Oleh Rima Dwi Nastiti
Kadang jadi mahasiswa itu kayak main game tanpa tutorial. Disuruh paham semuanya, tapi gak dikasih waktu loading dulu. Dibilang dewasa, tapi tetap disuruh nurut. Dibilang mandiri, tapi tugas datang bertubi-tubi. Baru duduk sepuluh menit di kelas, dosen udah nanya teori. “Coba jelaskan makna konsep itu,” katanya dengan wajah tenang. Padahal otakku masih buffering gara-gara belum sempat ngopi pagi. Rasanya kayak diminta menjelaskan isi kitab rahasia peradaban, padahal aku cuma pengin nyari sinyal WiFi yang stabil.
Aku pernah jujur ke dosen kalau aku gak paham. Beliau cuma bilang, “Ya harusnya kamu udah ngerti.” Kalimat sederhana, tapi efeknya kayak disundul realitas. Aku pengin jawab, “Saya mahasiswa, Bu, bukan maha bisa.” Tapi tentu saja, yang keluar cuma senyum sopan ala mahasiswa yang nilai absensinya masih butuh tanda tangan dosen itu juga.
Pernah juga, dosen nanya tiba-tiba waktu kelas lagi hening. Aku berusaha jawab, meski otak rasanya masih nge-lag. Kalau jawabanku kurang pas, beliau langsung bilang, “Saya sudah jelaskan ini sebelumnya, ya. Harusnya kalian sudah bisa.” Kalimat itu menohok, lebih dari nilai C di KHS. Kami bahkan pernah dapat hukuman gara-gara gak bisa jawab—tugas tambahan satu bab penuh. Sejak itu aku belajar satu hal: yang bikin stres bukan materinya, tapi reaksinya.
Di kampus, kejujuran kadang dianggap kemalasan. Ngaku gak paham malah dibilang gak belajar. Padahal kadang kita cuma butuh waktu buat mikir pelan-pelan. Gak semua teori bisa langsung masuk, apalagi kalau perut masih kosong dan mata baru melek lima menit lalu. Tapi sistem kuliah sering lupa, “paham” itu butuh proses, bukan tekanan.
Lucunya, dunia luar selalu menganggap mahasiswa itu keren. Katanya pintar, kritis, calon pemimpin masa depan bangsa. Padahal banyak dari kita cuma berjuang biar gak remedial. Kritis? Iya, kritis waktu saldo tinggal dua puluh ribu. Pintar? Pintar ngatur waktu antara tugas, rapat organisasi, dan rebahan terencana. Dan calon pemimpin bangsa? Kadang kita cuma pengin jadi calon sarjana dulu, deh.
Tapi di balik semua itu, ada bangga yang diam-diam tumbuh. Meski lelah dan sering gak paham arah, kita tetap berjuang. Setiap tugas dikumpulkan, setiap ujian dilewati, setiap dosen ditatap dengan senyum palsu penuh harapan—semua itu perjuangan juga. Belajar ternyata bukan cuma soal nilai, tapi soal bertahan hidup dengan kepala tegak.
Aku sadar, jadi mahasiswa bukan soal bisa segalanya. Tapi soal berani ngaku kalau belum paham apa-apa. Belajar bukan lomba siapa paling cepat ngerti teori. Belajar itu perjalanan panjang, pelan tapi penuh makna. Mungkin yang kita butuhkan bukan dosen maha tahu, tapi dosen yang mau memahami. Karena pada akhirnya, kita memang mahasiswa—bukan maha bisa. Dan itu gak salah, karena justru dari ketidaktahuan itulah lahir keingintahuan yang paling jujur.
Biodata Penulis:
Rima Dwi Nastiti saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.