Oleh Alifia Kurnia Putri
Waktu berjalan tidak sama pada setiap orang. Di kelas yang membosankan, lima menit terasa seperti satu jam. Tapi saat scroll TikTok di hari Minggu, sejam bisa hilang tanpa sadar. Mungkin Einstein akan tersenyum: waktu memang relatif, bahkan di dunia yang penuh notifikasi ini.
Kini manusia hidup berdampingan dengan layar. Banyak yang sibuk menatap ponsel hingga lupa menikmati hal-hal sederhana di sekitar. Padahal, makna justru sering bersembunyi di balik hal kecil yang kita abaikan. Kita jarang benar-benar hadir di setiap momen, sebab pikiran mudah berpindah dari satu notifikasi ke notifikasi lain.
Lihat saja waktu makan. Tangan kanan memegang sendok, tangan kiri menggenggam ponsel. Kita menatap layar lebih lama daripada makanan di depan mata.
“Kayaknya model keserakahan zaman sekarang gini ya, makan pun harus sambil scroll. Tapi aku juga gitu sih.”
Makanan yang seharusnya dinikmati perlahan malah terasa hambar karena perhatian kita terbagi. Tahu-tahu isi piring sudah kosong. Bukan karena lapar, tapi karena kita tidak benar-benar berada di waktu itu.
Sebenarnya bukan waktunya yang berubah, melainkan cara kita merasakannya. Detik terasa melaju kencang ketika makna tak lagi diperhatikan. Lucunya, saat kita merasa makan cepat, orang lain melihat kita makan dengan sangat lambat — karena fokus kita pecah di layar.
“Aku pernah ditanyain temen, ‘kok kamu makan lama banget Fi?’ Aku nggak percaya. Setelah aku lihat jam di pojok HP, ternyata udah setengah jam cuma buat makan.”
Itulah versi kecil dari Time Dilation yang kita alami setiap hari.
Einstein menyebut Time Dilation sebagai perlambatan waktu yang terjadi ketika seseorang bergerak hampir secepat cahaya. Di ruang angkasa, waktu benar-benar melambat karena gravitasi besar seperti di sekitar black hole. Tapi di dunia manusia, waktu melambat bukan karena kecepatan, melainkan karena kesadaran.
Ketika kita berhenti sejenak, hadir sepenuhnya, dan memberi makna pada setiap detik, waktu terasa lebih panjang. Bukan karena fisika, tapi karena jiwa ikut hadir.
Versi kecil dari Time Dilation itu terjadi saat kita menikmati pagi tanpa buru-buru, berbicara dengan keluarga tanpa melihat ponsel, atau sekadar mendengarkan suara hujan tanpa berpikir apa-apa.
Sains mengajarkan bahwa waktu dan ruang bisa berubah tergantung seberapa cepat seseorang bergerak. Tapi kehidupan juga punya hukum relativitasnya sendiri: penantian memperpanjang waktu, dan kebahagiaan memendekkannya.
“Aku nunggu pengumuman lomba seminggu aja rasanya kayak sebulan.”
“Giliran udah menang dan self-reward ke tempat wisata, sehari tuh rasanya kayak sejam.”
Terlihat seperti langkah fisik kita yang mengubah jam, padahal perjalanan batinlah yang mengubah cara kita merasakan waktu.
“Pantas ya, ngobrol bareng keluarga kerasa cepat banget. Tahu-tahu udah malam.”
Mungkin paradoks indahnya ada di situ: waktu tak hanya berdetak di jam tangan, tapi juga di denyut nadi. Time Dilation mengingatkan manusia bahwa hidup bukan soal berapa lama dijalani, tetapi seberapa dalam kita mengisinya. Pada akhirnya, yang dimiliki setiap orang bukan jumlah detik yang sama, melainkan kualitas detik yang berbeda.
Karena waktu elastis, ia mengajak kita untuk mengisinya dengan sesuatu yang berarti. Sayangnya, manusia modern sering mengukur hidup lewat tanggal di layar kunci: menunggu ulang tahun, menandai tenggat, menghitung umur.
Padahal, usia sejati tak diukur dari tahun yang berlalu, tapi dari seberapa banyak waktu yang dirasakan.
Seseorang bisa hidup singkat tapi penuh pengalaman, atau panjang namun kosong dari makna. Hidup bukan tentang lamanya perjalanan, tapi tentang apa yang kita temukan di sepanjang jalan.
“Kalau dipikir-pikir, aku lebih sering nunggu tanggal merah daripada menikmati hari biasa.”
Padahal kalau sadar, Senin sampai Sabtu pun bisa jadi hari favorit, seperti Minggu.
Satu jam bersama orang yang dicintai lebih berharga daripada sebulan dalam kejenuhan. Mungkin inilah makna terdalam dari Time Dilation: setiap momen memberi dua pilihan, membiarkannya lewat begitu saja, atau mengisinya hingga melekat di memori.
Einstein mungkin meneliti waktu dengan rumus, tapi manusia memahaminya lewat rasa. Waktu bisa lentur, dan hidup tidak harus panjang untuk bermakna. Kadang, justru momen-momen singkatlah yang paling membekas.
“Jadi, aku besok mau coba makan tanpa megang HP. Mungkin awalnya nggak biasa, tapi siapa tahu ternyata rasanya nikmat juga.”
Ah, aku tak sabar menunggu waktu makan.
Biodata Penulis:
Alifia Kurnia Putri saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bahasa dan Sastra Arab, di UIN Malang. Ia terlibat dalam kegiatan volunteer peduli lingkungan.