Novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi merupakan karya sastrawan besar asal Sumatera Barat, A.A. Navis, yang pertama kali diterbitkan oleh Pradnja Paramita, Jakarta, pada tahun 1970, lalu diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2002. Novel ini berhasil memenangkan sayembara penulisan novel UNESCO-IKAPI tahun 1968, sebuah penghargaan yang menegaskan kepekaan Navis terhadap isu-isu kemanusiaan yang mendalam.
Dalam novel ini, Navis menghadirkan tokoh utama bernama Saraswati, seorang gadis bisu-tuli yang hidupnya dilingkupi oleh kehilangan, kesepian, dan keterasingan. Saraswati tidak hanya hidup dalam dunia yang sunyi secara fisik, tetapi juga di tengah masyarakat yang tidak mampu mendengar jeritan batinnya. Ia kehilangan seluruh keluarganya akibat kecelakaan tragis dan kemudian diasuh oleh keluarga Pak Angah di Padangpanjang. Di sanalah hidupnya berubah, dari gadis kota yang berada menjadi seorang gadis desa yang harus belajar bertahan dalam keterbatasan.
Kesunyian Saraswati bukan sekadar kondisi medis, melainkan simbol dari trauma dan keterasingan manusia ketika kehilangan segalanya. Ia tidak hanya kehilangan suara, tetapi juga kehilangan arah hidup, kasih sayang, dan tempat berpulang. Dalam kesunyiannya, Saraswati belajar menggembala kambing, menjahit, dan menyulam. Aktivitas-aktivitas itu tampak sederhana, tetapi justru menjadi sarana penyembuhan bagi jiwanya yang rapuh. Melalui proses itu, Saraswati belajar berdamai dengan masa lalunya dan menemukan arti baru dari keberadaannya.
Navis menggambarkan trauma Saraswati dengan sangat halus. Tidak ada letupan emosi besar, tidak ada tangisan keras yang ada hanyalah diam yang panjang dan pilu. Namun dari diam itu, pembaca justru dapat merasakan betapa dalam luka yang ia tanggung. Perjalanan batin Saraswati juga diwarnai oleh pergulatan perasaan yang rumit. Pada awalnya, tanpa banyak disadari, ia menaruh kasih yang lembut kepada Busra, sosok yang sabar, penuh perhatian, dan menjadi penolong utamanya setelah kehilangan keluarga. Namun seiring waktu, rasa itu perlahan bergeser kepada Bisri, saudara Busra. Perasaan itu tumbuh dalam diam, seperti sapu tangan yang ia sulam dengan hati-hati. Namun cinta itu berujung pada luka ketika Saraswati mengetahui bahwa Bisri ternyata mencintai Tati, perempuan lain yang kemudian ia temui saat mengungsi. Inilah bagian paling manusiawi dari diri Saraswati,ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki, kadang cukup dirasakan untuk memahami siapa dirinya. A.A. Navis menggambarkan gejolak ini dengan cara yang lembut tapi menghantam, tanpa banyak dialog, hanya melalui isyarat batin dan kesunyian yang menyimpan ribuan kata tak terucap. Dalam kesepiannya, Saraswati justru menemukan bahwa mencintai pun bisa menjadi cara untuk bertumbuh dan berdamai dengan diri sendiri.
Melalui kisah ini, Navis tidak sekadar menulis tentang seorang penyandang disabilitas, tetapi tentang perempuan yang berjuang menghadapi trauma dan kesepian. Saraswati menjadi lambang keteguhan hati perempuan dalam menghadapi kehilangan, tekanan sosial, dan keterbatasan. Dalam diamnya, ia justru memperlihatkan kekuatan yang tidak banyak dimiliki orang yang bisa bersuara. Ia tidak menyerah pada nasib, tetapi terus belajar, berbuat, dan mencari makna.
Novel ini juga menghadirkan refleksi psikologis yang kuat bahwa trauma tidak selalu disembuhkan oleh orang lain, melainkan oleh keberanian untuk terus hidup. Saraswati menenun kembali dirinya dari serpihan luka melalui kerja, kasih, dan ketabahan. Navis, dengan bahasa yang tenang dan puitis, mengubah kisah penderitaan menjadi narasi kebangkitan. Ia mengingatkan pembaca bahwa kesunyian bukan selalu kutukan, melainkan ruang untuk menemukan jati diri.
Kisah Saraswati terasa sangat relevan dengan kehidupan masa kini. Banyak orang modern hidup dalam kebisingan dunia digital, tetapi tetap merasa kesepian di dalam diri. Trauma masa lalu, tekanan hidup, dan kehilangan sering kali membuat seseorang merasa terasing dari dirinya sendiri. Melalui Saraswati, A.A. Navis seolah ingin berkata bahwa setiap orang memiliki hak untuk sembuh dan bangkit, bahkan dari luka yang paling sunyi sekalipun.
Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi bukan sekadar novel tentang disabilitas, tetapi tentang kemanusiaan yang terluka dan bertahan. Saraswati mungkin tidak dapat berbicara, tetapi kisahnya berbicara lantang tentang keteguhan dan keberanian. Dari kesunyian, ia belajar memaknai cinta, kehilangan, dan kehidupan itu sendiri.
Di akhir kisahnya, Saraswati memang tidak menjadi pahlawan besar atau tokoh terkenal. Namun, keberhasilannya bukan pada pencapaian luar, melainkan pada kemenangan batin mampu bangkit dari trauma dan menemukan arti hidupnya sendiri dan di situlah keindahan karya A.A. Navis yang mengajarkan bahwa dalam sunyi yang paling dalam pun, manusia tetap bisa menemukan arti untuk bertahan dan mencintai kehidupan.
Biodata Penulis:
Afny Dwi Sahira lahir pada tanggal 25 Maret 2006 di Ponorogo, saat ini aktif sebagai mahasiswi, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Afny aktif menulis dan mencintai dunia seni dan terlibat dalam Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @afnydwishra_