Oleh Dwi Siska
Di banyak sekolah, guru Pendidikan Agama Islam (PAI) masih dianggap sebagai figur yang harus serba bisa dan selalu benar. Mereka diharapkan mampu menjelaskan hukum fiqh dengan lancar, menguasai sejarah Islam, dapat menjadi teman sekaligus pembimbing moral, dan tentu saja menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan. Singkatnya, guru PAI sering kali dipandang sebagai figur yang “hampir sempurna”.
Tapi itu dulu, sebelum dunia menjadi se-digital dan se-viral seperti sekarang ini.
Ketika Influencer Lebih Didengar daripada Guru
Saat ini, banyak siswa mempelajari agama bukan dari buku teks atau pelajaran di kelas, melainkan dari TikTok, YouTube, dan khotbah singkat berdurasi satu menit. Mereka menghafal nama-nama ustadz yang viral, mengetahui tren konversi selebriti, dan terbiasa dengan pendekatan pengajaran agama yang cepat dan to the point. Di sinilah posisi guru pendidikan Islam mulai goyah.
Penjelasan guru di kelas sering dianggap “membosankan,” “ketinggalan zaman,” atau “berbeda dengan apa yang dikatakan ustadz di TikTok.” Faktanya, guru PAI mengajar sesuai kurikulum, mempertimbangkan konteks, dan harus berhati-hati agar tidak menyalahartikan hukum agama. Sementara itu, influencer bebas berbicara tanpa beban tanggung jawab pendidikan jangka panjang.
Akibatnya, telah muncul gap antara guru dan siswa. Hal ini bukan karena guru tidak kompeten, tetapi karena cara pemahaman agama di era digital telah berubah dengan cepat dan guru PAI diharapkan dapat mengimbangi laju perubahan tersebut.
Tuntutan Menjadi Sosok Sempurna
Di tengah kesenjangan ini, guru PAI harus menghadapi tuntutan lain: menjadi teladan moral yang tidak boleh melakukan kesalahan. Di sekolah, setiap kata dapat diartikan dengan berbagai macam. Di luar sekolah, setiap postingan dapat dibanjiri komentar. Jika sesuatu sedikit menyentuh isu sensitif, hal itu dapat menjadi viral dalam hitungan menit.
Guru PAI adalah manusia biasa, namun sering kali diharapkan untuk selalu benar. Ada tekanan internal yang tidak terlihat: rasa takut akan penilaian, rasa takut akan kesalahan, dan bahkan rasa takut akan penilaian dari siswa mereka sendiri akibat perbedaan referensi agama.
Situasi ini menempatkan guru PAI seperti berada di persimpangan: mereka diharuskan menjadi teladan, namun mereka juga harus tetap menjadi manusia biasa.
Pembelajaran yang Masih Belum Menyentuh Realitas Siswa
Masalah lain muncul dari metode pengajaran. Banyak guru PAI sebenarnya ingin mengajar menggunakan metode diskusi, studi kasus, atau pendekatan digital. Namun, pada kenyataannya, tidak semua sekolah menyediakan fasilitas, pelatihan, atau ruang bagi guru untuk mengembangkan metode tersebut.
Akhirnya, metode ceramah tradisional masih digunakan, bukan karena guru enggan berubah, tetapi karena situasi belum mendukungnya. Sementara itu, siswa Generasi Z terbiasa dengan visual, dialog, dan penjelasan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Hal ini membuat pembelajaran PAI terasa “jauh” dari kenyataan yang dihadapi siswa, padahal siswa membutuhkan bimbingan agama yang relevan dengan dunia mereka: interaksi sosial, media sosial, identitas, lingkup pertemanan, dan bahkan masalah kesehatan mental.
Tekanan Psikologis yang Jarang Dibicarakan
Guru PAI juga mengalami tekanan yang jarang terlihat publik. Misalnya:
- Kebingungan saat menghadapi perbedaan pemahaman agama di kelas,
- Ketakutan untuk menyampaikan hal yang salah tentang isu-isu sensitif,
- Merasa tertinggal dari influencer agama yang viral,
- Dituntut selalu tampil “saleh” di depan semua orang.
Pada kenyataannya, banyak guru PAI ingin mengajar dengan cara yang santai dan manusiawi, tetapi realitas sosial sering memaksa mereka untuk lebih berhati-hati.
Lalu, Harus Bagaimana?
Tantangan yang dihadapi oleh guru PAI saat ini memang nyata, tetapi bukan berarti tantangan tersebut tidak dapat diatasi.
Pertama, guru PAI perlu diberikan akses ke pelatihan literasi digital agar mereka dapat memahami pola dakwah secara online yang digemari siswa. Hal ini bukan untuk menjadi influencer, tetapi untuk memahami bagaimana siswa membangun pemahaman mereka tentang agama.
Kedua, sekolah perlu menciptakan ruang yang aman untuk dialog. Pendidikan Agama Islam seharusnya menjadi mata pelajaran yang mendorong pertanyaan, bukan sekedar mendengarkan. Guru tidak perlu tahu segalanya, terpenting adalah memberikan bimbingan, bukan tekanan.
Ketiga, publik juga perlu mengubah perspektif mereka. Guru PAI bukanlah malaikat; mereka adalah manusia yang berusaha mendidik dengan kesabaran. Menjadi teladan yang baik memang penting, tetapi ruang untuk berkembang jauh lebih penting.
Pada Akhirnya…
Guru PAI menghadapi tantangan terbesar dalam sejarah pendidikan agama: menghadapi dunia yang berkembang lebih cepat daripada sistem pendidikan dapat mengimbanginya. Mereka berada di persimpangan antara idealisme dan realitas, antara tuntutan moral dan batasan pribadi.
Namun, satu hal yang tetap sama: guru PAI tetap memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan praktik keagamaan generasi muda. Bukan karena sosok yang sempurna, tetapi karena mereka ada di sana, menemani, membimbing, dan berusaha se-maksimal mungkin di tengah era yang penuh tekanan.
Dan mungkin, hal itu jauh lebih bermakna daripada kesempurnaan apa pun.
Biodata Penulis:
Dwi Siska saat ini ia aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Agama Islam di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
