Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Menumbuhkan Kesadaran Diri dan Empati di Sekolah: Fondasi Kepribadian Sehat bagi Generasi Muda

Mari tumbuhkan kesadaran diri dan empati di kalangan remaja! Bersama Guru BK, wujudkan generasi yang lebih peduli, berkarakter, dan berjiwa manusiawi.

Di tengah dinamika remaja yang sarat emosi dan pencarian jati diri, dua kemampuan penting sering kali terlupakan: kesadaran diri dan empati. Padahal, keduanya menjadi dasar dari kepribadian yang matang dan hubungan sosial yang harmonis. Peran Guru Bimbingan dan Konseling menjadi kunci dalam menumbuhkan dua hal berharga ini di lingkungan sekolah.

Dalam kehidupan sekolah yang penuh interaksi dan dinamika emosi, siswa tidak hanya belajar memahami pelajaran, tetapi juga belajar memahami dirinya dan orang lain. Dua kemampuan yang mendasari proses tersebut adalah kesadaran diri (self-awareness) dan empati (empathy). Keduanya merupakan pilar utama dalam pembentukan kepribadian yang sehat dan berkarakter.

Menumbuhkan Kesadaran Diri dan Empati di Sekolah

Menurut Daniel Goleman (1995), kesadaran diri adalah kemampuan seseorang mengenali emosi, kekuatan, dan nilai-nilai pribadinya, serta memahami bagaimana hal itu memengaruhi perilaku dan keputusan. Sementara itu, empati merupakan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, serta menanggapinya dengan kepekaan. Individu yang memiliki kesadaran diri yang baik akan lebih mampu menumbuhkan empati, karena ia telah mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum memahami orang lain.

Dalam konteks sekolah, kedua kemampuan ini sering kali menjadi tantangan. Banyak remaja yang belum sepenuhnya menyadari perubahan emosi dan tekanan yang mereka alami. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, sulit mengendalikan diri, atau bahkan terlibat konflik dengan teman sebaya. Di sinilah peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi sangat penting.

Guru BK tidak hanya membantu siswa yang memiliki masalah, tetapi juga berperan sebagai fasilitator pengembangan kepribadian. Melalui layanan bimbingan klasikal, konseling kelompok, atau kegiatan pengembangan diri, guru BK dapat membantu siswa mengenali potensi dan kelemahan dirinya, memahami emosi yang muncul, serta mengelola respons terhadap situasi sosial. Misalnya, dengan kegiatan refleksi diri, siswa dapat diajak menuliskan perasaan mereka dalam jurnal harian. Dari sana, mereka belajar mengenali pola pikir dan emosi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pembelajaran empati dapat dikembangkan melalui metode role play, diskusi kelompok, atau kegiatan berbagi pengalaman. Siswa dapat diajak membayangkan posisi orang lain dalam suatu situasi tertentu, memahami sudut pandangnya, lalu mencari cara terbaik untuk merespons. Dengan latihan semacam ini, mereka tidak hanya belajar memahami orang lain, tetapi juga mengasah kepekaan sosial dan kemampuan komunikasi yang positif.

Namun, menumbuhkan kesadaran diri dan empati tidak bisa dicapai secara instan. Proses ini membutuhkan lingkungan sekolah yang suportif, keteladanan dari guru, dan suasana yang aman untuk berekspresi. Guru BK bersama seluruh warga sekolah perlu menciptakan budaya saling menghargai dan peduli. Ketika siswa merasa diterima dan dipahami, mereka akan lebih mudah memahami orang lain.

Lebih jauh, penguatan dua kemampuan ini juga dapat menjadi langkah preventif terhadap perilaku negatif seperti perundungan (bullying), intoleransi, atau sikap egois di kalangan pelajar. Siswa yang memiliki kesadaran diri akan lebih mampu mengendalikan dorongan emosi dan memahami dampak perilakunya terhadap orang lain. Sementara empati membantu mereka membangun hubungan sosial yang penuh kepedulian dan saling menghormati.

Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang kecerdasan intelektual, tetapi juga tentang pembentukan kepribadian yang utuh. Kesadaran diri dan empati menjadi dua nilai penting yang perlu dipupuk sejak dini agar generasi muda tumbuh sebagai pribadi yang seimbang, cerdas secara kognitif, stabil secara emosional, dan peka terhadap lingkungan sosialnya.

Peran guru BK di sini bukan sekadar membimbing siswa keluar dari masalah, melainkan menuntun mereka memahami diri untuk memahami orang lain. Karena sejatinya, dari kesadaran diri lahir empati, dan dari empati lahir kemanusiaan.

Khoirunnisa Auliya Rosyidah

Biodata Penulis:

Khoirunnisa Auliya Rosyidah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Bimbingan dan Konseling.

© Sepenuhnya. All rights reserved.