muka, tetapi juga melalui interaksi daring. Saat ini, Generasi Z hidup pada ekosistem sosial digital yang sangat kaya akan norma tidak tertulis, sebagai contoh seseorang secara tidak sadar memaksakan untuk terus mengikuti tren berpakaian terbaru, memiliki gawai terbaru, ataupun mengikuti suatu kegiatan yang tengah viral agar dapat terus eksis di lingkungannya. Suatu individu akan memunculkan tekanan pada dirinya sendiri dikarenakan adanya tekanan sosial untuk terus ikut serta mengikuti perkembangan zaman agar tidak dianggap berbeda atau tertinggal dari orang lain serta agar individu dapat diterima dalam kelompok tersebut.

Saat ini, konformitas pada Generasi Z diperkuat oleh adanya fenomena FOMO. Hal ini dikarenakan FOMO memunculkan rasa takut akan ditinggalkan ataupun kehilangan koneksi sosial pada suatu individu. Perasaan takut tersebut mendorong suatu individu untuk terus mengikuti perkembangan berbagai hal yang mana hal tersebut memicu perilaku konsumtif. Pada konteks ini, perilaku konsumtif merupakan salah satu bentuk kepatuhan terhadap norma kelompok. Perilaku ini merupakan contoh nyata dari yielding to group pressure. Yielding to group pressure sendiri merupakan kecenderungan suatu individu untuk mengikuti atau mengubah sikap, pendapat, ataupun perilakunya agar sesuai dengan mayoritas kelompok agar ia tidak diasingkan.

Konformitas pada era digital ini memiliki bentuk yang lebih halus serta persuasif. Suatu individu tidak lagi harus ditekan secara eksplisit untuk mengikuti suatu tren, melainkan cukup dengan menyaksikan sesuatu yang menarik perhatian banyak orang di media sosial maka individu tersebut akan merasa terdorong untuk menirunya. Hal ini membuktikan bahwasanya apa yang diyakini serta dilakukan oleh mayoritas cukup kuat untuk memunculkan perilaku konsumtif seseorang tanpa perlu memaksa orang tersebut melakukannya.

Maka, Social Conformity Theory mampu menjelaskan bagaimana tekanan sosial, baik yang eksplisit maupun implisit, mampu mengarahkan suatu individu untuk berperilaku konsumtif demi mempertahankan penerimaan sosialnya. Dalam hal ini, FOMO memiliki peran sebagai motivator yang memperkuat proses terjadinya konformitas tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwasanya fenomena perilaku konsumtivisme pada Generasi Z yang dipicu oleh adanya Fear of Missing Out (FOMO) merupakan perwujudan dari perubahan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi digital serta media sosial. Fenomena ini memiliki akar permasalahan berupa FOMO yang merupakan sebuah kondisi di mana penderitanya merasa cemas apabila dirinya tidak mampu mengikuti apa yang orang lain lakukan atau kehidupan ideal orang lain. Selanjutnya FOMO akan mendorong individu tersebut untuk melakukan pemenuhan keinginannya, hal tersebut menimbulkan permasalahan baru yakni perilaku konsumtif. Dengan penggunaan Social Comparison Theory dalam menelaah fenomena ini, didapatkan pemahaman bahwasanya paparan dari media sosial yang berlebih memicu terjadinya upward social comparison, hal ini menimbulkan perasaan tidak puas dan cemas yang berlebih. Melalui Social Comparison Theory, dapat dipahami bahwa paparan berlebih ini memicu proses kognitif berupa perbandingan ke atas (upward social comparison), yang secara langsung menimbulkan perasaan tidak puas dan kecemasan. Selain itu, dengan menggunakan Social Conformity Theory dapat dijelaskan bagaimana kecemasan emosional berubah menjadi tindakan. Seorang individu akan terdorong melakukan konformitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kelompok di sekitarnya dengan tujuan untuk menghindari terjadinya eksklusi sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya perilaku konsumtivisme pada individu merupakan perwujudan dari coping mechanism untuk meredakan kecemasan FOMO. Selain itu, perilaku konsumtif merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh validasi serta afirmasi dari orang lain.

Saran

Generasi Z pada era digital ini perlu menumbuhkan kesadaran reflektif terhadap pengaruh sosial yang mendorong perilaku konsumtif. Pengendalian diri serta kemampuan untuk memilah kebutuhan dari keinginan harus terus dikembangkan melalui pendidikan psikologis serta literasi digital yang kritis. Institusi pendidikan dapat berperan aktif dengan memberikan pelatihan tentang pengelolaan emosi, manajemen keuangan pribadi, dan kesadaran media, agar individu mampu memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh tren atau kepemilikan materi.

Pada tingkat masyarakat yang lebih luas, penting bagi pemerintah, keluarga, dan platform digital untuk saling bekerja sama membangun ekosistem yang mendorong gaya hidup bijak dan berkelanjutan. Peningkatan kebijakan literasi keuangan serta mengatur strategi pemasaran digital dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah eksploitasi ketakutan individu akan ketertinggalan. Penanaman akan pentingnya kesederhanaan dan menjadi panutan dalam pengelolaan keinginan perlu ditanamkan pada tingkat keluarga. Restrukturisasi platform media sosial dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dengan memprioritaskan konten edukatif serta inspiratif dibandingkan dengan konten yang berbau hedonistik perlu dilakukan secara bersamaan.

Maka melalui berbagai upaya ini, generasi muda akan lebih tahan terhadap tekanan sosial pada platform digital yang mana akan membuat individu berkembang menjadi individu autentik yang dapat menemukan kepuasan hidup tanpa perlunya validasi dari orang lain secara terus-menerus.

Daftar Pustaka:

  1. Asch, S. E. (1951). Studies of Independence and Conformity: I. A Minorit y of One Against a Unanimous Majority. Psychological Monographs: General and Applied, 70(9).
  2. Asia, C. (2023). The Power of Influence E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia. https://go.impact.com/rs/280-XQP-994/images/RRT-INFL-ED-eCommerce-Influencer-Marketing-SEA.pdf 
  3. Bauman, Z. (2007). Consuming Life. Polity Press.
  4. Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7(177). 10.1177/001872675400700202
  5. Hasanati, U., & Avian, Y. I. (2020). Hubungan Social Comparison dengan Self-Esteem pada Pengguna Instagram. Jurnal Pendidikan Tambusai, 4(3), 2391-2399.
  6. Jia, Z. (2025). An experimental study on the impact of social media images on users’ online social anxiety in China. Discover Psychology, 5(14). https://doi.org/10.1007/s44202-025-00337-4 
  7. Sawe, M. T., Hayati, S., & Umar, M. F. R. (2024). Hubungan Perilaku Konsumtif dengan Fear of Missing Out (Fomo) pada Mahasiswa di Kota Makassar. Jurnal Psikologi Karakter, 4(2). https://doi.org/10.56326/jpk.v4i2.4224 
  8. Tanhan, F., Özok, H. İ., & Tayiz, V. (2022). Fear of Missing Out (FoMO): A Current Review. Psikiyatride Güncel Yaklaşımlar-Current Approaches in Psychiatry, 14(1), 74-85.
  9. Zis, S. F., Effendi, N., & Roem, E. R. (2021). Perubahan Perilaku Komunikasi Generasi Milenial dan Generasi Z di Era Digital. Satwika: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 5(1), 69-87. https://doi.org/10.22219/satwika.v5i1.15550 

© Sepenuhnya. All rights reserved.