Oleh Syamsul Huda
Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Air merendam rumah warga, memutus akses jalan, melumpuhkan aktivitas ekonomi, dan memaksa ribuan orang mengungsi. Peristiwa ini bukan yang pertama, dan sayangnya, besar kemungkinan bukan yang terakhir. Banjir yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan di Sumatera belum ditangani secara serius, meski tanda-tandanya sudah berulang kali muncul.
Setiap kali banjir datang, narasi yang paling sering terdengar adalah cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi. Memang, hujan menjadi pemicu langsung. Namun, hujan bukan penyebab utama. Banjir yang kini terjadi justru memperlihatkan bahwa daya dukung lingkungan di banyak wilayah Sumatera telah melemah akibat perubahan tata guna lahan dan hilangnya tutupan hutan.
Hutan yang Hilang, Sungai yang Meluap
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa lebih dari 7 juta hektare hutan alam di Sumatera telah hilang dalam dua dekade terakhir. Deforestasi ini paling banyak terjadi di wilayah dataran rendah dan daerah aliran sungai yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga banjir.
Provinsi seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi mencatat kehilangan hutan dalam skala besar. Dampaknya terasa nyata hari ini: sungai meluap lebih cepat, air menggenang lebih lama, dan wilayah permukiman menjadi semakin rentan.
KLHK sendiri menegaskan bahwa “deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi langsung terhadap meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.” Pernyataan ini memperkuat fakta bahwa banjir yang sedang terjadi bukan peristiwa alam semata, melainkan akibat dari perubahan bentang alam yang berlangsung lama.
Sawit Bukan Hutan
Dalam berbagai perdebatan kebijakan, masih muncul anggapan bahwa perkebunan sawit dapat disamakan dengan hutan karena sama-sama berupa vegetasi. Pandangan ini keliru. Hutan adalah ekosistem, sementara sawit adalah tanaman monokultur dengan fungsi ekologis terbatas.
Perkebunan sawit tidak memiliki keragaman vegetasi dan struktur tanah seperti hutan alami. Akibatnya, kemampuan menyerap air dan menahan erosi jauh lebih rendah. Ketika hujan deras turun, air tidak lagi tertahan di tanah, tetapi langsung mengalir ke sungai dan permukiman.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa “mayoritas kejadian banjir terjadi di wilayah dengan penurunan tutupan hutan yang signifikan, terutama di daerah aliran sungai.” Banjir yang melanda Sumatera saat ini memperlihatkan dengan jelas hubungan tersebut.
Negara Hadir Saat Air Sudah Naik
Penanganan banjir di Sumatera masih bersifat reaktif. Negara baru terlihat hadir ketika air sudah naik dan warga mulai mengungsi. Bantuan darurat, dapur umum, dan pos pengungsian disiapkan. Namun, upaya pencegahan jangka panjang masih berjalan lambat.
Bappenas dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional menyebutkan bahwa “perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali meningkatkan risiko bencana dan memperbesar kerugian sosial-ekonomi.” Sayangnya, peringatan ini belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan perizinan dan tata ruang di daerah rawan banjir.
Selama kebijakan masih memberi ruang besar pada pembukaan lahan tanpa kontrol ketat, banjir akan terus menjadi agenda tahunan.
Warga Membayar Harga Paling Mahal
Banjir yang terjadi saat ini kembali menunjukkan bahwa warga adalah pihak yang paling dirugikan. Rumah terendam, lahan pertanian rusak, aktivitas pendidikan terganggu, dan pendapatan harian hilang. Kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar.
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa bencana banjir dan kabut asap sering diikuti peningkatan puluhan ribu kasus penyakit berbasis lingkungan, seperti infeksi saluran pernapasan akut dan penyakit kulit. Dampak ini jarang dihitung sebagai kerugian pembangunan, padahal biayanya sangat besar bagi masyarakat.
Banjir Bukan Takdir
Banjir di Sumatera tidak seharusnya dipahami sebagai takdir tetapi adalah konsekuensi dari pilihan kebijakan. Alam hanya merespons perlakuan manusia terhadapnya. Ketika hutan ditebang, lahan dibuka tanpa kendali, dan sawit disamakan dengan hutan, maka banjir hanyalah soal waktu.
Saatnya Berhenti Menormalisasi Banjir
Banjir yang sedang terjadi di Sumatera seharusnya menjadi peringatan keras. Mengatasinya tidak cukup dengan tanggap darurat. Dibutuhkan keberanian politik untuk melindungi hutan tersisa, menata ulang kebijakan lahan, dan menghentikan narasi yang menormalisasi kerusakan lingkungan.
Jika tidak, banjir hari ini hanya akan menjadi catatan pembuka bagi bencana berikutnya—dengan korban yang terus bertambah dan pelajaran yang kembali diabaikan.
Biodata Penulis:
Syamsul Huda saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.