Oleh Naila Hani’atus Salwa
Di era digital yang serba cepat ini, batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur. Sayangnya, begitu pula dengan batas etika dan rasa kemanusiaan. Fenomena yang dikenal sebagai cyberbullying atau perundungan siber telah menjadi bayangan gelap yang mengintai di balik layar gawai, meninggalkan jejak kerusakan psikologis yang jauh lebih dalam dan sulit disembuhkan daripada luka fisik: luka tak kasat mata.
Banyak orang belum sadar bahwa bullying, baik secara langsung maupun lewat media sosial, bisa meninggalkan luka batin yang dalam. Cyberbullying atau perundungan dunia maya adalah bullying dengan menggunakan teknologi digital biasa dilakukan di media sosial, platform chatting, atau bahkan di platform game. Perundungan jenis ini tidak membutuhkan kontak fisik ia hanya butuh koneksi internet. Cuma dengan jari yang bergerak di atas papan ketik.
Setiap hari kita pasti scroll tanpa henti, seperti like postingan teman dan share konten yang kita suka. Rasanya semua interaksi di dunia maya itu asik dan positif. Namun, apakah pernah kalian berpikir ada sisi gelapnya juga di dunia maya ini. Cyberbullying mempunyai banyak wajah bahkan terkadang tidak disadari dari menyebar rumor yang nggak benar, mengucilkan di grup, body shaming di komentar, atau menyebarkan informasi tanpa izin. Itu semua termasuk cyberbullying dan itu merusak.
Data yang saya peroleh dari website UNICEF memperlihatkan bahwa sebanyak 45% dari remaja dan pemuda yang berusia 14-24 tahun di Indonesia mengalami cyberbullying. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami cyberbullying karena mereka cenderung lebih mengekspos diri di dunia maya.
Ada beberapa tindakan yang bisa jadi kamu lakukan tanpa sengaja yang ternyata masuk dalam tindakan cyberbullying tersebut. Di antaranya adalah pertama, menyebarkan kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial. Kedua, mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial atau memposting sesuatu yang memalukan atau menyakitkan. Ketiga, meniru atau mengatasnamakan seseorang, misalnya dengan akun palsu atau masuk melalui akun seseorang dan mengirim pesan jahat kepada orang lain atas nama mereka. Keempat, mengirimkan pesan yang mengancam atau menjengkelkan di jejaring sosial.
Setiap ejekan, setiap exclusion, dan setiap berita hoax yang disebar itu dapat mempengeruhi mental,dan membuat tingkat insecure seorang meningkatk seperti overthinking, bikin stres, depresi, susah tidur bahkan kehilangan jadi dirinya. Lukanya itu di hati dan pikiran sangat nyata, tidak terlihat tapi sangat terasa.
Cyberbullying juga salah satu bentuk bully yang paling banyak dilakukan akhir-akhir ini. Seperti baru-baru ini yang sedang viral, cyberbullying pada Timothy Anugerah mahasiswa Unud (Universitas Udayana) yang di bully di grup angkatan setelah beredar foto jasadnya, kemudian disertai komentar ejekan dari sesama mahasiswa di grup tersebut. Setelah itu ada enam mahasiswa unud terbukti telah melakukan cyberbullying terhadap almarhum dengan mengejek dan mencemooh, membandingkan fisik korban di percakapan grup tersebut.
Timothy adalah korban perundungan, baik secara langsung maupun siber. Lingkungan sosialnya penuh tekanan hingga mendorongnya pada tindakan fatal. Ini adalah perwujudan nyata dari cyberbullying yang paling berbahaya perundungan yang menormalkan kekejaman verbal. Para pelaku mungkin merasa tindakan mereka hanyalah "candaan" atau "kritik pedas," tetapi bagi korban yang berada dalam titik terendah, kata-kata tersebut bisa menjadi beban terakhir yang merenggut harapan hidup.
Banyak yang belum sadar perbuatan seperti itu bukan hanya tidak punya empati, juga tidak berperi kemanusiaan yang bisa berujung terkena pidana. Hukum Indonesia jelas mengatur soal pencemaran nama baik & cyberbullying Pasal 310 KUHP menyebut ”Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang agar diketahui umum, bisa dipidana penjara paling lama 9 bulan atau denda”. Sedangkan di dunia digital Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 (UU ITE) mengatur ”Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain melalui informasi elektronik termasuk chat, unggahan, atau foto dapat dijerat hukum.”
Dunia maya itu harusnya jadi tempat kita bisa jadi diri sendiri, bukan malah tempat untuk saling menyakiti. Kita harus mulai melihat lebih jauh ke dalam diri sendiri dan menyadari bahwa di balik layar, kita memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau melukai. Mari kita ciptakan ruang digital yang aman dan penuh empati, di mana setiap individu merasa didukung, bukan dihakimi. Karena setiap nyawa berharga, dan luka tak kasat mata yang disebabkan oleh cyber bullying adalah pengingat tragis bahwa kata-kata yang dilempar di dunia maya memiliki konsekuensi yang sangat nyata, bahkan hingga merenggut kehidupan.
Biodata Penulis:
Naila Hani’atus Salwa, lahir pada tanggal 2 April 2006 di Blora, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia, di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.