Oleh Chayatu Riski
Banyak orang mengira bahwa musuh terbesar seorang perempuan adalah komentar orang lain, standar kecantikan, atau tekanan sosial yang tak ada habisnya. Namun jika ditelusuri lebih dalam, musuh paling kuat sering kali bukan berasal dari luar. Ia tinggal di tempat yang paling dekat dan paling sulit dikendalikan: pikiran perempuan itu sendiri.
Setiap hari, perempuan berhadapan dengan suara kecil yang mempertanyakan dirinya: “Aku cukup cantik tidak?”, “Aku pantas tidak?”, “Aku gagal lagi, ya?” Suara itu tidak terdengar keras, tetapi dampaknya bisa mengguncang kepercayaan diri, meruntuhkan semangat, bahkan membuat seseorang merasa tidak layak terhadap kebahagiaan yang sebenarnya ia pantas dapatkan.
Yang menarik adalah, musuh bernama pikiran itu tidak selalu datang dari pengalaman buruk. Kadang ia muncul karena perempuan terlalu ingin menjadi sempurna. Ingin dilihat kuat, ingin menjadi yang paling serba bisa, ingin berjalan tanpa cacat. Padahal, kesempurnaan itu ilusi namun pikiran tetap mendesak, membisikkan ketakutan, dan menuntut lebih tanpa henti.
Banyak perempuan hebat di luar sana, tetapi mereka sering tidak melihat kehebatan itu sendiri. Bukan karena orang lain meremehkan, tetapi karena pikirannya lebih dulu mengalahkan. Mereka merasa kurang, meski semua orang melihat lebih. Mereka takut gagal, padahal keberanian mereka sudah tampak jelas. Mereka menahan potensi, hanya karena pikiran mereka berkata, “Jangan, nanti kamu salah.”
Bagian paling menyedihkan adalah: perempuan bisa menjadi lawan bagi dirinya sendiri sebelum ia sempat menjadi pemenang bagi hidupnya.
Namun kabar baiknya, musuh ini bukan tidak bisa ditaklukkan. Melawan pikiran bukan berarti memaksanya berhenti, tetapi mengenalinya. Mengakui bahwa ia ada, lalu mengendalikan alurnya. Perempuan yang mampu berdamai dengan pikirannya akan menemukan kekuatan yang luar biasa: ketenangan diri, keberanian melangkah, dan kebijaksanaan untuk menerima kekurangan tanpa kehilangan harga diri.
Karena pada akhirnya, perempuan tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia. Ia hanya perlu percaya bahwa pikirannya bukan penguasa hidupnya, melainkan bagian dari dirinya yang harus dipandu dengan cinta.
Ketika seorang perempuan berhasil memenangkan pertarungan di dalam kepalanya, ia akan memenangkan seluruh hidupnya.
Biodata Penulis:
Chayatu Riski saat ini aktif sebagai mahasiswa sekaligus Santri di Pondok Pesantren Fathimah Albatul >> PP Nurul Ummah Rowolaku Pekalongan.