Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Alon-Alon Waton Kelakon: Filosofi Solo yang Mengajarkan Agar Kita Tak Banyak Sambat

Yuk kenalan dengan Solo: kota santai yang penuh humor, kuliner murah, teh ginastel, panas yang ikonik, dan jebakan manis yang bikin siapa pun betah.

Oleh Hafsah Nur Laily Ramadhani

Banyak orang bilang Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Kalau begitu, Solo terbuat dari apa? Kalau boleh jujur, Solo itu terbuat dari sisa-sisa feodalisme yang estetik, teh oplosan yang manisnya ngalahin janji politisi, dan tentu saja: UMR yang melatih kita menjadi orang yang paling tabah di muka bumi.

Alon-Alon Waton Kelakon

Sebagai kota yang sering dibilang "adiknya Jogja", Solo punya pesona magis yang bikin pendatang terjebak. Bukan terjebak macet seperti di Jakarta, tapi terjebak dalam kenyamanan semu yang uadem tenan. Kota ini begitu dicintai, sekaligus bikin kita sering mengelus dada.

1. The Art of "Alon-Alon Waton Kelakon" di Jalan Raya

Kalau kamu biasa hidup di Jakarta atau Surabaya yang ritme jalanannya seperti simulasi Mad Max: Fury Road, masuk ke jalanan Solo akan terasa seperti masuk ke dalam video slow motion.

Di Jalan Slamet Riyadi, klakson adalah barang haram. Membunyikan klakson lebih dari satu kali dianggap sebagai tindakan kriminal setara mencuri kotak amal. Orang Solo nyetir motor itu santai banget. Sein kanan tapi beloknya minggu depan? Itu biasa. Berhenti di tengah jalan buat ngobrol sama temen yang papasan? Sering terjadi.

Kamu mau marah? Nggak bisa. Karena pas kamu mau misuh (mengumpat), bapak-bapak yang motong jalanmu itu bakal senyum sambil ngangguk sopan. "Monggo, Mas..." katanya. Hati yang tadinya panas membara langsung adem kayak disiram Es Kapal. Di sini, emosi di jalan raya itu tidak berlaku.

2. Kuliner Murah yang Menipu Logika dan Dompet

"Solo itu surga kuliner murah!"

Kalimat ini adalah clickbait kehidupan nyata terbesar. Memang, nasi kucing di HIK (Hidangan Istimewa Kampung) harganya cuma 3 ribu perak. Murah, kan? Tapi masalahnya, porsinya itu lho, Lur, cuma cukup buat ngenyangin semut rangrang.

Alhasil, kamu nggak mungkin cuma makan satu bungkus. Minimal tiga. Belum lagi godaan sate usus, sate telor puyuh, kepala ayam, dan gorengan yang baru diangkat dari wajan. Niat hati mau irit makan malam 10 ribu, ujung-ujungnya habis 35 ribu juga.

Tapi harus diakui, teh di Solo adalah juara dunia. Teh Ginastel (Legi, Panas, Kentel) di Solo punya kasta tersendiri. Rasanya sepat-sepat nikmat yang bikin kita nyeruput sampai lupa masalah hidup. 

3. UMR: Ujian Mental Rakyat

Nah, ini bagian pahitnya. Solo sering dinobatkan sebagai salah satu kota paling nyaman untuk ditempati. Biaya hidup murah, katanya.

Tapi ingat rumus ekonomi dasar: ‘Biaya hidup murah biasanya berbanding lurus dengan gaji yang...’ ah sudahlah.

Melihat slip gaji standar Solo itu butuh mental baja. Angkanya mengajarkan kita untuk selalu qanaah (merasa cukup). Filosofi "mangan ora mangan sing penting kumpul" benar-benar diuji validitasnya di sini. Bagi para fresh graduate yang merantau ke Solo, selamat datang di wahana pelatihan manajemen keuangan ekstrem. Kamu akan belajar bagaimana caranya gaji 2 koma sekian juta bisa buat bayar kos, makan enak, dan tetap glowing. (Spoiler: Nggak bisa, harus ada yang dikorbankan).

4. Kota yang Adem Cuma di Slogan

Solo itu memang adem dalam artian budaya, tapi secara iklim? Solo itu panas, Lur. Panas yang bikin Teh Ginastel dingin pun rasanya kurang nampol. Suhu ekstrem ini menciptakan hierarki sosial baru di Solo: orang paling berkuasa bukanlah yang punya mobil mewah, melainkan yang punya AC dan tidak pernah kehabisan es batu.

Panasnya bahkan membuat silaturahmi di siang hari dianggap sebagai tindakan kriminal. Kalau kamu mengajak temanmu ngopi jam 1 siang, kamu dicap tidak punya unggah-ungguh karena memaksa mereka keluar dari persembunyian yang sejuk.

Jadi, jangan kaget kalau semua aktivitas serius di sini baru dimulai setelah Maghrib. Kami bukan pemalas, kami hanya menunggu Matahari pindah shift kerja. Di Solo, ngopi malam hari bukan gaya hidup, melainkan upaya kolektif menghindari serangan fajar dari sang Surya.

5. Solo Adalah Jebakan Paling Manis yang Kita Rela Masuki Berkali-kali

Lantas, kenapa orang susah move on dari Solo?

Karena Solo itu manusiawi. Di sini, kamu nggak dituntut lari kencang-kencang. Solo tidak pernah menuntutmu jadi The Next CEO. Solo tidak memaksa kamu untuk lari-lari mengejar KRL jam 5 pagi. Kota ini menerima segala kekuranganmu dengan lapang dada. Bahkan, di Solo, langkah kaki dan ambisi kita pun ikut filosofi 'Alon-Alon' kota ini. Kamu bisa ngopi di wedangan HIK selama tiga jam tanpa ada yang mengusir. Solo memberikan jeda. Ia memelukmu dengan kehangatan sapaan "Pinarak, Mas/Mbak" dari orang tak dikenal. Ia memanjakanmu dengan Selat Solo yang kuahnya segar itu.

Solo adalah tempat di mana waktu berjalan sedikit lebih lambat, memberi kita kesempatan untuk bernapas meski napasnya agak sesak pas tanggal tua. Di Solo, dompetmu tipis, tapi batinmu tenteram. Jadi, buat kamu yang mau pindah ke Solo, siapkan dua hal: hati yang sabar menghadapi pengendara motor yang selo, dan lidah yang siap dimanjakan gula batu.

Biodata Penulis:

Hafsah Nur Laily saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.