Oleh Nuriyatin Fighya
Ketika bicara soal candi di Jawa Tengah, nama Borobudur biasanya muncul pertama. Namun di lereng Gunung Lawu, ada dua candi yang menawarkan perspektif berbeda tentang sejarah: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Keduanya bukan candi megah dengan relief detail halus. Bentuknya sederhana, mirip piramida teras, dan sering disebut sebagai candi “nyeleneh” karena punya unsur simbolik yang tidak umum di candi-candi Jawa pada umumnya.
Candi Sukuh terkenal dengan relief dan arca yang berani. Banyak simbol kesuburan terpahat jelas, menunjukkan orientasi spiritual yang berbeda dari candi-candi Hindu-Buddha klasik. Kesederhanaan bentuknya justru menjadi keunikan. Ini bukan candi yang dibuat untuk memamerkan kekuasaan raja, tetapi tempat upacara dengan pesan simbolik yang kuat. Sukuh seolah ingin berkata: sejarah tidak selalu dibangun oleh estetika megah; ia juga dibentuk oleh keyakinan masyarakat lokal.
Tak jauh dari Sukuh, Candi Cetho menawarkan suasana berbeda. Terletak lebih tinggi dan dekat dengan jalur pendakian Gunung Lawu, Cetho menghadirkan kombinasi spiritualitas, mistik, dan panorama pegunungan. Teras-terasnya ditata rapi, dihiasi gapura-gapura yang memberikan kesan sakral. Banyak peziarah datang untuk berdoa, terutama pada hari-hari tertentu dalam kalender Jawa. Cetho bukan hanya situs arkeologi, tetapi ruang hidup bagi tradisi yang masih berjalan.
Dari sisi ekonomi lokal, keberadaan dua candi ini memberi dampak besar bagi warga sekitar. Homestay kecil tumbuh, warung makan semakin ramai, dan jasa pemandu wisata mulai diminati. Desa Berjo dan Cetho kini menjadi bagian dari paket wisata Karanganyar yang selalu direkomendasikan. Namun tantangannya adalah bagaimana menjaga kedua situs agar tidak menjadi “taman rekreasi” semata. Mereka adalah warisan sejarah yang memerlukan perlakuan khusus.
Candi Sukuh dan Cetho membuktikan bahwa wisata sejarah tidak harus selalu megah. Banyak wisatawan justru datang karena ingin merasakan atmosfir yang berbeda: suasana sunyi, udara gunung, percakapan budaya, dan sensasi seolah masuk ke ruang waktu lain. Di era ketika sejarah sering dipandang hanya sebagai foto latar, dua candi ini memberikan pengalaman yang lebih mendalam—pengalaman yang mengajak kita merenung.
Yang menarik, tren “mystic tourism” mulai berkembang di kalangan anak muda. Banyak yang penasaran dengan aura “angker” atau cerita penunggu Lawu. Walau sebagian bersifat mitos, fenomena ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat memaknai spiritualitas. Selama dikelola dengan bijak, ini bisa menjadi peluang wisata sekaligus sarana edukasi budaya.
Sukuh dan Cetho pada akhirnya adalah narasi alternatif tentang peradaban Jawa. Mereka mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya soal monumentalitas, tetapi juga soal keberagaman keyakinan dan ekspresi budaya. Di tengah gempuran wisata modern, dua candi ini tetap kokoh berdiri sebagai pengingat bahwa Jawa memiliki jejak spiritual yang sangat kaya.
Biodata Penulis:
Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa