Namaku Pricillia, mahasiswa baru asal Tegal yang udah 4 bulan menetap di Solo. Waktu pertama kali ngekost dan ditinggal orang tua pulang ke Tegal, aku merasa bahwa akan merasakan hidup yang sebenarnya. Bagi anak Ngapak, hidup di Solo berarti harus menghadapi 3 tantangan: suara yang kelewat halus, makanan yang cenderung manis dan bahasa yang tiba-tiba asing.
| Sumber: surakarta.go.id |
1. Hari Pertama ke Warung: “Hah, maaf bu suarane kok alus banget?”
Hari pertama setelah tinggal di Solo, aku memutuskan untuk mencari makan siang di warung dekat kost. Setelah selesai memesan, aku tanya ke ibu penjual:
“Sampun bu, iku regane piro?”
-Sudah bu, itu harganya berapa?
Ibu warung lalu menjawab dengan suara yang super halus, pelan dan hamper tidak terdengar. Yang aku dengar cuma:
“sa..wi..ni..wo..”
Aku pun hanya bisa tersenyum paksa dan membatin:
“Aduh, ibune iki ngomong opo sih kok bisik-bisik. Iki ibune seng kelewat alus opo aku seng ra krungu sih. Kapok aku yen koyo iki.”
-Aduh, ibunya itu ngomong apa kok bisik-bisik. Ini ibunya yang terlalu halus apa aku yang tidak dengar.
Aku sampai harus maju dan menanyakan hal yang sama untuk memastikan apa yang ibu warung bicarakan. Sebagai anak Ngapak yang terbiasa mendengar suara kencang, tegas dan mirip orang bertengkar harus menghadapi suara lembut kelewat tak terdengar ala Solo itu tantangan level atas.
2. Rasa Makanan Manis: “Iki Mie Yamin Apa Kecap Manis?!”
Jeda matkul ke 2 yang lumayan lama, aku dan teman-teman memutuskan untuk makan pagi menjelang siang di kantin.
Aku pesan mie yamin.
Mie yamin di Tegal itu biasanya gurih, sedikit manis dan masih enak untuk dikonsumsi.
Tapi di Solo…
Ketika mie yamin mendarat dimeja, hal pertama yang aku lihat adalah mie yamin yang kelewat gelap. Seperti ketumpahan kecap manis sebotol.
Sendokan pertama langsung bikin aku mikir:
“Iki mie apa kecap manis tok sih?!”
-Ini mie apa kecap manis saja?
Rasanya manis banget sampai lidahku merasa dituang kecap manis. Aku cuma bisa diam dan merenungi mie yamin yang ada di depanku.
Sejak saat itu, tiap memesan sesuatu aku harus mencari tau terlebih dahulu.
“Iki manis banget ga ya?”
-Ini manis sekali tidak ya?
3. Perbedaan Bahasa yang Bikin Bingung
Derita berikutnya muncul saat ngobrol sama teman-teman. Orang Tegal punya Bahasa yang tidak kepakai di Solo. Contohnya “Sung”—Di Tegal artinya “Serius”, di Solo di Sangka Aneh. Di Tegal, kalau memastikan sesuatu kita tinggal bilang:
“Sung?!”
-Serius?!
“Kowen ora sida melu? Sung?”
-Kamu tidak jadi ikut? Serius?
“Sung kaya kuwe?!”
-Serius seperti itu?
Kata “sung” itu udah mandarah daging banget buat anak Ngapak—pendek, jelas, cepat. Tapi begitu aku pakai pertama kali sama teman kelas:
“Sung?! ora sido kelas?!”
-Serius?! Tidak jadi kelas?!
Temanku dari Solo langsung diam dan bertanya:
“Sung iku opo sih?”
-Sung itu apa?
Aku cuma tersenyum pedih dan berpikir:
“Lha kok ora ono sing paham ya”
-Lha tidak ada yang paham ya
Akhirnya aku harus belajar ganti kata “sung” dengan “tenanan?” atau “serius ta?” supaya tidak disangka pakai bahasa lain.
Derita anak Ngapak di Solo itu bukan tentang susahnya hidup, melainkan serunya adaptasi. Dari warung yang suaranya kelewat halus tak terdengar, mie yamin manis yang bikin shock, bahkan perbedaan bahasa yang cukup membingungkan.
Tapi perlahan, semuanya jadi lucu kalau diingat-ingat. Meski penuh perjuangan, Solo tetap ramah dan nyaman untuk dijadikan rumah.
Tetep ngapak, tetep bangga lur!
Biodata Penulis:
Pricillia Putri Agustin saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Ekonomi, di Universitas Sebelas Maret.