Oleh Hilya Khairiyah
Di Dusun Karangsono, Desa Plosorejo, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, ada satu tempat makan yang selalu ramai meski letaknya tidak di pinggir jalan besar. Lapaknya sederhana, berada di dapur dan teras rumah penjual. Dari luar seperti rumah biasa, tapi begitu mendekat, aroma gurih dari bubur yang sedang dimasak dengan kayu bakar langsung menyambut siapa pun yang lewat. Warga sekitar mengenalnya dengan nama Bubur Karangsono.
Warung ini buka setiap hari dari sehabis magrib sampai jam 11 malam. Tidak ada papan nama, tidak ada spanduk, tapi siapa pun di sekitar Matesih pasti tahu di mana letaknya. Menjelang malam, cahaya lampu dapur dan asap tipis dari tungku jadi tanda bahwa bubur baru saja matang. Bau kayu terbakar bercampur dengan aroma kuah gurih, menciptakan suasana khas pedesaan yang susah dilupakan.
Harga buburnya bikin orang terdiam, antara dua ribu sampai tiga ribu rupiah per porsi. Isinya sederhana: bubur putih dengan kuah kuning gurih atau kuah sambel goreng sesuai selera . Yang menarik, kuah sambel gorengnya bisa diambil sendiri sepuasnya. Kuah ini agak kental, rasanya pedas dan gurih tapi lembut di lidah, perpaduan antara sayuran, cabai dan kacang tanah yang sudah dihaluskan.
Saya datang sekitar jam 8 malam, Tempatnya lesehan di teras rumah, sementara dapur di bagian samping rumah digunakan untuk memasak bubur. Suasana malam itu ramai tapi santai. Orang-orang datang silih berganti, ada yang makan di tempat, ada yang bungkus. Anak-anak kecil berlarian, bapak-bapak ngobrol sambil menyeruput kopi. Semuanya terasa akrab, seperti sedang mampir ke rumah saudara sendiri.
Saya duduk di pojok teras, memesan dua porsi bubur yang masing-masing seharga tiga ribu. Tambah tiga tempe mendoan yang masih hangat. Minumnya air putih gratis dan secangkir kopi hangat tiga ribuan. Selain kopi, ada juga teh hangat, air putih, dan beberapa minuman lain kecuali es. “Pokoknya selain es, Mbak,” kata ibu penjual sambil tersenyum. Di depan, tersedia tusukan pelengkap seperti jeroan, telur, dan juga tahu bacem manis gurih yang bikin lapar lagi. Pembeli bebas memilih tusukan sesuka hati. Semua gorengan tersusun rapi di wadah , baunya menggoda sejak masih jauh.
Buburnya disajikan hangat dalam piring plastik yang dialasi dengan daun pisang. Teksturnya lembut dan agak kental, rasanya gurih sederhana tanpa rasa berlebihan. Kuah sambel gorengnya saya siram sendiri. Pedasnya langsung terasa, tapi tidak menusuk. Ada sensasi khas cabai dan bawang yang membuat bubur terasa lebih berisi meski tanpa lauk.
Sambil makan, saya memperhatikan pengunjung lain. Ada yang datang cuma buat bungkus, ada juga yang makan lalu lanjut ngobrol di depan rumah. Tak lama, ibu penjual menoleh ke arah saya setelah melihat piring saya sudah kosong. “Mbanya mau bawa pulang mboten?” (Mbanya mau bungkus bubur untuk dibawa pulang apa tidak?), katanya dengan logat halus. Saya tersenyum dan menjawab, “Nggih Buk, bawa pulang 2 ribuan 3 Buk.” (iya buk, bawa pulang dibungkus 2 ribuan 3 biji) Ibu itu langsung menyiapkan bungkusnya dengan cekatan sambil tetap melayani pembeli lain yang terus berdatangan. Saya sempat terkaget-kaget. Dua porsi bubur, gorengan dan minum yang saya makan di tempat, ditambah tiga bungkus bubur untuk dibawa pulang, totalnya cuma habis delapan belas ribu rupiah. Padahal biasanya, uang segitu cuma cukup buat sekali makan di warung biasa.
Bubur Karangsono bukan tempat yang dibuat untuk mencari popularitas. Tak ada papan nama, tak ada media sosial, tapi pembelinya tidak pernah sepi. Orang datang karena tahu rasanya enak, harganya bersahabat, dan penjualnya ramah. Jika kamu lewat Dusun Karangsono, cobalah berhenti sejenak. Duduk di teras rumah itu, pesan seporsi bubur hangat, tambahkan kuah sambel goreng sesuai selera ataupun kuah kuning, dan nikmati suasana malam desa yang tenang. Di situ kamu akan tahu, bahwa kelezatan sejati sering lahir dari dapur yang sederhana dan tangan-tangan yang tulus.
Biodata Penulis:
Hilya Khairiyah saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Pendidikan Ekonomi, di Universitas Sebelas Maret.