Oleh Nuriyatin Fighya
Gunungkidul dikenal dengan pantai-pantai indahnya, tetapi di antara deretan pasir putih itu, ada satu spot yang menjadi favorit para pecinta camping: Bukit Kosakora. Tempat ini bukan sekadar bukit biasa. Dari puncaknya, kita bisa melihat garis pantai panjang, ombak yang memukul karang, dan langit biru yang menyatu dengan horizon laut. Semua itu membuat Kosakora menjadi rumah bagi wisatawan yang ingin camping ringan tanpa harus mengeluarkan tenaga besar seperti mendaki gunung tinggi.
Perjalanannya memang tidak terlalu jauh, tetapi cukup membuat napas terengah. Trek menuju puncak menanjak dan terkadang licin, terutama setelah hujan. Namun begitu sampai di atas, rasa capek langsung terbayar. Banyak pengunjung memilih datang sore hari untuk memasang tenda, menikmati sunset, lalu tidur ditemani suara ombak yang menghantam karang dari kejauhan.
Camping di Bukit Kosakora memberi pengalaman “alih ruang” yang menarik. Kita tidur di antara angin laut dan ilalang, bangun dengan cahaya keemasan yang muncul dari balik bukit. Tidak ada lampu kota, tidak ada suara kendaraan. Hanya debur laut dan hembusan angin yang seolah menghapus beban pikiran. Itulah mengapa tempat ini semakin diminati anak muda yang butuh rehat mental tanpa harus membuka banyak tabungan.
Namun Bukit Kosakora juga menghadapi tantangan klasik: persoalan sampah. Tren camping yang makin populer membawa konsekuensi. Sisa makanan, plastik, hingga puntung rokok sering ditemukan di beberapa titik. Pengelola dan komunitas pecinta alam mulai memasang imbauan dan melakukan aksi bersih-bersih, tetapi perubahan perilaku pengunjung tetap menjadi kunci.
Dari sisi ekonomi, keberadaan Kosakora membuat warga sekitar mendapatkan peluang baru—mulai dari penyewaan tenda, jasa ojek pantai, hingga warung kecil yang buka sampai malam. Ini adalah contoh bagaimana wisata alam bisa menjadi sumber penghidupan, selama dikelola secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, Bukit Kosakora mengingatkan kita bahwa keindahan alam tidak selalu membutuhkan fasilitas besar. Cukup bukit, angin laut, dan ruang untuk diam. Camping tipis-tipis pun bisa menjadi pengalaman penuh makna.
Biodata Penulis:
Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa