Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Bahasa yang Disamarkan, Kebenaran yang Diredam

Yuk kenali eufemisme dan dampaknya! Pelajari bagaimana bahasa halus bisa menjaga kesopanan, tapi juga menyamarkan kenyataan di media dan politik.

Oleh Muthiah Syafanah

Bahasa sering kali menjadi cermin cara berpikir masyarakat. Namun, ada kalanya bahasa justru digunakan untuk menyembunyikan kenyataan yang tidak menyenangkan. Fenomena ini disebut eufemisme—penggunaan kata yang lebih halus untuk menggantikan istilah yang dianggap kasar, menakutkan, atau tidak pantas.

Secara umum, eufemisme berfungsi menjaga sopan santun dalam komunikasi. Kata-kata yang lebih halus sering dipakai untuk mengurangi kekasaran atau dampak emosional, sehingga pesan tetap tersampaikan tanpa menyinggung pihak tertentu. Dalam konteks sosial, fungsi ini membantu menjaga keharmonisan interaksi sehari-hari.

Bahasa yang Disamarkan, Kebenaran yang Diredam

Namun, ketika eufemisme digunakan secara berlebihan, makna sebenarnya dapat tertutupi. Dalam media dan politik, eufemisme tidak lagi sekadar alat kesopanan, melainkan bisa menjadi strategi untuk meredam respons masyarakat atau menyamarkan kenyataan yang sebenarnya lebih serius. Dampak negatifnya muncul ketika publik kehilangan pemahaman yang jernih terhadap suatu isu.

Contoh penyalahgunaan eufemisme di media dan politik terlihat pada istilah seperti “penyesuaian harga” untuk menggantikan “kenaikan harga”, atau “kebijakan rasionalisasi” yang sebenarnya berarti pengurangan tenaga kerja. Bahasa yang dipilih dengan sengaja ini dapat membentuk persepsi yang lebih lunak, sehingga masyarakat tidak menyadari skala masalah yang dihadapi. Inilah yang membuat eufemisme berpotensi menyesatkan jika tidak dikritisi.

Menurut pandangan saya, eufemisme tetap dapat digunakan selama konteksnya tepat dan tidak memutarbalikkan fakta. Yang berbahaya bukanlah eufemismenya, tetapi ketika bahasa halus dijadikan alat untuk mengaburkan realitas. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami makna di balik istilah yang digunakan media dan pemangku kebijakan, agar komunikasi tetap jujur dan publik tidak mudah dipengaruhi oleh permainan kata.

Eufemisme pada dasarnya dapat membantu menjaga kesopanan dalam berbahasa, tetapi penggunaannya di media dan dunia politik sering berubah menjadi alat untuk menghaluskan fakta yang seharusnya disampaikan secara jujur. Ketika istilah-istilah lunak dipakai untuk menyamarkan masalah, masyarakat berpotensi menerima informasi yang tidak utuh dan keliru dalam memahami situasi. Karena itu, diperlukan sikap kritis terhadap pilihan kata yang disajikan kepada publik. Bahasa seharusnya menjadi sarana untuk memperjelas kenyataan, bukan menutupi kebenaran, sehingga penggunaan eufemisme perlu dilakukan secara bijak dan bertanggung jawab.

Biodata Penulis:

Muthiah Syafanah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Mulawarman.

© Sepenuhnya. All rights reserved.