Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mahasiswa, Tugas, Laprak, dan DJ Funkot: Trio Aneh tapi Nyata

Deadline, laprak, dan Funkot — tiga hal yang cuma mahasiswa sejati bisa pahami. Yuk baca kisah lucu tapi nyata tentang perjuangan mahasiswa ekonomi ..

Oleh Elza Lidya

Mungkin ada yang bingung, seharusnya “trio” itu isinya tiga, bukan empat. Tapi di dunia mahasiswa, logika sering ikut hanyut bersama tumpukan deadline. Di tengah kamar kos yang penuh tumpukan tugas, laporan praktikum pengantar akuntansi yang belum kelar, dan DJ Funkot yang berdentum di latar belakang, hidup saya terasa seperti pesta dadakan yang disponsori stres dan kopi instan.

Sebagai mahasiswa baru Pendidikan Ekonomi, saya baru sadar kuliah bukan sekadar “belajar teori ekonomi”. Ini lebih mirip ujian kesabaran jangka panjang. Dosen menjelaskan makro ekonomi dengan semangat revolusioner, sementara saya sibuk mikir ini ayam geprek enak kali, ya?

Mahasiswa, Tugas, Laprak, dan DJ Funkot

Tugasnya? Jangan tanya deh. Rasanya seperti negara lagi krisis sumber daya manusia. Laporan-laporan kecil tapi jumlahnya banyak, tugas-tugas ringan tapi numpuk kayak cucian di akhir bulan, dan yang paling bikin stres laporan praktikum akuntansi. Entah kenapa ya, kata itu punya aura mistis yang bisa bikin maba (mahasiswa baru) mendadak ingin pensiun dini dari dunia akademik. Apalagi kalau dosen bilang dengan nada tenang tapi menusuk, “Minggu depan dikumpulkan, ya, tolong jangan copy-paste dari internet. Saya udah hafal gaya tulisannya ChatGPT.” Seolah-olah beliau tahu saya baru saja menutup tab ChatGPT lima detik sebelum kelas dimulai.

Biasanya, penderitaan ini mencapai puncak setelah pukul sepuluh malam. Saat manusia normal sudah rebahan, saya malah buka Word, Excel, dan playlist DJ Funkot. Bagi sebagian orang, Funkot itu berisik dan ganggu. Tapi bagi saya, itu soundtrack perjuangan kuliah. Lagu pop bikin ngantuk, lagu mellow bikin mikir mantan, tapi Funkot? Bikin semangat kayak baru minum dopping campur kopi sachet.

Setiap beat terasa seperti motivasi instan, “Ayo, deadline tinggal sejam lagi!” Kipas angin di pojokan ikut goyang, dan kursor Word menari di layar seperti DJ dadakan. Kadang saya ngetik sambil senyum getir antara sadar dan halu karena entah kenapa laporan praktikum akuntansi bisa seribet laporan keuangan negara.

Ironisnya, DJ Funkot nggak pernah janji nilai A. Tapi entah kenapa, musik itu memberi energi yang nggak bisa saya dapatkan dari seminar motivasi atau ceramah “tips sukses jadi mahasiswa berprestasi”. Funkot jujur nggak kasih solusi, tapi bikin malam-malam suram terasa lebih asik.

Sebagai Maba, saya sering dengar kating bilang: “Nikmatin aja prosesnya.” Tapi jujur, nikmatin gimana, kalau hampir tiap minggu rasanya kayak UTS kecil-kecilan? Kadang saya cuma bisa ngomong ke diri sendiri, “Santai! Kalau laporannya ngga balance, bukan berarti hidupmu juga nggak balance. Cuma pending sebentar.”

Lucunya, setelah semua tugas kelar, saya tetap nyalain DJ Funkot. Bukan buat semangat, tapi nostalgia. Setiap dentumannya seperti mesin waktu, membawa saya ke malam-malam absurd penuh kopi sachet, mata panda, dan kalimat sakral: “Besok aja dikumpulnya, dosennya santai kok.”

Akhirnya saya sadar, DJ Funkot bukan sekadar musik. Dia semacam simbol perlawanan mahasiswa terhadap sistem akademik yang tak kenal belas kasihan. Suara kebebasan dari kaum yang terjebak di antara tugas, laprak, dan masa depan yang belum jelas. Karena di balik semua kehebohan ini, saya cuma ingin satu hal sederhana tetap waras sambil berjuang.

Jadi kalau suatu malam kamu dengar suara dugem dari kamar kos mahasiswa ekonomi, jangan langsung suuzan. Bisa jadi, itu cuma upaya terakhir kami buat bertahan antara Excel, laprak, dan realita yang masih loading.

Biodata Penulis:

Elza Lidya saat ini aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Ekonomi.

© Sepenuhnya. All rights reserved.