Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Air Terjun Grojogan Sewu Karanganyar: Wisata Lama yang Tetap Menang Lawan Tren Tempat Hits Dadakan

Yuk kembali ke wisata alam yang asri di Grojogan Sewu, air terjun legendaris Tawangmangu yang tak lekang oleh tren.

Oleh Nuriyatin Fighya

Dalam dunia wisata yang serbaviral, umur sebuah destinasi sering kali pendek. Tempat baru muncul, ramai sebentar, lalu tenggelam ketika ada spot foto lain yang lebih mutakhir. Tapi Grojogan Sewu di Tawangmangu, Karanganyar, adalah pengecualian. Air terjun ini tetap hidup, tetap ramai, dan tetap punya pesona yang stabil selama puluhan tahun. Ia tidak bergantung pada dekorasi buatan atau gimmick visual—yang dijual adalah keaslian lanskap dan kekuatan airnya.

Air Terjun Grojogan Sewu Karanganyar

Grojogan Sewu terkenal dengan air terjun setinggi sekitar 80 meter yang menghantam batu-batu besar, menghasilkan percikan lembut yang terasa sampai area jalan setapak. Bagi banyak orang Jawa Tengah, nama “Grojogan Sewu” memiliki nilai nostalgia. Tempat ini sering menjadi tujuan piknik keluarga, kegiatan sekolah, bahkan ritual kecil bagi mereka yang ingin “membersihkan diri” secara simbolik. Ada aura klasik yang melekat kuat, sesuatu yang tidak dimiliki tempat wisata generasi baru.

Yang menarik, Grojogan Sewu bukan sekadar air terjun. Kawasan ini adalah hutan wisata dengan ekosistem yang cukup terjaga. Sepanjang jalur turun, pengunjung melewati deretan pepohonan besar, suara burung, hingga kera-kera yang berkeliaran. Interaksi manusia dengan alam terasa lebih natural ketimbang di destinasi modern. Bahkan sekadar berjalan menyusuri tangga panjang pun menjadi pengalaman tersendiri, meski cukup melelahkan.

Kekuatan Grojogan Sewu justru terletak pada keaslian dan kontinuitasnya. Tempat ini tidak bergeser mengikuti tren wisata kekinian. Tidak ada lampu warna-warni, tidak ada kursi estetik, tidak ada pintu masuk besar dengan huruf-huruf raksasa. Yang ada hanyalah air terjun yang sama, hutan yang sama, dan angin lembab yang sama. Tetapi justru stabilitas inilah yang membuatnya menang melawan tempat hits dadakan.

Secara ekonomi, kawasan Tawangmangu tumbuh dari konsistensi Grojogan Sewu. Warung makan, penginapan, hingga pedagang suvenir hidup dari arus wisatawan yang tidak pernah benar-benar padam. Ketika destinasi viral sering mati setelah beberapa tahun, Grojogan Sewu tetap menjadi jangkar ekonomi lokal yang kuat.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Tekanan wisata berpotensi meningkatkan sampah plastik, gangguan habitat kera, dan erosi jalur. Pengelola daerah mulai menata ulang beberapa titik, menempatkan petugas untuk mengatur arus pengunjung, serta menambah fasilitas tanpa merusak lanskap asli. Langkah ini penting agar Grojogan Sewu tidak kehilangan karakter ‘hutan basah’ yang menjadi daya tarik utamanya.

Grojogan Sewu adalah pengingat bahwa wisata tidak harus selalu mengikuti tren. Ada tempat-tempat yang justru bertahan karena tidak berubah. Dan di era ketika orang mudah bosan, barangkali kita justru butuh lebih banyak destinasi seperti ini—yang menawarkan ketenangan, alam, dan kesinambungan.

Biodata Penulis:

Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.