Oleh Hilya Khairiyah
Budaya mengerjakan tugas saat mendekati batas waktu bukan hal baru. Fenomena ini muncul di banyak kampus. Mahasiswa sering menunda, menunggu, dan bergerak ketika waktu hampir habis. “Besok saja,” adalah kalimat yang akrab di ruang kelas dan grup percakapan.
Fenomena ini terlihat sepele. Namun budaya deadline memiliki akar persoalan yang lebih dalam. Ada faktor psikologis, manajemen diri, distraksi digital, dan pengaruh lingkungan sosial. Empat faktor ini saling terkait. Masing-masing membentuk pola penundaan yang terus berulang.
1. Takut Gagal, Bingung Memulai, dan Tugas Terasa Terlalu Besar
Alasan pertama berkaitan dengan kondisi psikologis. Banyak mahasiswa menunda bukan karena malas. Mereka menunda karena takut gagal. Mereka merasa tugas terlalu besar. Mereka juga sering bingung memulai.
Seorang mahasiswa pernah berkata, “Saya takut memulai karena takut hasilnya jelek.” Kalimat ini tampak sederhana. Namun kalimat itu menggambarkan situasi yang dialami banyak orang. Mereka memilih menunda meski tahu penundaan memperburuk keadaan.
Ketika tugas dianggap meresahkan, otak mencari aktivitas yang lebih nyaman. Mereka kembali ke tugas ketika waktu hampir habis. Situasi itu menciptakan tekanan. Tekanan itu memaksa mereka menyelesaikan tugas dengan tergesa.
2. Belum Memiliki Kemampuan Mengatur Waktu dan Menetapkan Target
Alasan kedua muncul dari lemahnya kemampuan manajemen diri. Banyak mahasiswa belum terbiasa mengatur waktu. Mereka belum terlatih menetapkan target harian. Mereka juga jarang memantau progres pekerjaan secara sistematis.
Mahasiswa perlu menetapkan tujuan, memonitor perkembangan, dan meninjau hasil. Namun kemampuan ini tidak muncul secara otomatis. Kemampuan ini harus dilatih.
Jadwal kuliah yang longgar sering menciptakan ilusi waktu. Kalender harian terlihat kosong. Minggu kuliah terlihat ringan. Tugas tampak masih jauh. Kondisi ini membuat mahasiswa merasa punya banyak waktu. Mereka yakin bisa mengerjakan tugas nanti.
Namun rasa “nanti masih sempat” berubah menjadi krisis ketika tenggat tinggal sehari. Banyak mahasiswa akhirnya mengaku kewalahan. Ada yang lupa, ada yang abai, dan ada yang baru membaca instruksi tugas beberapa jam sebelum pengumpulan.
Kelemahan manajemen waktu inilah yang membuat banyak tugas berujung dalam mode kejar-kejaran dan hasil tidak maksimal.
3. Tidak Tahan Godaan Hiburan di Media Sosial dan Game
Alasan ketiga berasal dari distraksi digital. Mahasiswa hidup di lingkungan yang penuh godaan. Notifikasi Instagram, video TikTok, dan game selalu mudah diakses. Setiap distraksi menawarkan hiburan cepat. Hiburan itu menggeser perhatian dari tugas.
Otak lebih memilih aktivitas yang memicu dopamin instan. Media sosial menawarkan sensasi itu. Tugas kuliah tidak memberikan stimulasi yang sama. Akibatnya fokus mudah berpindah.
Niat membuka Instagram selama lima menit berubah menjadi satu jam. Niat menonton satu video berubah menjadi sesi panjang. Waktu berjalan tanpa terasa. Ketika kembali ke tugas, waktu sudah tinggal sedikit.
Distraksi digital tidak hanya menggeser fokus. Distraksi juga memperkuat perilaku menunda. Mahasiswa merasa masih punya waktu. Mereka memilih hiburan. Mereka kembali ke tugas dengan rasa terburu. Pola ini terus berulang setiap minggu.
4. Lingkungan Pertemanan yang Sama-Sama Prokrastinator
Alasan keempat datang dari lingkungan sosial. Teman sebaya memiliki pengaruh besar terhadap perilaku akademik. Ketika teman berkata, “Santai, masih seminggu,” maka penundaan terasa wajar.
Lingkungan yang normalisasi prokrastinasi menciptakan rasa aman palsu. Tugas dianggap sepele. Menunda dianggap lumrah. Diskusi tentang tugas baru muncul saat waktu sudah mendesak. Banyak mahasiswa mengikuti pola itu untuk menyesuaikan diri.
Cerita seperti ini sering muncul di grup organisasi, unit kegiatan, dan ruang kos. Banyak laporan kegiatan dibuat semalam sebelum pengumpulan. Banyak makalah ditulis dalam jam-jam terakhir. Semua mengikuti ritme kelompok.
Lingkungan pertemanan memiliki kekuatan besar. Ketika kelompok terbiasa menunda, individu cenderung menyesuaikan diri. Prokrastinasi akhirnya berubah menjadi budaya bersama.
Budaya deadline bukan persoalan sederhana. Budaya ini memiliki empat akar penyebab yang kuat. Ketakutan gagal membuat mahasiswa menghindar. Kelemahan manajemen waktu membuat tugas terlambat disentuh. Distraksi digital menghabiskan waktu tanpa disadari. Pengaruh lingkungan menormalisasi penundaan.
Memahami empat faktor ini penting bagi mahasiswa, dosen, dan lembaga pendidikan. Pola ini tidak bisa diubah dalam semalam. Namun perubahan dapat dimulai dari langkah kecil. Langkah pertama adalah berani memulai lebih awal. Langkah berikutnya adalah konsisten menjaga ritmebelajar.
Jika kebiasaan ini diperbaiki, tugas tidak lagi menjadi bencana di menit terakhir. Tugas dapat dikerjakan dengan tenang. Hidup akademik menjadi lebih sehat. Dan waktu tidak lagi terasa sebagai musuh yang selalu mengejar.
Biodata Penulis:
Hilya Khairiyah, lahir pada tanggal 20 Maret 2007 di Karanganyar, saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Pendidikan Ekonomi, di Universitas Sebelas Maret.