Tangisan Pembuat Moke
Di lereng-lereng tua
tempat lontar meneteskan doa,
para petani moke bangun sebelum cahaya,
menyambut pagi dengan tangan beraroma tanah
dan harapan yang sederhana.
Mereka bukan pemburu ribut,
hanya penjaga tetes kehidupan—
warisan yang menitis dari kakek,
dari cerita yang tak pernah usai
tentang kebanggaan di balik bara tungku.
Namun angin berubah arah,
membawa suara-suara dari kota,
tentang larangan, aturan, dan ketegasan
yang jatuh seperti hujan batu
di atap-atap rumah bambu.
Para petani menatap langit,
menahan perih di balik diam:
Apakah salah jika kami menjaga tradisi?
Apakah dosa jika kami menghidupi keluarga
dengan apa yang alam titipkan pada kami?
Di antara kabut pagi,
moke menetes pelan—
seperti air mata yang tak pernah tuntas,
tapi tetap setia mengalir,
mengajarkan arti bertahan.
Dan para pembuat moke pun bangkit,
bukan dengan amarah,
melainkan dengan tekad yang jernih:
menjaga budaya, menyuarakan harapan,
memohon ruang agar tradisi tidak padam.
Sebab moke adalah nyanyian tanah,
adalah identitas yang tak bisa dicabut,
adalah kisah tentang manusia dan alam
yang bertaut dalam kesetiaan ribuan hari.
Maka biarlah suara mereka terdengar—
dengan lembut,
dengan hormat,
dengan keteguhan yang tak memaksa
2025
Analisis Puisi:
Puisi “Tangisan Pembuat Moke” menghadirkan potret menyayat tentang perjuangan para petani pembuat moke—minuman tradisional khas Nusa Tenggara Timur—yang kini berada dalam tekanan aturan hukum. Melalui bahasa puitis yang jernih, penyair menggambarkan konflik antara tradisi yang diwariskan turun-temurun dan kebijakan modern yang memandang produksi moke sebagai sesuatu yang “haram” atau terlarang. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang minuman lokal, tetapi tentang identitas, martabat, dan perjuangan komunitas adat mempertahankan warisan leluhur.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjuangan budaya dan ketegangan antara tradisi dengan kebijakan modern. Puisi ini juga menyoroti tema ketidakadilan sosial, identitas masyarakat adat, serta ketabahan petani moke dalam memperjuangkan kelangsungan tradisi.
Puisi ini bercerita tentang para petani moke di Nusa Tenggara Timur yang setiap hari bekerja sejak subuh dengan penuh ketekunan. Mereka menjaga tradisi turun-temurun dalam menyadap dan mengolah moke—sebuah simbol kebanggaan dan warisan keluarga.
Namun, kehidupan mereka terusik oleh aturan dan larangan dari pihak berwenang — khususnya Polda NTT — yang memandang moke sebagai barang haram atau produk ilegal. Suara kebijakan itu "jatuh seperti hujan batu" — menyakitkan, tiba-tiba, dan menghancurkan ketenangan masyarakat adat.
Puisi kemudian menggambarkan kesedihan, dilema moral, dan kebingungan para petani: apakah salah mempertahankan tradisi leluhur? Apakah berdosa menghidupi keluarga dengan kekayaan alam yang mereka rawat?
Puisi ini menggambarkan kebangkitan mereka—bukan dengan kekerasan, tetapi dengan tekad untuk tetap menjaga budaya dan meminta ruang agar tradisi mereka tidak padam.
Makna Tersirat
Puisi ini memiliki makna tersirat yang mendalam, di antaranya:
- Tradisi bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan identitas dan ikatan sejarah yang membentuk jati diri komunitas.
- Larangan yang tidak memahami konteks budaya bisa melukai martabat masyarakat adat.
- Modernisasi tanpa dialog dapat menjadi bentuk kolonialisasi baru, yang menggerus tradisi lokal.
- Para petani moke tidak sedang melawan hukum; mereka hanya ingin dihormati sebagai penjaga warisan leluhur.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa kebudayaan perlu diberi ruang untuk hidup, bukan dimatikan oleh aturan tanpa empati.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini:
- melankolis,
- penuh beban emosional,
- tenang namun pedih,
- dan kontemplatif.
Ada rasa sedih pada awal puisi, ketegangan di bagian tengah saat larangan turun, dan suasana penuh harapan pada akhir puisi ketika para petani bangkit dengan keteguhan.
Amanat / Pesan
Amanat yang disampaikan puisi ini antara lain:
- Hargai tradisi sebagai bagian penting dari identitas masyarakat.
- Kebijakan publik harus mempertimbangkan aspek budaya, sejarah, dan kehidupan sosial masyarakat kecil.
- Perjuangan mempertahankan tradisi tidak harus dilakukan dengan kemarahan, tetapi dengan tekad dan dialog.
- Budaya lokal adalah aset bangsa yang harus dirawat, bukan dihukum.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat dan menyentuh:
Imaji visual alam dan kerja keras:
- “Di lereng-lereng tua tempat lontar meneteskan doa”
- “tangan beraroma tanah”
- “atap-atap rumah bambu”
Imaji emosional:
- “moke menetes pelan — seperti air mata yang tak pernah tuntas” Menunjukkan kesedihan yang berlangsung lama.
Imaji-imaji ini membuat pembaca bisa melihat, merasakan, dan memahami penderitaan sekaligus keteguhan para pembuat moke.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi
- “lontar meneteskan doa” → Lontar dipersonifikasikan sebagai makhluk yang bisa berdoa.
- “moke menetes seperti air mata” → Moke digambarkan seolah memiliki perasaan manusia.
Metafora
- “tetes kehidupan” → Moke sebagai simbol hidup dan penghidupan.
- “hujan batu” → Larangan dari pihak berwenang diibaratkan sebagai sesuatu yang menyakitkan.
Simbolisme
- Moke → Tradisi, identitas, hubungan manusia dengan alam.
- Kabut pagi → Ketidakpastian dan kesedihan yang membungkus kehidupan petani.
Puisi “Tangisan Pembuat Moke” adalah potret sosial dan budaya yang sangat kuat. Melalui kisah para petani moke, penyair menyoroti pergulatan antara tradisi dan kekuasaan modern. Puisi ini menegaskan bahwa budaya lokal harus dipahami, dihormati, dan diselamatkan — bukan dihakimi secara sepihak.
Di balik setiap tetes moke, ada kerja keras, sejarah yang panjang, dan doa-doa yang tumbuh dari tanah. Dan seperti pesan puisi di bagian akhir, perjuangan para pembuat moke bukanlah perlawanan, melainkan harapan agar suara mereka—sebagai penjaga warisan—didengar dengan hormat.
Karya: Geovaldus Rivaldo Jehali
Biodata Geovaldus Rivaldo Jehali:
- Geovaldus Rivaldo Jehali adalah seorang relawan yang aktif di MBG Dapur Merdeka Kupang.