Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Antara Malin Kundang dan Sampuraga: Dongeng tentang Anak yang Lupa Diri

Benarkah Malin Kundang dan Sampuraga hanyalah cerita serupa tentang kutukan, atau keduanya menyimpan makna kultural yang berbeda?

Oleh Naswa Dwi Putri Nasution

Dongeng-dongeng Indonesia sering kali menjadi cermin nilai moral dan sosial masyarakatnya. Dua kisah yang menarik untuk dibandingkan adalah “Malin Kundang” dari Sumatera Barat dan “Sampuraga” dari Mandailing, Sumatera Utara. Sekilas, keduanya punya jalan cerita yang hampir serupa, yaitu seorang anak laki-laki miskin yang pergi merantau, sukses, lalu melupakan ibunya hingga akhirnya mendapat kutukan tragis. Namun di balik kesamaan itu, tersimpan nilai-nilai budaya dan pesan moral yang sangat mendalam tentang kesetiaan, penghormatan kepada orang tua, dan identitas diri.

Isi Cerita dan Isu yang Sama

Dalam kisah “Malin Kundang”, seorang pemuda miskin pergi merantau demi mengubah nasib. Ia akhirnya menjadi kaya dan menikah dengan perempuan bangsawan. Namun, ketika ibunya menjumpai dirinya, ia menolak mengakui ibunya karena malu pada status sosialnya yang rendah. Sang ibu yang tersakiti kemudian mengutuk Malin menjadi batu.

Malin Kundang dan Sampuraga

Sedangkan dalam legenda “Sampuraga”, kisahnya hampir senada. Sampuraga adalah pemuda dari Mandailing yang merantau dan sukses. Saat ia hendak menikah dan tanpa sadar, sang ibu menemui dirinya, dan Sampuraga tidak mengakui ibunya yang datang ke pernikahannya. Sang ibu yang meninggalkan pesta berdoa kepada Tuhan untuk memberinya pelajaran, saat itulah tempat pesta pernikahan Sampuraga berubah menjadi kolam air panas. Kini kawah air panas tersebut menjadi objek wisata di Mandailing, Sumatera Utara.

Kedua kisah ini menyoroti isu utama tentang durhaka terhadap orang tua, terutama ibu. Selain itu, terdapat juga tema perubahan status sosial dan konflik identitas moral, ketika seseorang naik derajat, ia diuji apakah masih mengingat asal-usulnya atau justru mengingkarinya.

Analisis Isu dan Nilai Moral

Jika dilihat dari perspektif teori strukturalisme Levi-Strauss, kedua dongeng ini memiliki struktur biner yang jelas, yaitu:

  • Anak vs Ibu 
  • Kaya vs Miskin
  • Pengakuan vs Penolakan 
  • Manusia vs Alam 

Menurut Levi-Strauss (1963), mitos dan dongeng bekerja dengan menampilkan oposisi biner yang akhirnya disatukan melalui peristiwa tragis atau simbolik dalam hal ini, kutukan menjadi batu adalah bentuk penyatuan kembali antara kesalahan dan konsekuensinya.

Selain itu, dari sudut fungsionalisme Malinowski (1948), dongeng seperti ini berfungsi sebagai alat pendidikan moral bagi masyarakat. Ia menulis bahwa “myths function a charter for social behavior”, artinya mitos dan dongeng berfungsi sebagai pedoman perilaku sosial. Cerita Malin Kundang dan Sampuraga buka sekadar hiburan, tetapi juga menjadi pengingat bagi anak-anak agar tidak melupakan asal dan menghormati orang tua, karena dalam budaya Nusantara, ibu adalah simbol kasih yang tak terhingga.

Makna Kultural dan Pesan Sosial

Kedua dongeng ini tumbuh dari dua budaya yang berbeda namun memiliki pandangan hidup yang serupa: pentingnya menjaga hubungan keluarga dan tidak melupakan asal-usul. Dalam konteks masyarakat Minangkabau dan Mandailing, merantau bukan hanya upaya mencari nafkah, tetapi juga ujian karakter. Mereka percaya bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari harta, melainkan dari kemampuan menjaga budi dan hormat pada orang tua.

Jika dibaca dengan pendekatan sosiologis, dongeng-dongeng ini menggambarkan nilai kolektif masyarakat agraris yang masih menjunjung tinggi gotong royong, kesetiaan keluarga, dan hukum karma sosial. Seperti yang dikatakan Ratna (2011) “karya sastra adalah potret kebudayaan yang menampilkan nilai-nilai sosial masyarakat yang melahirkannya”. Jadi, kisah Malin Kundang dan Sampuraga bukan sekadar legenda, melainkan refleksi moral bangsa yang menamkan rasa hormat dan tanggung jawab.

Baik Malin Kundang maupun Sampuraga mengajarkan pesan yang sama dengan cara yang berbeda, bahwa kesuksesan tanpa penghargaan terhadap ibu dan akar budaya adalah kehampaan. Dalam dua cerita ini, batu bukan hanya simbol hukuman tetapi juga simbol abadi dari penyesalan. Lewat kisah tragis dua anak durhaka ini, masyarakat Indonesia diajak untuk merenungi makna sejati dari kata berbakti.

Daftar Pustaka:

  1. Levi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology. New York: Basic Books.
  2. Malinowski, B. (1948). Magic, Science and Religion and Other Essays. Boston: Beacon Press.
  3. Pradopo, R. D. (1995). Pengkajian Puisi: Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  4. Ratna, N. K. (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Zuhdi, M. (2017). Nilai Moral dalam Legenda Malin Kundang dan Sampuraga. Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol.5, No.2.

© Sepenuhnya. All rights reserved.