Oleh Hasbi Witir
Benarkah kesetaraan sosial sudah merata di negeri tercinta Indonesia ini? Benarkah penyandang disabilitas dapat bepergian ke ruang umum dengan aman tanpa gangguan trotoar yang dihalang oleh tiang listrik, atau bahkan terhalang gerobak dagangan? Benarkah kita sudah saling menghormati. Terutama pagi penyandang disabilitas? Dalam kehidupan sehari-hari, penyandang disabilitas sering kali ditempatkan di posisi yang ambigu, tidak sepenuhnya dipahami, dihormati karena ketabahannya, tetapi jarang diberi ruang untuk berdaya. Dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A.A. Navis, paradoks itu menjadi inti dari kisah tragis sekaligus heroik seorang perempuan bisu-tuli bernama Saraswati. Melalui dirinya, Navis tidak sekadar menulis tentang cacat tubuh, melainkan tentang dunia yang cacat empati dan dunia patriarki yang menutup telinga.
Saraswati adalah simbol perlawanan dari yang tak bersuara. Ia hidup dalam kondisi yang serba terbatas, ditinggalkan oleh orang tua dan keluarganya karena kecelakaan tragis, lalu dibawa ke kampung dan diasuh oleh paman. Namun, kasih sayang itu berubah menjadi beban ketika ia dijadikan penggembala kambing dan itik, tidur terpisah di kamar kecil di belakang rumah, dan diperlakukan seolah hanya sebatas pelengkap rumah tangga saja. Dunia yang dihadapinya bukan hanya sunyi karena ia tuli, tetapi juga karena orang-orang di sekelilingnya tak mau benar-benar mendengarkan keberadaannya sebagai manusia.
A.A. Navis, dengan kepekaannya sebagai pengarang asal Minangkabau yang sering mengkritik kemunafikan sosial, menghadirkan Saraswati sebagai gambaran dari lapisan-lapisan ketidakadilan yang dialami perempuan difabel. Ia mengalami dua bentuk penindasan sekaligus, dari diskriminasi karena keterbatasan fisik dan subordinasi karena gendernya. Di mata masyarakat patriarki, perempuan sepertinya bukan subjek yang berhak menentukan arah hidupnya. Tubuhnya hanya sebagai objek belas kasihan, kadang bahkan pelecehan, seperti ketika seorang laki-laki bisu di kapal memperolok dan melamarnya hanya untuk menghibur penumpang lain.
Saraswati menolak untuk tunduk pada pandangan itu. Ia menyadari bahwa menangis tidak akan mengubah apa pun. “Tangisan tak lagi akan mengubah nasibku,”. Kesadaran ini menandai lahirnya kekuatan dalam dirinya, sebuah perlawanan “diam” yang berakar dari martabat dan keinginan untuk diakui sebagai manusia seutuhnya. Ia tidak menuntut belas kasihan, melainkan kesetaraan. Ia belajar menerima kenyataan tanpa kehilangan harga diri.
Dalam setiap langkahnya, Saraswati memperlihatkan ketabahan seorang perempuan yang dikelilingi oleh orang-orang yang tidak berpihak padanya. Ia berusaha keras untuk menjalani hidup, menggembalakan ternak dengan sabar, bahkan tetap menebar kasih kepada anak-anak yang dulu melemparinya dengan batu. Ketika seorang anak datang meminta maaf, ia membalas dengan senyum dan belaian lembut di kepala anak itu. Di sinilah keagungan batinnya Saraswati yang tidak dimiliki semua orang, dalam sunyinya, ia masih bisa menumbuhkan empati yang tidak mampu ditumbuhkan oleh dunia di sekitarnya.
Namun, perjuangan Saraswati bukanlah tanpa luka. Dalam dirinya tersimpan kegelisahan yang mendalam: mengapa orang-orang seperti dirinya diciptakan untuk menderita? Mengapa masyarakat begitu cepat menghakimi orang cacat sebagai manusia tak berguna? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadikan novel ini bukan sekadar tentang sosial saja, melainkan juga refleksi untuk setiap pembacanya. Melalui Saraswati, Navis mengingatkan bahwa ukuran kemanusiaan bukan terletak pada kesempurnaan fisik, melainkan pada kesadaran dan kasih sayang yang kita tanamkan kepada sesama.
Sayangnya, dunia Saraswati adalah dunia yang empatinya kian sempit. Masyarakat dalam cerita Navis mencerminkan wajah sosial yang masih akrab kita jumpai hingga kini, masyarakat yang masih menganggap difabel sebagai beban, bukan bagian dari keberagaman manusia. Dalam konteks ini, novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi menjadi semacam kritik sosial yang tajam terhadap struktur patriarki yang menindas dua kali lipat, menindas karena perempuan, dan menindas karena disabilitas.
Kesunyian Saraswati, jika dibaca lebih dalam, bukan hanya keterbatasan indra, tetapi juga metafora bagi asingnya kehidupan sosial. Dunia modern yang seolah ramai justru sering abai pada suara-suara yang sunyi: suara perempuan, suara orang kecil, suara yang tidak terdengar di tengah riuhnya kepentingan. Navis seolah ingin mengatakan bahwa dalam keheningan seperti itulah, manusia diuji untuk benar-benar mendengarkan, bukan dengan telinga, tetapi dengan Nurani dan jiwa kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, perjuangan Saraswati bukan tentang kemenangan besar, melainkan tentang keberanian untuk tetap hidup dengan martabat di tengah keterbatasan yang dimiliki. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang menindas dan masyarakat yang tuli akan keadilan. Di tangan Navis, sunyi digambarkan bukan sekadar ketiadaan bunyi saja, melainkan ruang tempat perempuan seperti Saraswati menemukan kekuatannya.
Karena dalam diamnya, Saraswati berbicara lantang tentang apa itu makna kesetaraan.
Dalam kesunyian, ia menegaskan bahwa manusia, siapa pun ia, apa pun kekurangannya, berhak untuk didengar, dihargai, dan dicintai bukan karena belas kasihan, tetapi karena kemanusiaannya.