Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Berbasa-Basi atau Beretika? Menilai Fungsi Sosial Eufemisme dalam Masyarakat

Yuk kenali lebih jauh bagaimana eufemisme bekerja. Temukan cara membedakan penggunaan yang bijak dan yang menipu dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh Rafa Maritza

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar frasa seperti "berpulang" untuk menggantikan "meninggal", atau "kurang mampu" alih-alih "miskin". Ini adalah contoh eufemisme, yaitu penggunaan kata-kata halus atau tidak langsung untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggap kasar, menyakitkan, atau tabu. Namun, apakah eufemisme ini benar-benar etis, atau hanya basa-basi yang menutupi realitas? Dalam opini ini, saya berpendapat bahwa eufemisme memiliki fungsi sosial yang berharga, tetapi ia bisa berubah menjadi basa-basi jika digunakan untuk menghindari tanggung jawab atau menipu. Mari kita telaah lebih dalam.

Pertama, eufemisme sering kali berfungsi sebagai alat etis untuk menjaga harmoni sosial. Dalam budaya Indonesia yang kental dengan nilai gotong royong dan menghindari konflik, eufemisme membantu mengurangi ketegangan. Misalnya, saat memberi kritik, orang mungkin berkata "kurang tepat" daripada "salah besar" untuk menghindari perasaan tersinggung. Ini bukan basa-basi semata, melainkan bentuk empati yang mencegah eskalasi emosi. Psikolog sosial seperti Erving Goffman dalam teori "face-saving" menjelaskan bahwa eufemisme melindungi "wajah" seseorang—yaitu citra diri mereka—dalam interaksi sosial. Tanpa itu, komunikasi bisa menjadi kasar dan merusak hubungan, seperti yang sering terjadi di media sosial di mana kata-kata langsung sering memicu perang komentar.

Namun, eufemisme bisa menjadi masalah ketika ia digunakan sebagai alat untuk menutupi kebenaran atau menghindari tanggung jawab. Di dunia politik, misalnya, istilah "penyesuaian harga" sering digunakan untuk menyamarkan kenaikan inflasi yang sebenarnya membebani rakyat. Ini bukan etika, melainkan basa-basi yang menipu publik. Dalam konteks kesehatan, frasa "pasien dalam kondisi kritis" mungkin lebih halus daripada "sekarat", tetapi jika dokter menggunakannya untuk menyembunyikan prognosis buruk, itu bisa merugikan keluarga pasien. Kritikus seperti George Orwell dalam esainya "Politics and the English Language" mengingatkan bahwa eufemisme sering kali digunakan oleh kekuasaan untuk memanipulasi opini, seperti bagaimana istilah "enhanced interrogation" digunakan untuk menyamarkan penyiksaan dalam konteks perang.

Di era digital saat ini, eufemisme semakin kompleks. Platform seperti Twitter mendorong penggunaan singkatan dan emoji untuk mengungkapkan emosi, yang bisa dianggap sebagai eufemisme modern. Namun, ini juga memfasilitasi cyberbullying yang tersembunyi, di mana kata-kata kasar disembunyikan di balik sarkasme halus. Saya percaya bahwa fungsi sosial eufemisme bergantung pada konteks: etis jika ia mempromosikan empati dan kejujuran, tetapi basa-basi jika ia menjadi alat penghindaran.

Akhirnya, eufemisme bukan hitam-putih. Ia adalah cermin masyarakat kita—etis ketika digunakan untuk membangun hubungan, tetapi basa-basi ketika menutupi ketidakadilan. Untuk membangun masyarakat yang lebih jujur, kita perlu membedakan antara eufemisme yang bijak dan yang manipulatif. Mari kita gunakan kata-kata dengan hati-hati, bukan hanya untuk mendengar, tetapi untuk memahami.

Biodata Penulis:

Rafa Maritza saat ini aktif sebagai mahasiswa.

© Sepenuhnya. All rights reserved.