Oleh Tita Aulia
Di suatu sore, ketika saya duduk di teras rumah sambil memperhatikan warga yang berlalu-lalang, muncul dua orang pengamen melintas. Salah satunya mengenakan kostum boneka berwarna mencolok, sementara temannya mendorong speaker kecil yang memutar lagu dangdut terbaru. Momen sederhana itu tiba-tiba mengingatkan saya pada masa kecil di pesisir Cirebon–Brebes—masa ketika suara musik burok terdengar dari ujung gang dan seluruh penjuru desa langsung tahu ada pesta atau syukuran.
Dulu, boneka kuda bersayap itu diarak dengan gerakan ritmis, dikelilingi anak-anak yang berlari antusias, orang tua yang tersenyum mengenang masa mudanya, dan warga yang merasa terhubung satu sama lain tanpa perlu alasan. Burok bukan sekadar hiburan; ia bagian dari identitas dan ritme kehidupan pesisir.
Melihat pengamen berkostum sore itu membuat saya bertanya dalam hati: apa yang berubah dari dunia tempat burok dulu hidup? Tradisi yang dulu begitu dekat kini terasa makin jarang muncul, seolah mencari ruang baru di tengah zaman yang semakin cepat.
Dari Mana Burok Berasal? Kisah di Balik Ikon Pesisir Cirebon-Brebes
Dalam pandangan Islam, Burak atau Buraq dikenal sebagai makhluk yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW pada peristiwa Isra Mi’raj. Gambaran inilah yang kemudian menginspirasi masyarakat Cirebon ketika melahirkan sosok burok dalam tradisi mereka. Dalam cerita rakyat setempat, burok digambarkan sebagai kuda sembrani—berkaki empat, bersayap, dan berhias wajah putri berkulit putih bercahaya.
Kesenian Burok sendiri mulai diciptakan sekitar tahun 1920 oleh Bapak Ta’al di Desa Kalimaro, Cirebon. Sejak awal, seni ini memadukan rupa, tari, dan musik menjadi satu pertunjukan yang meriah. Pada mulanya, burok digunakan sebagai arak-arakan untuk memperingati Isra Mi’raj dan berbagai hari besar Islam lainnya. Tetapi seiring waktu, fungsi ini berkembang: burok mulai hadir dalam hajatan masyarakat seperti khitanan, khataman Al-Qur’an, hingga syukuran desa.
Perkembangannya pun meluas ke berbagai wilayah sekitar Cirebon, terutama Losari—sebuah kecamatan di pesisir yang menjadi titik pertemuan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari sinilah burok tumbuh menjadi kesenian ikonik pesisir yang dikenal hingga Brebes dan daerah-daerah sekitarnya.
Bagaimana Burok Berubah dari Masa ke Masa
Perjalanan Burok dari awal kemunculannya hingga sekarang mengalami dinamika yang beragam, perubahan yang terjadi bukan sekadar soal tampilan. Ia berubah mengikuti ritme kehidupan masyarakat pesisir Cirebon–Brebes. Pada masa sekitar 1920-an, pertunjukan Burok tampil dengan sederhana. Boneka kuda bersayap dengan musik pengiringnya yang berasal dari tabuhan tradisional dan lantunan bernuansa Islam. Saat itu, Burok berfungsi sebagai arak-arakan untuk memperingati Isra Mi’raj dan hari besar Islam lainnya.
Namun seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, kebutuhan masyarakat juga bergeser. Hajatan semakin beragam, daerah semakin padat, dan selera hiburan ikut berubah. Burok pun menyesuaikan diri. Boneka yang dulu sederhana kini mengalami modifikasi diberbagai detailnya agar dapat tetap mengikuti perkembangan zaman. Musiknya pun bertransformasi—tetap mempertahankan unsur tradisional, tetapi kini berpadu dengan irama dangdut dan lagu-lagu populer agar lebih menarik bagi generasi muda.
Di masyarakat pesisir, burok bukan hanya hiburan. Ia sering menjadi simbol status sosial bagi keluarga yang menggelarnya dalam hajatan besar. Tingginya biaya pertunjukan, yang dapat mencapai 10–17 juta rupiah sekali tampil, membuat burok dikenal sebagai tontonan bergengsi.
Burok tidak lagi hanya menjadi penanda kemampuan ekonomi, tetapi juga menjadi penanda identitas budaya pesisir. Perubahan makna ini menunjukkan bahwa Burok bergerak bersama perubahan masyarakatnya, Burok berperan untuk menjaga akar tradisi, tetapi juga merespons gaya hidup modern agar tetap terjaga eksistensinya.
Ketika Panggung Tradisi Bertemu Dunia Modern
Seiring berjalannya waktu, Burok tidak hanya berubah dari segi bentuk dan fungsi, tetapi juga dari ruang sosial tempat ia hidup. Namun perubahan ini tidak sepenuhnya menggeser nilai lama. Di tengah semakin ramainya hiburan digital dan kompetisi dengan musik modern, masih ada tradisi yang tetap dijaga oleh komunitas Burok. Salah satu contohnya adalah, Di Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari Kabupaten Brebes, salah satu daerah yang masih melestarikan kesenian Burok, setiap kelompok Burok wajib melakukan “Buka Panggung” saat bulan Sura. Tradisi ini berupa pentas khusus di desa sendiri yang diyakini sebagai pembuka rezeki bagi para pelaku seni sepanjang tahun. Bagi mereka, Buka Panggung bukan sekadar pertunjukan, tetapi ritus spiritual yang menandai dimulainya perjalanan kesenian selama setahun.
Kepercayaan lokal juga terlihat dalam komunitas Burok. Burok Ayu—boneka utama mereka—hanya boleh dipentaskan di wilayah Jawa Barat serta beberapa kecamatan di Brebes, mulai dari Losari hingga Wanasari. Di luar area itu dianggap sebagai “wilayah pantangan” yang diyakini dapat membawa risiko bagi pemilik hajat maupun para pemain. Menariknya, larangan ini hanya berlaku untuk Burok Ayu; sementara kesenian pendamping seperti Kuda Lumping, Singa Depok, dan Barongsai tetap dapat ditampilkan di berbagai tempat. Kehadiran tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa meski Burok beradaptasi dengan teknologi, festival kota, dan selera hiburan modern, sebagian nilai spiritual dan budaya pesisir tetap bertahan kuat
Tantangan yang Dihadapi Pelaku Burok Hari Ini
Di balik meriahnya kesenian Burok di setiap acara, terdapat tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Tantangan pertama adalah biaya produksi dan operasional yang semakin tinggi. Burok dibuat dengan detail yang rumit dan membutuhkan bahan yang tidak murah, Selain itu, satu rombongan Burok biasanya terdiri dari banyak orang, tak heran jima sekali tampil harga sewanya dapan mencapai 10-17 juta rupiah. Angka ini membuat warga di daerah pesisir menjadi berpikir dua lali sebelum menggelar Burok dalam hajatan mereka. Akibatnya frekuensi pertunjukan menurun dan ke pendapatan para pelaku seni tidak stabil.
Selain itu, terdapat perubahan selera masyarakat. Kehadiran hiburan digital, seperti Tiktok dan YouTube membuat Burok harus bersaing dengan bentuk hiburan yang lebih modern, murah dan dapat diakses.
Apa yang Bisa Membuat Burok Tetap Hidup di Masa Depan?
Langkah paling dasar tentu dimulai dari regenerasi pelaku seni. Berbagai inovasi dilakukan bukan semata untuk mengikuti zaman, tetapi untuk menarik minat anak-anak dan remaja agar mereka mengenal dan memahami filosofi Burok sejak dini. Memodifikasi Burok bertujuan supaya arak-arak kesenian Burok lebih meriah dan memberikan kesan ramah anak. Selain itu, penyesuaian ini juga bertujuan memudahkan promosi melalui media sosial, sehingga kesenian Burok dapat dikenal oleh lebih banyak orang, terutama generasi muda. Contohnya Facebook, Instagram dan YouTube digunakan sebagai sarana promosi. Cuplikan video yang berisi pertunjukkan dan keunikan dari Burok diunggah ke media sosial dan mendapatkan respons yang positif dari masyarakat.
Biodata Penulis:
Tita Aulia, biasa disapa Tita, lahir pada tanggal 26 November 2008 di Brebes. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Pendidikan Ekonomi. Moto hidupnya: Hidup bukanlah tentang siapa yang terhebat dan siapa yang terpandang, tapi adalah tentang siapa yang menjalaninya dengan baik dan taat perintah kepada Tuhannya.