Oleh Ahmad Al Fath Nur
Setelah sebulan penuh umat Muslim menjalani ibadah puasa, malam takbiran menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu. Di Maninjau, gema takbir bukan sekadar lantunan suara, tetapi juga hadir dalam bentuk tradisi turun-temurun yang dikenal sebagai Rakik-Rakik dan kehadiran maskot khas bernama Si Muntu. Keduanya menghadirkan kemeriahan yang unik dan menjadi identitas budaya masyarakat setempat setiap Hari Raya Idulfitri.
Rakik-Rakik: Warisan Tradisi Puluhan Tahun
Rakik-rakik merupakan karya kreatif anak nagari yang dibuat dari rangkaian bambu. Bambu-bambu tersebut dirangkai dengan cermat hingga membentuk struktur menyerupai atap gonjong rumah gadang atau meniru desain masjid-masjid tradisional Minangkabau. Bagian luar rakik dihiasi lampu warna-warni yang berkelap-kelip, menciptakan pemandangan megah ketika ia dilepas mengapung di permukaan Danau Maninjau saat malam takbiran.
Tradisi ini digelar oleh lima jorong di Maninjau, yaitu Jorong Gasang, Jorong Pasar Maninjau, Jorong Kubu Baru, Jorong Bancah, dan Jorong Kukuban. Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat telah mempertahankan tradisi ini sebagai wujud penyambutan Idulfitri sekaligus simbol kebersamaan antarwarga.
Pembuatan rakik-rakik dilakukan secara gotong royong oleh para pemuda setempat. Mereka bergabung membangun struktur bambu yang kokoh dan dapat mengapung, kemudian menghiasnya hingga tampak terang, bersinar, dan menawan. Setelah selesai, rakik-rakik dilepas ke danau, menjadi tontonan indah yang memikat siapa pun yang menyaksikannya.
Kemeriahan semakin lengkap dengan dentuman meriam yang dibunyikan dari atas rakik-rakik. Suara meriam yang menggema di tengah malam takbir menjadikan tradisi ini sebagai hiburan khas Maninjau yang selalu dinantikan setiap tahun.
Akar Tradisi: Budaya Merantau dan Kerinduan untuk Pulang
Tradisi Rakik-Rakik memiliki kaitan erat dengan budaya merantau yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, khususnya di Kabupaten Agam. Banyak anak nagari yang merantau ke berbagai daerah dan hanya pulang pada momen-momen besar seperti Idulfitri.
Karena itu, Rakik-Rakik juga berfungsi sebagai persembahan bagi para perantau. Tradisi ini menjadi penanda bahwa kampung halaman selalu menyambut mereka dengan hangat. Selain sebagai ajang melepas rindu dengan keluarga, Rakik-Rakik juga menjadi ruang silaturahmi bagi masyarakat dari berbagai jorong yang berkumpul di Danau Maninjau.
Si Muntu: Maskot Ceria yang Menghidupkan Suasana
Selain Rakik-Rakik, masyarakat Maninjau juga memiliki tradisi unik lainnya, yaitu kehadiran Si Muntu—maskot yang dikenal pula sebagai Cimuntu atau figur “orang buruk”. Tradisi ini merupakan warisan dari masyarakat Koto Kaciak, Tanah Datar, dan tetap dilestarikan di kawasan Danau Maninjau.
Menurut berbagai catatan budaya, Si Muntu memiliki kemiripan konsep dengan Halloween di Amerika, tetapi dengan perbedaan makna yang sangat jelas. Jika Halloween identik dengan gambaran hantu atau sosok menyeramkan, Si Muntu justru berfungsi sebagai penghibur dan penambah semarak suasana. Anak nagari menampilkan kreativitas mereka melalui kostum, riasan, dan tingkah laku lucu Si Muntu yang mampu mengocok perut penonton.
Kearifan Lokal yang Menjaga Kebersamaan
Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi khas yang tidak ditemukan di tempat lain, dan Rakik-Rakik serta Si Muntu adalah dua di antaranya. Di Kabupaten Agam dan khususnya di Maninjau, keduanya menjadi simbol kebersamaan, kreativitas, dan rasa cinta terhadap budaya lokal.
Di tengah modernisasi dan perubahan zaman, masyarakat Maninjau tetap menjaga tradisi ini sebagai bagian penting dari identitas mereka. Kemeriahan Rakik-Rakik yang terapung di Danau Maninjau, dentuman meriam, sorak para penonton, hingga kehadiran Si Muntu yang menghibur—semua menjadi rangkaian momen yang menambah kehangatan perayaan Idulfitri di Ranah Minang.
Biodata Penulis:
Ahmad Al Fath Nur saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Jepang, di Universitas Andalas.