Oleh Isna Farahsya
Di zaman digital yang serba cepat ini, orang-orang terjebak dalam aliran informasi yang tiada henti. Sosial media tidak hanya berfungsi sebagai sarana berbagi, melainkan juga sebagai tempat perbandingan yang memicu fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan pikiran berlebihan. Banyak generasi muda yang merasa tertinggal jika tidak mengikuti tren, tidak update aktivitas teman, atau tidak membagikan pencapaian terbaru mereka. Hal ini seringkali menyebabkan kecemasan yang berlebihan, pikiran yang tidak terarah, dan perasaan gelisah. Dalam konteks pendidikan Islam, fenomena ini bukanlah hal yang baru; ia adalah bentuk dari kegelisahan nafsani yang sudah lama menjadi bahasan di kalangan ulama dan pendidik Muslim.
FOMO pada intinya muncul dari kurangnya penerimaan diri, dan dalam pandangan Islam, ini berkaitan erat dengan lemahnya konsep qana’ah—merasa cukup dengan karunia Allah. Ketika seseorang terlalu fokus pada kehidupan orang lain, ia kehilangan kesadaran untuk menghargai apa yang dimilikinya. Islam juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara usaha dan penerimaan. Rasulullah SAW menganjurkan agar kita melihat orang yang berada di bawah kita dalam hal materi, agar hati tetap sejuk dan tidak terjebak dalam perbandingan sosial yang melelahkan.
Sementara itu, overthinking muncul ketika seseorang terlalu memikirkan hal yang belum atau mungkin tidak akan terjadi. Dalam pendidikan Islam, ini terkait dengan kurangnya tawakkal dan kepercayaan terhadap ketentuan Allah, serta lemahnya pengelolaan hati (tazkiyatun nafs). Ulama seperti Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati yang tidak dijaga akan dipenuhi berbagai bisikan yang mengganggu ketenangan. Pikiran yang berlebihan membuat seseorang cemas, sulit mengambil keputusan, dan kehilangan fokus pada tujuan hidup yang lebih besar.
Untuk menghadapi dua fenomena ini, pendidikan Islam menawarkan konsep kejernihan batin. Kejernihan batin bukan hanya kondisi emosional, tetapi hasil dari latihan spiritual dan kedisiplinan diri. Praktik seperti dzikir, shalat dengan kekhusyukan, tadabbur Al-Qur’an, serta muhasabah harian dapat menenangkan jiwa dan mengembalikan fokus pada hal yang esensial. Dalam banyak penelitian kontemporer, aktivitas spiritual terbukti menurunkan tingkat stres, meningkatkan kesejahteraan mental, dan membantu seseorang menghadapi tekanan kehidupan masa kini
Pendidikan Islam juga menekankan pentingnya pemahaman diri (self-awareness). Ketika siswa diajarkan mengenali perasaan, motivasi, dan Batasan pribadi mereka, mereka akan lebih mampu mengelola kecemasan sosial seperti FOMO dan pikiran berlebihan. Proses pembelajaran PAI di sekolah seharusnya tidak hanya berfokus pada hafalan, tetapi juga berupaya mengembangkan kecerdasan spiritual dan emosional. Para Guru perlu menciptakan kesempatan untuk berdialog mengenai masalah psikologis yang dialami oleh siswa, serta mengaitkannya dengan nilai-nilai Islam yang relevan.
Pada akhirnya, FOMO dan overthinking ini bukanlah kondisi yang harus ditakuti, melainkan tanda bahwa jiwa sedang membutuhkan perhatian. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin memberikan jalan untuk menata batin agar kembali tenang. Dengan menerapkan rasa syukur, tawakkal, muhasabah, dan kedekatan spiritual kepada Allah, seseorang dapat meraih ketenangan yang sesungguhnya. Ketenangan tidak berasal dari mengikuti setiap tren, tetapi dari memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh apa yang kita lihat di layar, melainkan oleh kualitas hati yang terhubung dengan Sang Pencipta.
Biodata Penulis:
Isna Farahsya saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.