Oleh Ahmad Syahir
Realitanya, banyak dari kita belajar hanya demi nilai dan ijazah. Padahal, di balik setiap rumus dan teori, ada tujuan yang jauh lebih luhur: mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Inilah semangat yang ingin dihidupkan kembali melalui islamisasi ilmu, terutama lewat Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan seharusnya tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi juga menjadi sarana pembentukan karakter, iman, dan akhlak yang mulia.
Islamisasi Ilmu, Apa Maksudnya?
Islamisasi ilmu bukan sekadar memberi label “Islam” pada pelajaran. Lebih dari itu, ini merupakan upaya menyatukan pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam agar ilmu yang dipelajari tidak terlepas dari sumbernya, yaitu Allah SWT. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (1980), islamisasi ilmu adalah proses pemurnian ilmu dari pengaruh sekularisme dan mengembalikannya kepada prinsip tauhid. Artinya, semua cabang ilmu baik sains, ekonomi, maupun teknologi tetap dipelajari secara ilmiah, tetapi dengan kesadaran bahwa ilmu harus membawa manfaat dan mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta.
Dalam sejarah Islam, para ulama dan ilmuwan seperti Al-Ghazali dan Ibnu Sina telah mencontohkan bagaimana akal dan iman dapat bersatu dalam pencarian ilmu. Mereka tidak hanya ahli dalam bidangnya, tetapi juga memiliki pandangan spiritual yang mendalam. Bagi mereka, ilmu bukan sekadar alat untuk berkuasa, melainkan sarana untuk memahami kebesaran Allah. Prinsip inilah yang menjadi dasar gagasan islamisasi ilmu di era modern.
Pendidikan Agama Islam sebagai Pondasi
Semangat islamisasi ilmu dapat diwujudkan melalui pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah. PAI tidak hanya berfungsi sebagai pelajaran wajib, tetapi juga sebagai pondasi nilai bagi semua bidang ilmu. Misalnya, saat siswa belajar biologi, mereka dapat melihat tubuh manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna. Saat belajar ekonomi, mereka memahami pentingnya keadilan sosial dan keberkahan rezeki. Saat belajar teknologi, mereka diajak berpikir tentang etika digital dan tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, PAI tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa setiap ilmu memiliki dimensi spiritual dan moral.
Guru, terutama guru PAI, memiliki peran penting dalam mewujudkan integrasi ini. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing dan penanam nilai. Seorang guru yang inspiratif dapat membantu siswa melihat keterkaitan antara pengetahuan dan keimanan. Misalnya, ketika menjelaskan fenomena alam, guru dapat mengaitkannya dengan ayat-ayat Al-Quran. Pendekatan seperti ini menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu adalah bagian dari ibadah.
Menemukan Keseimbangan antara Ilmu dan Iman
Islamisasi ilmu dan Pendidikan Agama Islam ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Keduanya mengingatkan bahwa belajar bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga memperbaiki diri. Seperti yang dikemukakan Ismail Raji al-Faruqi (1982), pendidikan Islam seharusnya membentuk manusia yang memiliki keseimbangan antara kemampuan intelektual dan kesadaran moral.
Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi kompas moral agar manusia tidak kehilangan arah. Ilmu tanpa iman dapat menyesatkan, sementara iman tanpa ilmu dapat membatasi. Karena itu, keseimbangan keduanya menjadi kunci menuju kehidupan yang beradab dan berkeadilan.
Islamisasi ilmu bukan hanya wacana, tetapi panggilan untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana menemukan makna, bukan sekadar angka. Melalui integrasi antara akal dan iman, pendidikan Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dan berakhlak mulia. Ilmu yang berlandaskan iman akan mengantarkan manusia menuju tujuan tertinggi: mencari rida Allah SWT.
Biodata Penulis:
Ahmad Syahir saat ini aktif sebagai mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan.