Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Empati Spiritualitas yang Memudar pada Remaja

Ayo lihat lebih dekat kenapa kegiatan agama kurang menarik bagi remaja dan bagaimana kita bisa membangun ruang yang membuat mereka merasa dihargai.

Oleh Khansaa Aqiilah

Pernahkah kita bertanya-tanya, kenapa anak muda yang begitu energik dan kreatif justru tampak lesu saat diajak ikut kegiatan keagamaan? Di tengah gaya hidup yang menuntut segala sesuatunya serba cepat dan ekspresif, kegiatan agama yang terasa formal dan kaku sering kali tidak lagi menarik perhatian mereka. Akibatnya, empati sosial-spiritual yang seharusnya tumbuh dalam diri remaja perlahan ikut tergeser. Mereka sebenarnya tetap mencari makna dan nilai kebaikan, hanya saja, mereka lebih menemukannya dalam aktivitas yang spontan dan santai dibandingkan dalam rutinitas ibadah yang terasa membosankan dan menekan.

Empati Spiritualitas yang Memudar pada Remaja

Jangan heran jika gap antargenerasi ini makin terlihat. Kegiatan yang dulunya ramai lintas usia, kini seolah menjadi 'klub khusus' orang tua. Apakah ini tanda bahwa nilai agama sudah tak menarik? Belum tentu. Absennya mereka lebih disebabkan karena sedang berada pada fase pencarian jati diri. Mereka mencoba hal-hal baru, membangun koneksi sosial, dan mencari lingkungan yang terasa cocok dengan karakter mereka. Sayangnya, format kegiatan keagamaan konvensional sering kali tidak berhasil menyediakan ruang yang mereka butuhkan, sehingga wajar jika partisipasi mereka menurun.

Padahal, remaja juga perlu memiliki empati dalam konteks spiritual lebih dari sekadar hadir di kegiatan ibadah. Empati spiritual berarti kemampuan untuk merasakan bahwa kehadiran kita punya makna, bahwa ada orang lain yang membutuhkan kita dan bahwa kebaikan kecil yang kita lakukan punya efek berjangka panjang. Justru, kegiatan keagamaan sebenarnya merupakan ruang terbaik untuk melatih hal-hal semacam ini, di mana tempat remaja belajar peduli, memberi tanpa diminta dan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Jika kita perhatikan fenomena ini lebih dekat, baik lewat pengalaman lapangan maupun cerita dari sudut pandang remaja, seperti terlihat bahwa masalahnya bukan pada “remaja sekarang kurang religius.” Bukan. Sebagian besar dari mereka tetap punya sisi spiritual yang kuat. Hanya saja mereka belum menemukan bentuk kegiatan keagamaan yang terasa hidup dan relevan dengan gaya mereka.

Ada beberapa alasan mengapa empati spiritual ini kian memudar. Simpelnya, kegiatan agama sering dianggap 'kurang seru', apalagi jika disandingkan dengan gaya hidup modern yang menawarkan ribuan opsi hiburan instan. Dengan berbagai macam aktivitasnya yang sudah melelahkan, wajar jika mereka lebih tertarik pada hal-hal yang spontan dan menghibur hati. Selain itu, kurangnya pendampingan dan apresiasi dari orang dewasa membuat remaja merasa sendirian, seolah-olah keberadaan mereka di kegiatan keagamaan tidak terlalu penting. Kondisi ini perlahan memadamkan motivasi dan membuat mereka semakin menjauh.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Menurutku, kuncinya bukan menyalahkan mereka tetapi menciptakan ruang baru. Ruang yang lebih ramah, lebih hidup, dan lebih relevan bagi mereka. Ruang yang membuat remaja merasa bahwa kontribusi mereka berarti. Orang dewasa di sekitar mereka baik orang tua, tokoh masyarakat, maupun pembina kegiatan keagamaan lah yang punya peran penting dalam membangkitkan kembali empati spiritual generasi muda. Sesederhana memberikan apresiasi, mendengarkan cerita mereka, atau sekadar membuka percakapan ringan tentang apa yang mereka rasakan bisa menjadi langkah awal yang menghidupkan kembali motivasi religius mereka.

Pada akhirnya, kegiatan keagamaan bukan tentang seberapa rutin kita datang, melainkan ruang yang membuat mereka merasa terhubung dan dihargai. Remaja punya potensi besar untuk itu, hanya saja mereka butuh dipandu dengan penuh pengertian. Dan tugas kita bukan memaksa mereka kembali, tapi menghadirkan alasan yang membuat mereka ingin kembali dengan sendirinya.

Biodata Penulis:

Khansaa Aqiilah saat ini aktif sebagai mahasiswi, program studi Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret (UNS).

© Sepenuhnya. All rights reserved.