Oleh Ade Solihah
Di tengah derasnya arus digital, perubahan sosial yang cepat, serta tantangan moral yang semakin kompleks, pendidikan Islam membutuhkan pendekatan baru yang lebih menyentuh jiwa manusia. Anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam dunia yang serba cepat, penuh distraksi, dan sering kali kehilangan arah bukan karena kekurangan kecerdasan, tetapi karena kosong secara batin. Di sinilah konsep “Bengkel Jiwa” hadir sebagai paradigma baru yang relevan untuk menjawab kebutuhan zaman.
Apa Itu Bengkel Jiwa?
“Bengkel Jiwa” adalah proses perbaikan dan pemulihan manusia secara menyeluruh. pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai tempat menambah ilmu, tetapi juga sebagai ruang rehabilitasi moral, spiritual, dan sosial. Memandang peserta didik bukan hanya sebagai makhluk yang harus pintar, tetapi sebagai manusia yang harus utuh memiliki hati yang hidup, dan akhlak yang kuat. Konsep ini dianalogikan “pendidikan sebagai bengkel.”
Sebagaimana kendaraan yang rusak dibawa ke bengkel untuk diperbaiki, demikian pula manusia yang mengalami kerusakan akhlak, kehilangan arah, atau terpengaruh lingkungan negatif harus dibawa kepada pendidikan Islam untuk diperbaiki dan dikembalikan pada fitrahnya. Maka peran Guru diposisikan sebagai Murabbi Ruh (pendidik jiwa). Prinsip ini menegaskan bahwa peserta didiklah yang membutuhkan guru untuk mendapatkan solusi, bukan sebaliknya, sebab murid datang membawa "1001 masalah" dan guru memberikan "1001 solusi".
Tantangan Zaman Lebih Banyak Menyerang Jiwa, Bukan Sekadar Pengetahuan
Anak-anak dan remaja zaman sekarang hidup di tengah tantangan yang jauh lebih berat dibanding dulu. Mereka mudah kecanduan gadget sehingga sulit fokus, sering bingung dengan jati diri karena terus membandingkan diri di media sosial, bahkan sopan santun mulai luntur akibat kebiasaan berinteraksi secara cepat dan kasar di dunia digital. Tekanan dari media sosial membuat mereka merasa harus selalu diterima dan diakui, sehingga tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam pergaulan yang berisiko.
Di sisi lain, mereka juga semakin kehilangan kemampuan menahan diri karena terbiasa dengan segalanya yang serba instan. Ini semua bukan masalah kurang ilmu, tetapi masalah kerentanan jiwa. Pendidikan harus menjadi tempat “servis” mental spiritual, bukan sekadar tempat menghafal materi.
Ilmu Tanpa Jiwa Melahirkan Kecerdasan Tanpa Arah
Ilmu yang dipelajari tanpa hati yang baik dan akhlak yang benar akhirnya hanya membuat orang jadi pintar tapi tidak tahu arah. Kita sering melihat orang yang nilainya bagus, cerdas, dan cepat tangkap, tapi tidak bisa memahami perasaan orang lain, atau justru membuat keputusan yang merugikan. Ilmu yang seharusnya menjadi penerang malah bisa dipakai untuk membenarkan keinginan pribadi kalau tidak dibimbing oleh nilai moral.
Inilah salah satu kelemahan pendidikan kita: terlalu mengejar kepintaran, tapi lupa mengajarkan kebijaksanaan. Padahal, kecerdasan bukan hanya soal kemampuan berpikir, tapi bagaimana ilmu itu dipakai untuk berbuat baik, menjaga diri, dan bermanfaat bagi sekitar. Kalau jiwa tidak dibenahi, sebanyak apa pun ilmunya, seseorang bisa salah arah karena tidak punya kompas batin yang menuntun langkahnya.
Biodata Penulis:
Ade Solihah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Prodi PAI.