Oleh Moh. Zidny Ahmada
Era digital telah mengubah banyak hal bukan hanya cara belajar, tetapi juga siapa yang dianggap layak dipercaya. Dulu, guru adalah figur yang dihormati; ucapannya dianggap petuah, sikapnya diteladani. Kini, di ruang belajar yang sama, guru berbicara di depan layar, sementara di telinga siswa bergema suara idola media sosial. Menurut Farissa & Haryanto, (2025), digitalisasi pendidikan telah menggeser pusat otoritas moral dari ruang nyata ke ruang maya. Banyak siswa kini lebih mempercayai influencer ketimbang guru, bukan karena kualitas guru menurun, tetapi karena algoritma menempatkan “ketenaran” di atas “keteladanan.” Sebagaimana dicatat Syarifudin, (2023) dalam Etika dan Tantangan Pendidikan di Era Digital: “Ruang digital telah memindahkan pusat panutan dari lingkungan nyata ke figur virtual.” Tantangan pendidikan kini bukan sekadar soal penguasaan teknologi, tetapi juga bagaimana menjaga adab di tengah derasnya arus informasi.
Krisis Adab dan Hilangnya Rasa Hormat terhadap Ilmu
Fenomena siswa yang lebih mempercayai influencer menunjukkan krisis yang lebih mendasar: hilangnya adab dalam mencari ilmu. Dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, KH. Hasyim Asy‘ari menegaskan bahwa ilmu hanya akan membawa keberkahan jika disertai adab dan tawadhu’ kepada guru. Firyala & others, (2025) menafsirkan QS. Al-Kahfi ayat 66 sebagai model ideal pembelajar rendah hati, sabar, dan menghormati guru. Nilai-nilai ini mulai memudar karena banyak siswa menganggap guru “kurang relevan” dibanding influencer favoritnya. Padahal, justru adab itulah yang membedakan ilmu dari sekadar informasi. Dalam karya klasik Ta‘līm al-Muta‘allim, Az-Zarnuji menjelaskan bahwa adab belajar mencakup empat hubungan: dengan Allah, guru, ilmu, dan diri sendiri. Murid sejati menjaga niat, kesungguhan, serta kerendahan hati. Prinsip ini tetap relevan di era digital yang kerap menjadikan popularitas sebagai ukuran kebenaran (Noer et al., 2017).
Tantangan Guru di Era Influencer
Guru Akidah Akhlak kini menghadapi dua tantangan besar: bersaing dengan konten viral dan menghadapi krisis moral di dunia maya. Hermin, (2025) mencatat bahwa pengaruh media sosial membuat banyak siswa meniru perilaku selebritas digital, sementara ajaran akhlak sering kali terabaikan. Namun banyak guru mulai beradaptasi. Mereka menggunakan media sosial untuk menanamkan nilai Islam, membimbing siswa agar cakap secara etika digital, dan mengajak berdialog tentang moralitas di ruang maya.
Rahmadani, (2025) menyebut langkah ini sebagai “penguatan etika digital melalui materi adab bermedia sosial” di mana guru PAI berperan sebagai navigator moral di dunia digital. Temuan Afifah et al., (2025) juga menegaskan pentingnya integrasi nilai Islam dan literasi digital untuk membentuk generasi muda yang bijak serta bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial.
Bagaimana Guru Dapat Kembali Didengar?
Bukan dengan meniru gaya influencer, tetapi dengan menjadi edufluencer figur yang menginspirasi dengan ilmu, akhlak, dan ketulusan. Sembiring & others, (2024) menekankan pentingnya digital literacy for Islamic teachers, agar guru mampu menyampaikan pesan moral secara efektif di platform digital. Sementara Manan, (2023) menegaskan bahwa guru Islam harus mengintegrasikan teknologi dengan nilai spiritualitas. Ketika guru hadir di ruang digital dengan niat mendidik, bukan mencari popularitas, siswa akan kembali menemukan makna adab di tengah hiruk pikuk algoritma. Bahkan Idris, (2022) mengingatkan bahwa di era Society 5.0, guru PAI dituntut menjadi figur berkarakter tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga membawa misi rahmatan lil ‘ālamīn melalui pendidikan yang humanis dan beradab.
Mengembalikan Adab sebagai Inti Pendidikan
Adab adalah akar dari segala ilmu. Tanpanya, pengetahuan hanya akan melahirkan kecerdasan tanpa kebijaksanaan. Hibatulloh, (2022) menekankan pentingnya muraqabah kesadaran spiritual bahwa setiap ucapan guru diawasi oleh Allah. Kesadaran inilah yang menjaga keikhlasan guru di dunia yang semakin mencintai pencitraan. Sebagaimana diingatkan Syarifudin, (2023):“Guru tidak cukup menjadi pengajar; ia harus menjadi contoh bagaimana beradab di dunia digital.”
Pendidikan masa kini harus mengembalikan adab sebagai inti pembelajaran, bukan sekadar pelengkap kurikulum.
Adab Tak Boleh Kalah dari Algoritma
Teknologi mungkin mengubah cara belajar, tetapi tidak boleh mengubah cara menghormati ilmu. Guru dan influencer sama-sama mengajar, tetapi yang membedakan keduanya adalah niat dan tanggung jawab moral. Guru menanamkan adab agar manusia menjadi bijak; influencer menanamkan tren agar manusia tetap terhibur. Tugas guru hari ini bukan menyaingi popularitas, melainkan memperjuangkan keberadaban. Sebab, pada akhirnya, yang membuat guru didengar bukan jumlah pengikutnya melainkan keikhlasan hatinya. Di tengah derasnya arus digital, guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi penjaga nilai. Dan selama masih ada guru yang beradab, ilmu akan tetap memiliki cahaya bahkan di dunia yang diterangi layar.
Daftar Pustaka:
- Afifah, N. N., Kartika, N. D., & Sartika, T. (2025). Analisis Materi PAI SMA/SMK Kelas XI Bab Adab Menggunakan Media Sosial. Ta’limuna: Jurnal Pendidikan Islam, 14(2), 187–199.
- Farissa, D., & Haryanto, B. (2025). Tantangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Era Digital. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 10(3), 200–207.
- Firyala, M. M., & others. (2025). Aktualisasi Adab Pembelajar di Era Digital dalam Kajian QS. Al-Kahfi Ayat 66. IHSAN: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1).
- Hermin. (2025). Strategi Guru Akidah Akhlak dalam Menghadapi Tantangan Penanaman Karakter Siswa di Era Digital.
- Hibatulloh, M. (2022). Konsep Muraqabah dalam Pendidikan Guru Islam. Jurnal Pendidikan Karakter Islami, 11(1).
- Idris, M. (2022). Pendidikan Islam dan Era Society 5.0: Peluang dan Tantangan bagi Mahasiswa PAI Menjadi Guru Berkarakter. Belajea: Jurnal Pendidikan Islam, 7(1), 61–86. https://doi.org/10.29240/belajea.v7i1.4159
- Manan, A. (2023). Pendidikan Islam dan Perkembangan Teknologi. Jurnal Pendidikan Islam, 9(1).
- Noer, A., Tambak, S., & Sarumpaet, A. (2017). Konsep Adab Peserta Didik Menurut Az-Zarnuji. Jurnal Manager Pendidikan Islam, 4(2).
- Rahmadani, N. (2025). Penguatan Etika Digital melalui Materi Adab Menggunakan Media Sosial pada PAI.
- Sembiring, H., & others. (2024). Digital Literacy for Islamic Education Teachers. International Journal of Islamic Pedagogy, 6(1).
- Syarifudin, A. (2023). Etika dan Tantangan Pendidikan di Era Digital. Deepublish Press.
Biodata Penulis:
Moh. Zidny Ahmada saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Gusdur Pekalongan.