Oleh Sulky Nawafila
Rutinitas pagi di hari kerja yang tidak pernah terlewatkan, bangun sebelum waktunya ayam berkokok hingga terburu-buru untuk menyiapkan pakaian dengan mata setengah kebuka. Lalu, menggoreng nasi goreng untuk sarapan sebelum menghadapi berbagai ujian kesabaran ke kampus.
Tepat jam 05.30 saya langsung meluncur ke halte diantar abang dengan motor Vario yang biasa dibawanya untuk narik membawa pelanggan. Setiap pagi buta, saya sudah meniatkan berangkat kuliah dan menuntut ilmu dengan hati senang. Tapi baru sepuluh menit di jalan, saya telah menuntut kesabaran dan iman.
Sebagai kaum pejuang kuliah PP (pulang-pergi), terdapat dua kekhawatiran yang tidak boleh terlewatkan. Pertama, jadwal kuliah yang banyak dan kedua, jadwal keberangkatan Transportasi umum yang selalu tidak pasti dan suka berubah-ubah. Saya bukanlah seorang anak kosan yang sering datang ke kelas lima menit sebelum absen kehadiran. Saya adalah manusia tangguh yang tak sengaja menyaksikan berbagai kepribadian unik yang saya temui di jalan.
Idealisme yang Kandas di Jalan Raya
Awalnya saya pikir menjadi mahasiswa itu hanya tentang kuliah di kelas, mengerjakan tugas, dan berdiskusi cerdas. Nyatanya, kuliah pulang-pergi membekali saya ilmu yang lebih praktis. Seperti, cara siapa cepat dia dapat kursi kosong di TJ, cara menyeimbangkan badan di angkot yang hobi ngebut, dan cara menahan emosi saat sopir ngerem mendadak demi satu penumpang lagi.
Saat di kampus, saya belajar mata kuliah PPKn tentang norma dan etika. Tapi di jalan raya keadaan sudah berbeda, saya duduk di sebuah angkot yang melanggar norma dan etika sekaligus. Sopirnya ugal-ugalan, suka ngetem tidak ingat waktu, nyalip tanpa menyalakan sein, bahkan ngerokok sambil mendengarkan lagu dangdut yang saya tidak tahu liriknya. Di dalam hati kecil saya hanya bisa berdoa, “Ya Allah, semoga selamat sampai tujuan”.
Anehnya, meski saya tahu itu melanggar aturan, saya malah diam. Bukan karena saya setuju, tapi karena saya takut telat. Lucu ya, seketika saya sadar: terkadang manusia rela mengorbankan prinsip demi kecepatan. Perasaan yang langka antara takut celaka dan takut telat kuliah.
Norma di Jalan VS Norma di Kampus
Tibanya saya di kampus, dosen selalu berpesan agar mahasiswa berpakaian yang sopan, disiplin waktu, dan berperilaku sopan santun. Sebagai mahasiswa yang kuliah pulang-pergi saya merasa heran setelah turun ke jalanan, aturan waktu bergantung pada kemacetan, bahkan baru naik angkot belum sempat pegangan, sopir sudah ngegas dengan alasan kejar setoran.
Namun, di tengah berbagai kekacauan itu saya banyak belajar norma kehidupan dari jalanan, misalnya seperti penumpang TJ yang menyerahkan tempat duduknya untuk ibu hamil, angkot yang berhenti tepat di depan kampus agar mahasiswa tidak perlu jauh-jauh jalan kaki dan sopir angkot yang sabar menunggu dapat penumpang banyak, walau terkadang ngetem lama sampai lupa waktu. Padahal, masih ada beberapa penumpang yang sudah lama duduk menunggu. Yang saya rasakan bahwa di jalan norma sosial mungkin lebih banyak bertebaran, walaupun ada beberapa norma yang kadang dilanggar.
Ujian Kesabaran Sejati
Angkot dan TransJakarta merupakan sarana tempat belajar kedua saya setelah belajar di kampus. Setiap weekday saya belajar teori yang berbeda-beda: teori kesabaran, teori keikhlasan, dan teori bertahan hidup di tengah kemacetan jalan dan ongkos yang pas-pasan. Dari beberapa teori diatas yang saya tidak sangka akan mendapatkannya yaitu teori keteguhan iman.
Saya pernah pindah duduk dari bangku belakang ke bangku depan TJ berharap agar lebih aman karena dekat sopir, tidak lama setelah halte selanjutnya naik seorang ibu-ibu yang duduk disamping saya, sepanjang jalan ibu itu cerita panjang lebar tentang kehidupannya. Tapi siapa yang menyangka saat sampai di halte terakhir, ibu itu membujuk saya untuk join ke agamanya. Sungguh, diri saya sangat diuji antara ingin cepat turun dan menegur ibunya agar lebih paham arti toleransi antar umat beragama. Memang, diri saya aman sampai tujuan tetapi iman saya nyaris tergelincir di antara ban TransJakarta yang melaju kencang dan ajakan halus dengan niat terselubung ibu itu yang semakin membuat saya tidak nyaman.
Beginilah, nasib anak kuliah pulang-pergi, yang diuji bukan hanya soal kepanasan, kehujanan, macet, dan waktu keberangkatan TJ yang sering berubah, tapi juga diuji dengan norma dan keimanan di jalan. Semua itu membuat saya sadar bahwa jalanan adalah cermin paling jujur dari karakter masyarakat kita.
Belajar Jadi Manusia Jalanan yang Beretika
Terlepas dari semua yang saya telah lewatkan selama tiga semester sebagai pelanggan setia TransJakarta dan angkot, saya menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai yang bagus, tapi bagaimana kita bersikap di perjalanan hidup. Kadang saya berpikir, bahwa Tuhan memposisikan saya di titik ini agar belajar bahwa tidak semua perjalanan hidup akan berjalan sesuai kehendak kita dan tidak semua perjuangan itu indah.
Saya mungkin belum menjadi agen perubahan, tapi saya bisa memulainya dengan menormalisasikan budaya antre transportasi umum dengan benar, tidak mengeluh saat angkot atau TJ datang terlambat, dan memprioritaskan bangku kosong untuk lansia dan ibu hamil. Karena norma yang sering disepelekan seperti sabuk pengaman yang sering dilupakan tetapi bisa menyelamatkan.