Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Tenangin Diri Kalian, Even Sebelah Aja Belum Pasang Pohon Natal

Ramadhan 2026 sudah dekat, kamu sudah siap menyambut suasananya—atau masih dibayang-bayangi hutang puasa? Yuk tengok cerita lucu, hangat, dan ...

Oleh Olivia Eka Anugerah

Tak terasa, Ramadhan 2026 sudah di depan mata. Menurut kalender pemerintah, bulan suci diperkirakan jatuh pada 19 Februari 2026. Rasanya campur aduk setiap menyambut Ramadhan, senang dan deg-degan pastinya. Senang karena suasananya selalu hangat dan penuh kenangan. Deg-degan karena hutang puasa tahun lalu masih ada.

Ramadhan

Bulan suci ini selalu punya pesonanya sendiri. Dari pagi yang tenang, siang yang lemas, sore yang sibuk, sampai malam yang penuh aroma gorengan dan suara anak-anak tadarusan. Saya, seperti kebanyakan orang, sudah mulai menanti “momen wajib” Ramadhan yaitu war takjil dan ritual belanja baju lebaran. Tapi sebelum itu semua, ada satu pertanyaan yang selalu menghantui “hutang puasa kamu udah lunas belum?”

Buru-Buru Banget, Hutang Puasa Aja Belum Lunas

Menjelang Ramadhan, umat muslim biasanya akan sibuk mempersiapkan diri. Mulai dari stok kurma sampai niat melunasi puasa yang dulu terlewat. Ada yang meninggalkan puasa karena sakit, bepergian jauh, atau bagi perempuan karena haid. Semua itu wajar, dan yang penting adalah kesadaran untuk mengganti.

Dalam Al-Qur’an, Allah memberi kelonggaran bagi yang berhalangan. Bisa diganti dengan puasa qadha atau membayar fidyah. Puasa qadha bisa dilakukan sejak bulan Syawal sampai sebelum bulan Syaban berakhir, kecuali pada hari-hari yang memang diharamkan untuk berpuasa. Sementara fidyah dilakukan dengan memberi makan kepada orang yang kurang mampu.

Tapi, ngomong-ngomong hutang puasa saya jadi inget kalau diri sendiri juga belum lunas. Banyak orang yang rajin mengganti puasanya jauh-jauh hari setelah Idulfitri. Tapi saya termasuk golongan yang baru panik menjelang Ramadhan. Entah kenapa, membayar saat mepet itu terasa seperti tradisi turun-temurun. Walaupun penuh adrenalin dan rasa bersalah yang tertunda.

Alamak, Tumpukan Kue Kaleng Sudah Dipajang

Kalau hutang puasa belum kelar tapi toko swalayan sudah memajang kue-kue lebaran, rasanya dunia berjalan terlalu terburu-buru. Saat saya mampir ke minimarket dekat rumah dan langsung disambut deretan kaleng kue beraneka merek. Pohon Natal aja belum dipasang, tapi kue lebaran udah nongol duluan. Seolah swalayan kita punya server yang hidup di waktu yang berbeda. Belum lagi parsel-parsel yang sudah siap dibungkus dengan pita emas.

Saya sempat mikir, apa perlu beli sekarang biar nggak kehabisan nanti? Tapi lalu sadar, ternyata lebaran masih tiga bulan lagi. Walau begitu, beberapa pembeli lain sudah sibuk membandingkan harga sirup. Padahal sirup, yang jadi primadona setiap Ramadhan, belum muncul di rak. Fenomena ini lucu, tapi juga menunjukkan betapa Ramadhan bukan sekadar ibadah, melainkan juga suasana yang selalu dirindukan.

War Takjil Segera Dimulai

Bicara soal Ramadhan, siapa yang tak menantikan waktu berbuka? Sore hari, menjelang magrib, adalah momen paling ditunggu semua orang. Anak muda, bapak-bapak, bahkan ibu-ibu dengan motor matiknya, semua tumpah ruah di jalanan. Sudah pasti mereka berbondong-bondong mencari takjil untuk berbuka.

Saya sudah mulai membayangkan keseruannya, berburu takjil bersama teman-teman, dari es blewah sampai kolak pisang. Padahal puasanya belum mulai, tapi daftar menu berbuka sudah disusun di kepala. Di media sosial, video-video “war takjil” mulai bersliweran seolah memanggil jiwa lapar kita dari kejauhan.

Tahun lalu, saya pernah datang terlalu sore. Hasilnya? Hanya kebagian risol patah pinggang dan bakwan letoy. Sementara yang nggak puasa malah dapat kolak terbaik di barisan depan. Tapi ya sudahlah, begitulah takjil rezekinya siapa cepat dia dapat.

Fenomena war takjil ini sebenarnya punya nilai sosial yang besar. Ia menggerakkan UMKM kuliner kecil di pinggir jalan. Takjil bukan sekadar pemanis buka puasa, tapi simbol gotong-royong ekonomi. Bahkan banyak teman nonmuslim ikut berpartisipasi melarisi beli makanan, bantu jualan, atau sekadar meramaikan suasana. Itulah bentuk toleransi yang paling manis, semanis kolak ubi kalau menyantapnya sambil melihat senyum manisku.

Ramadhan Bukan Sekadar Ritual, Tapi Rasa yang Dirindukan

Setiap tahun, Ramadhan selalu datang membawa makna baru. Ada yang menunggu karena ingin memperbaiki diri, ada yang menunggu karena ingin memperbaiki ekonomi, dan ada juga yang sekadar ingin bernostalgia.

Bagi saya, Ramadhan bukan sekadar soal puasa dan buka. Ia adalah waktu di mana suasana kota berubah. Seketika jalanan lebih ramai menjelang magrib, suara adzan terasa lebih syahdu, dan bahkan sinetron religius tiba-tiba jadi menarik. Tak ketinggalan pula suara berisik mercon yang bersumber dari bocil-bocil.

Namun di balik semua euforia itu ada pesan sederhana, jangan terburu-buru. Jangan panik karena swalayan sudah pasang kue atau teman sudah belanja mukena baru. Masih ada waktu untuk menata hati, melunasi kewajiban, dan menyiapkan diri dengan tenang. Toh, even sebelah aja belum pasang pohon Natal.

Jadi, tenangin diri kalian. Ramadhan bukan lomba siapa yang paling siap atau paling sibuk. Ia adalah momen untuk kembali menata niat. Mari berharap, semoga kita semua dipertemukan lagi dengan bulan penuh berkah itu. Semoga Ramadhan 2026 menjadi waktu terbaik untuk menata ulang hidup, dengan hati yang ringan dan perut yang lapang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.