Oleh Nurhasanah
Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa suatu hari manusia akan duduk berhadapan dengan makhluk yang tidak punya ruh, tetapi mampu berbicara, berpendapat, bahkan menjelaskan ayat-ayat suci dengan sangat cepat. Namun hari ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) melakukan itu semua-tanpa lelah, tanpa istirahat, dan tanpa takut berdosa. Yang lebih menakutkan lagi, beberapa negara sudah mengizinkan robot untuk memberi ceramah agama, memimpin doa, dan menjadi penasehat spiritual digital.
Pada tahun 2019, Kuil Kodaiji di Kyoto memperkenalkan Mindar, robot biksu yang menyampaikan ajaran Buddhis di depan jamaah (Perdana, 2019). Tidak jauh berbeda, Jerman memperkenalkan robot pendeta BlessU-2 yang memberikan berkat kepada jemaat dan mengangkat tangan layaknya seorang pastor pada peringatan 500 tahun Reformasi (Jemadu, 2017).
Fenomena ini tidak berhenti di Jepang dan Eropa. Di China, robot biksu kecil bernama Xian’er digunakan untuk menjawab pertanyaan moral dan memberi penjelasan keagamaan kepada generasi muda (Samosir, 2016). Bahkan pada tahun 2023, sebuah ibadah gereja di Jerman dilaksanakan menggunakan khotbah yang dipimpin oleh AI, dan dihadiri lebih dari 300 jemaat (Tiurma, 2023).
Perkembangan ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan bukan hanya memasuki ruang publik, bisnis, dan akademik, tetapi mulai menembus ruang spiritual manusia. Fenomena-fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengguncang keyakinan dasar manusia:
Apakah AI Bisa Beragama?
Masyarakat yang tidak akrab dengan teknologi biasanya terpukau melihat robot yang berbicara layaknya ustad atau pendeta, seolah-olah robot tersebut memiliki kesadaran dan spiritualitas.
Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya membuka pintu perdebatan besar antara sains, filsafat, dan teologi. Dalam Islam, hal pertama yang harus dijernihkan adalah konsep ruh, yang menjadi dasar kesadaran dan iman manusia. Al-Qur’an menjelaskan dalam surah al-Isra’ ayat 85,
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: ruh itu termasuk urusan Tuhanku sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”
Ayat ini menegaskan bahwa ruh adalah dimensi yang tidak bisa direduksi menjadi algoritma, data, atau kecerdasan buatan. Ruh adalah potensi yang menjadikan makhluk hidup, tahu, merasa dan bergerak atau dapat pula merujuk pada wahyu Al-Qur’an (Shihab, 2002).
Sementara itu, AI bekerja berdasarkan algoritma yang dibangun manusia. Ia mampu mengolah informasi, meniru gaya bicara, menjawab pertanyaan, dan memproduksi teks atau suara secara otomatis. Namun semua itu tidak memunculkan kesadaran, niat, atau pengalaman batin. Dalam istilah filsafat, AI tidak memiliki qualia—pengalaman subjektif seperti yang manusia rasakan. AI tidak merasakan takut, harap, malu, dosa, atau kehadiran Tuhan.
Karena itu, dalam perspektif Islam, AI tidak mungkin menjadi makhluk yang beragama. Syarat seseorang menjadi mukallaf—subjek hukum syariah adalah berakal, baligh, dan memiliki kemampuan memahami perintah Tuhan. Lebih dalam lagi, syariat berlaku bagi makhluk yang akan dihisab atas amalnya. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Mulk ayat 2,
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
Artinya: “yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun”
Hidup dan mati adalah bagian dari ujian bagi manusia, dan AI sama sekali tidak mengalami keduanya. Ia tidak lahir, tidak hidup, tidak mati, dan tidak akan menghadap Allah untuk mempertanggungjawabkan apa pun.
Dengan demikian, AI tidak bisa menjadi imam shalat, tidak bisa berniat puasa, tidak bisa bertaubat, dan tidak bisa menerima dosa atau pahala. Semua aktivitas keagamaan yang tampak dilakukan robot hanyalah simulasi perilaku, bukan ibadah hakiki.
Meski begitu, kehadiran AI tetap membawa dampak besar dalam kehidupan beragama umat Islam. AI bisa menjadi alat bantu yang sangat berharga bagi para pelajar, santri, dan akademisi. Ia dapat membantu memahami teks, menerjemahkan kitab, menata arsip keilmuan, atau menjawab pertanyaan umum tentang sejarah dan hukum Islam. Bahkan teknologi AI membuka peluang baru bagi dakwah digital, pendidikan daring, serta literasi keagamaan yang lebih luas.
Tetapi di sinilah muncul tantangan yang tidak kalah penting: memastikan bahwa penggunaan AI tetap dalam koridor etika Islami. Prinsip maqasid syariah mengajarkan bahwa segala teknologi harus diarahkan untuk menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan. Artinya, AI harus digunakan sebagai alat pendidikan dan kemaslahatan, bukan dijadikan “mufti digital” pengganti ulama. Keputusan hukum, fatwa, dan bimbingan spiritual tetap berada di tangan manusia yang berilmu dan bertakwa.
Yufal Noah Harari menyebutkan bahwa teknologi seperti AI dapat mengguncang identitas manusia modern, tetapi manusia tetap memiliki kapasitas unik berupa kesadaran moral dan spiritual yang tidak dapat ditiru mesin (Harari, 2017). Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah ciptaan yang diberi amanah moral sebagaimana termaktub dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30,
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ
Artinya: “Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.”
Amanah tidak bisa diberikan kepada entitas tanpa ruh, tanpa nafs, dan tanpa kesadaran. Karena itu, umat Islam perlu memandang AI secara proporsional. Ia bukan ancaman spiritual, juga bukan makhluk gaib yang harus ditakuti. Ia hanyalah alat: cerdas, cepat, kadang menakjubkan, tetapi tetap alat. Yang berbahaya bukan teknologinya, melainkan kesalahpahaman manusia dalam melihat teknologi tersebut.
Pada akhirnya, diskusi tentang AI dan agama bukan hanya soal kecerdasan mesin, tetapi soal memahami kembali apa artinya menjadi manusia. AI mengingatkan kita bahwa ibadah bukan sekadar aktivitas fisik atau kata-kata yang tersusun rapi. Ibadah adalah hubungan batin dengan Tuhan, yang berakar pada ruh dan keikhlasan. Sesuatu yang tidak akan pernah dimiliki oleh mesin.
Tulisan ini bertujuan agar pembaca tidak terjebak pada sensasi teknologi, tetapi kembali pada prinsip-prinsip Islam yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia, bermoral, dan bertanggung jawab. AI dapat membantu manusia belajar agama, tetapi tidak akan pernah menggantikan manusia sebagai hamba dan khalifah di bumi.
Referensi:
- Perdana, A. V. (2019). Robot Biksu, Cara Kuil Buddha Berusia 400 Tahun di Jepang Gaet Kaum Muda. Kompas.com https://internasional.kompas.com/read/2019/08/20/11222561/robot-biksu-cara-kuil-buddha-berusia-400-tahun-di-jepang-gaet-kaum-muda?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop
- Jemadu, L. (2017, Mei 30). Gereja Jerman perkenalkan pendeta robot pertama di dunia. Suara.com. https://www.suara.com/tekno/2017/05/30/205111/gereja-jerman-perkenalkan-pendeta-robot-pertama-di-dunia
- Samosir, H. A. (2016, April 22) https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160422150929-113-125868/kuil-buddha-di-china-perkenalkan-robot-biksu-kecil
- Tiurma, B. (2023, Juni 15). Ibadah Gereja di Jerman dipimpin oleh AI dan dihadiri lebih dari 300 jemaat, kok bisa?! Prambors FM https://www.jawaban.com/read/article/id/2023/06/15/4/230614172143/ibadah_gereja_di_jerman_dipimpin_oleh_ai_dan_dihadiri_leb ih_dari_300
- Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Vol. 7). Lentera Hati.
- Harari, Nova Yuah. (2017). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper.
Biodata Penulis:
Nurhasanah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid (UIN Gusdur). Penulis bisa disapa di Instagram @nana_nr11