Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Banjir, Manuskrip, dan Ingatan Kolektif Nusantara

Ayo telusuri manuskrip kuno yang mencatat banjir di Nusantara dan temukan bagaimana pelajaran leluhur dapat membantu kita memahami bencana hari ini.

Oleh Putri Aksani Guspira

Dalam episode “Ngobrol Banjir dan Manuskrip”, Kang Oman mengajak kita melihat bahwa bencana seperti hujan deras, petir, badai, dan banjir sebenarnya bukanlah hal baru dalam perjalanan sejarah Nusantara. Lewat manuskrip-manuskrip kuno yang ditemukan di berbagai daerah, kita bisa melihat bahwa fenomena banjir sudah sering dicatat oleh para penulis masa lalu. Mereka bukan sekadar mencatat kejadian fisik, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat saat itu merespons bencana, apa yang mereka rasakan, dan bagaimana mereka mencoba memberi makna pada peristiwa alam.

Banjir, Manuskrip, dan Ingatan Kolektif Nusantara

Kang Oman menekankan bahwa manuskrip bukan hanya kumpulan tulisan tua yang tersimpan di lemari perpustakaan. Ia adalah rekaman memori bersama semacam arsip kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman. Melalui tulisan tangan para pendahulu, kita bisa memahami cara mereka menghadapi alam yang kadang bersahabat, kadang juga membawa musibah. Para leluhur menuliskan pengalaman mereka agar generasi setelahnya tidak lupa dan dapat mengambil pelajaran.

Dalam tradisi literasi lama Nusantara, banyak naskah yang menyinggung tentang banjir dan bencana alam lainnya. Mulai dari Aceh hingga Minangkabau, terdapat teks beraksara Jawi dan berbagai syair lokal yang menggambarkan kondisi lingkungan pada masa itu. Salah satu contoh penting adalah naskah Syair Taloe Tarendam (1890) dari Minangkabau. Di dalamnya digambarkan bahwa banjir pernah begitu tinggi hingga mencapai atap rumah. Catatan seperti ini memperlihatkan bahwa banjir besar bukan sekadar fenomena yang muncul akhir-akhir ini, tetapi sudah menjadi bagian dari sejarah ekologis masyarakat.

Catatan-catatan itu memiliki fungsi penting sebagai “pengingat kolektif”. Artinya, para penulis dulu seperti ingin berkata kepada kita: berhati-hatilah, karena bencana seperti banjir sudah pernah datang dan bisa datang lagi. Dengan memahami pengalaman mereka, kita bisa belajar bagaimana menyiapkan mitigasi atau setidaknya memiliki kesadaran bahwa alam memiliki siklus dan ritmenya sendiri. Manuskrip menjadi semacam jendela untuk melihat bagaimana masyarakat dulu menyikapi ancaman lingkungan dan bagaimana mereka memaknai keterkaitan manusia dengan alam.

Namun, tantangan di masa kini adalah bagaimana membawa khazanah manuskrip yang kuno itu ke tengah masyarakat modern yang hidup dalam arus cepat digital. Menurut Kang Oman, banyak orang menganggap manuskrip sebagai sesuatu yang rumit, tua, dan jauh dari dunia anak muda. Bahasanya sulit, tulisannya kuno, dan konteksnya terasa asing. Karena itu, diperlukan jembatan yang dapat menghubungkan warisan literasi kuno dengan generasi sekarang.

Melalui NGARIKSA TV, Kang Oman berusaha menghadirkan manuskrip secara lebih segar. Alih-alih hanya dipamerkan di museum atau dibahas dalam ruang akademik, naskah-naskah itu diperkenalkan melalui video, diskusi santai, dan ulasan yang lebih mudah dipahami. Tujuannya supaya masyarakat umum, terutama generasi muda, tidak hanya mengenal manuskrip sebagai benda tua, tetapi sebagai sumber pengetahuan yang relevan dengan kehidupan sekarang.

Menurut Kang Oman, membaca manuskrip bukan sekadar melihat aksara lama. Ini adalah proses memahami cara berpikir suatu masyarakat pada masa lalu. Kita bisa mengetahui bagaimana leluhur menghadapi tantangan, bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan, serta bagaimana mereka mengolah pengalaman menjadi pengetahuan. Ketika catatan tentang banjir muncul berulang kali, itu menandakan bahwa masyarakat lama juga hidup dalam situasi yang penuh risiko lingkungan, sama seperti kita hari ini.

Dalam konteks modern, ketika perubahan iklim mulai memunculkan hujan ekstrem, banjir bandang, dan cuaca tidak menentu, manuskrip menjadi semakin relevan. Ia memberi kita sudut pandang sejarah dan kultural bahwa persoalan banjir adalah persoalan lintas generasi. Para pendahulu pernah menghadapi masalah yang sama, dan mereka menuliskan pengalaman itu sebagai bentuk kepedulian kepada penerusnya. Dengan memahami catatan itu, kita diajak untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, sekaligus belajar bagaimana mereka mempertahankan ketahanan sosial saat menghadapi bencana.

Upaya NGARIKSA membawa manuskrip ke ruang publik modern membantu memastikan bahwa warisan intelektual bangsa tidak hilang. Dengan cara yang lebih komunikatif, isi manuskrip bisa ditempatkan kembali dalam kehidupan masyarakat bukan hanya sebagai koleksi museum, tetapi sebagai sumber inspirasi dan pelajaran. Ini penting untuk membangun kesadaran bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang jauh, tetapi sesuatu yang terus berdialog dengan masa kini.

Pada akhirnya, episode ini mengingatkan bahwa memahami manuskrip bukan soal nostalgia atau romantisasi masa lalu. Ini adalah usaha menjaga ingatan bersama agar kita mampu menghadapi tantangan hari ini. Melalui pembacaan manuskrip, kita diajak untuk memahami bahwa hubungan manusia dan alam selalu dinamis. Banjir, sebagai salah satu bencana yang sering terjadi, menjadi pengingat bahwa manusia harus terus belajar, beradaptasi, dan menghargai alam. Dengan begitu, manuskrip tidak hanya menjadi peninggalan budaya, tetapi juga sumber kebijaksanaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern.

Biodata Penulis:

Putri Aksani Guspira saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Andalas, Padang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.