Aceh sedang tidak baik-baik saja.

SDGs 4: Pendidikan yang Berkualitas di Era AI

Apakah AI benar-benar akan memperkuat pendidikan berkualitas atau justru memperlebar kesenjangan? Mari bersama mengelola potensi AI agar menjadi ...

Oleh Muhammad Nur Hadi

Memasuki tahun 2025, kecerdasan buatan (AI) bukan lagi fiksi ilmiah. AI generatif telah memasuki ke ruang kelas, kantor, dan kehidupan sehari-hari kita. Di sektor pendidikan, AI menawarkan revolusi dalam cara kita belajar dan mengajar, membawa janji efisiensi dan personalisasi yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, kemajuan pesat ini menghadirkan dilema dan keraguan: akankah AI mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan tentang pendidikan berkualitas (SDGs 4), atau justru memperlebar jurang?

Pendidikan yang Berkualitas di Era AI
Sumber: https://smanjumapolo-kra.sch.id/lab-komputer-2/

Saya berpendapat, AI adalah sebuah pendorong yang sangat kuat, namun potensinya hanya akan terwujud jika kita secara proaktif mengelolanya dengan kebijakan yang adil, inklusif, dan berpusat pada manusia.

Potensi AI dalam transformasi pendidikan tidak terbantahkan. AI memungkinkan pembelajaran terpersonalisasi (personalized learning) dalam skala masif. Platform adaptif kini dapat menyesuaikan materi dan kecepatan belajar sesuai kemampuan unik setiap siswa, sebuah kemewahan yang sulit diberikan guru di kelas besar. Laporan UNESCO (2025) tentang AI and the Future of Learning menyoroti bahwa penggunaan AI tutoring systems di beberapa negara berkembang telah menunjukkan peningkatan hasil belajar literasi dasar.

Selain itu, AI membebaskan guru dari beban administrasi yang memakan waktu. Tugas yang repetitif seperti menilai kuis atau menyusun rekapitulasi nilai dapat ditangani oleh sistem AI secara efisien. Sehingga memungkinkan mereka fokus pada pendampingan, fasilitasi diskusi, dan pengembangan karakter. Untuk pembelajaran jarak jauh, AI menyediakan feedback instan 24/7, membantu siswa belajar mandiri.

Namun, kita tidak boleh naif. Integrasi AI membawa tantangan serius, terutama bagi Indonesia. Risiko terbesar adalah ketergantungan berlebih dan matinya orisinalitas. Mahasiswa kini dapat "memesan" esai dalam hitungan detik, menggerus kemampuan berpikir kritis dan berargumen.

Selain itu, bias algoritma yang tertanam dalam platform AI berpotensi mendukung stereotip gender atau rasial yang ada dalam data latihnya.

Tantangan paling krusial bagi Indonesia adalah kesenjangan digital. Data Kemendikbudristek (2025) masih menunjukkan disparitas tajam dalam akses internet stabil dan kepemilikan gawai antara wilayah perkotaan di Jawa dan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Jika solusi AI premium hanya dinikmati sekolah-sekolah di kota besar, AI justru akan menciptakan kasta baru dalam pendidikan, mengkhianati semangat inklusivitas SDG 4.

Untuk mengubah AI dari ancaman menjadi mitra, Indonesia memerlukan langkah strategis. Pertama, literasi AI harus menjadi kurikulum wajib, bukan hanya untuk siswa, tetapi terutama untuk guru dan calon guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Program micro-credential atau lokakarya praktis, seperti inisiatif "Merangkul AI untuk Pengembangan Pembelajaran yang Efektif" yang mulai dilakukan di beberapa kampus seperti Universitas Brawijaya, harus diperluas secara nasional.

Kedua, Kemendikbudristek harus segera mengeluarkan pedoman etika penggunaan AI di satuan pendidikan. Kebijakan ini harus mengatur batas plagiarisme, transparansi penggunaan AI dalam tugas, dan perlindungan data privasi siswa.

Ketiga, paradigma harus bergeser dari "guru melawan AI" menjadi "guru ditambah AI". AI mengerjakan tugas administratif dan dril repetitif; guru fokus pada soft skills, empati, kolaborasi, dan diskusi etis tingkat tinggi kemampuan yang tidak bisa digantikan mesin. Untuk daerah tertinggal, skema subsidi afirmasi untuk akses internet dan gawai pendidikan mutlak diperlukan agar SDGs 4 tercapai merata.

AI adalah alat. Seperti pisau, ia bisa digunakan untuk memasak atau melukai. Di era 2025 ini, tugas kita bukan menolak teknologi, melainkan mengendalikannya. Untuk mewujudkan SDGs 4, Indonesia harus berinvestasi tidak hanya pada teknologi AI, tetapi pada SDM seperti guru yang adaptif dan siswa yang kritis. Pendidikan berkualitas di era AI adalah pendidikan yang memanusiakan teknologi, bukan sebaliknya.

Referensi:

  1. https://www.unesco.org/en/articles/ai-and-futures-education | UNESCO (2025) AI and the Future of Learning.
  2. https://setneg.go.id/baca/index/pendidikan_di_wilayah_terpencil_tantangan_pemerintah_dalam_pemerataan_pendidikan_di_indonesia_1 | Tantangan Pemerintah dalam Pemerataan Pendidikan di Indonesia.
  3. https://pendidikaninggris-fib.ub.ac.id/efl-teachers-embrace-ai-for-creative-lesson-development/?lang=id | Merangkul AI Untuk Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif 4.
  4. https://www.kompas.com/edu/read/2024/10/18/140525871/regulasi-dan-etika-penggunaan-ai-pada-pendidikan-tinggi-bagian-i | Regulasi dan Etika Penggunaan AI pada Pendidikan Tinggi Bagian I.

Biodata Penulis:

Muhammad Nur Hadi saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Brawijaya.

© Sepenuhnya. All rights reserved.